Bila Pergi Haji, Jangan Rajam Diri!(1)

Imam Hasan al-Mujtaba kala itu pergi haji berjalan kaki menuju Mekah. Di tengah perjalanan, kaki beliau membengkak. Seorang yang menemani beliau berkata, “Naiklah (tuanku..) untuk sekian jarak supaya memulih kaki Anda!”

“Tidak!”, sahut Imam. “Aku tidak akan naik. Nanti saja di awal tempat persinggahan kalau kamu melihat orang kulit hitam yang membawa minyak, belilah minyak kepadanya untuk aku obati kakiku yang bengkak ini..”

Sahabat itu mengatakan, “Tapi, apakah kita akan menemukan tempat yang ada jual minyak itu?”

“Di situlah yang aku bilang!”, kata beliau.

Lewat sekian jarak saat terlihat orang kulit hitam, Imam berkata, “Itulah tempatnya yang aku bilang! Pergilah ke sana untuk beli minyak dan berikan uangnya!”

Maka dia pergi. Setelah membeli minyak, orang kulit hitam itu bertanya, “Untuk siapakah Anda membeli minyak ini?”

“Untuk Imam Hasan bin Ali..”, jawabnya.

Lelaki kulit hitam itu berkata, “Antarkan Saya kepada beliau!”. Sampai di hadapan Imam, ia berkata, “Jiwa Saya milik Anda tuanku! Saya tidak tahu kalau Anda yang memerlukan minyak ini. Saya tidak akan mengambil uangnya dari Anda, dan diri Saya pun adalah pelayan Anda! Saya hanya mempunyai permintaan kepada Anda! Doakanlah Saya semoga Allah mengkaruniai Saya seorang anak yang saleh yang menjadi pecinta Ahlulbait Nabi (saw)..”

Imam berkata, “Pulanglah ke rumahmu, Allah swt akan memberimu seorang anak yang mencintai dan mengikuti kami (Ahlulbait)..” (Mahajjatul Baidha` 4/220)

 

Ka’bah Sebagai “Qiyâm” bagi Umat Manusia

Banyak hal yang mungkin dapat diperbincangkan dari kisah di atas tentang kemuliaan Imam Hasan al-Mujtaba. Sebab, sebagai figur Ahlulbait yang disucikan Allah (QS: al-Ahzab 33)dan wajib ditaati umat Nabi saw (QS: asy-Syura 23), setiap gerak dan diamnya mengandung alasan yang kuat, sarat hikmah dan menjadi sumber pengetahuan Islam bagi setiap muslim khususnya. Satu di antaranya yang dapat diangkat di sini ialah perjalanan haji Imam ke tanah suci Mekah al-Mukarramah.

Sejarah menunjukkan bahwa perjalanan dan kunjungan ke pusatperibadatan suci telah ada di masa –dan menjadi adat- Sami Kuno. Kalau Yahudi pergi ke Yerusalem, Nasrani ke Betlehem. Ada upacara khusus keagamaan di dalamnya, dan mereka menyembelih kurban. Tak hanya bangsa Arab, kaum Ibrani dahulu juga melakukan tawaf, mengitari tempat suci mereka.

Jauh sebelum masa itu bahkan sebelum Adam turun ke bumi, sebagaimana diterangkan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan tentang keutamaan haji ke tanah suci bahwa: para malaikat telah “berhaji” ke Baitullah Ka’bah.

Mengapa ke Ka’bah? Alquran menjawab soal ini(QS: al-Maidah 97) bahwasannyaAllah telah menjadikan Ka’bah, Rumah Suci itu sebagai sarana yang menopang umat manusia. Kata “qiyâm” dalam ayat suci ini dimaknakan dengan “sarana penopang, seperti tiang bangunan..” (An-Nur/Tafsir Surat al-Maidah/ Syaikh Muhsin Qaraati). Berarti –yang dapat dipahami dari makna ini- ialah bahwa umat manusia tanpa Baitullah di atas bumi, ibarat bangunan tanpa tiang. Mereka dalam ketidak seimbangan dan niscaya roboh seketika.

Bagaimana bisa demikian? Masalah ini memerlukan pembahasan yang tak cukup di ruang yang singkat ini. Mengingat bahwa tema di sini ialah perjalanan kepada Allah swt.