Kufah, Imam Hasan dan Pasukannya

Pagi setelah malam pemakaman Amirul mu`minin Ali, putranya, Imam Hasan, menyampaikan ceramah di tengah orang-orang tentang keutamaan-keutamaan ayahnya dalam Islam dan di sisi Rasulullah saw. Lalu berhenti, dan menangis tersedu-sedu. Orang-orang pun turut menangis. Kemudian berkata:
“Akulah putra sang pembawa kabar gembira; akulah putra sang pemberi peringatan; akulah putra sang penyeru kepada Allah dengan izin-Nya; akulah putra as-Sirajul munir (Sang Lentera yang menerangi); aku bagian dari Ahlulbait yang Allah hilangkan dari mereka dosa dan nista dan Dia sucikan sesuci-sucinya; aku bagian dari Ahlulbait yang Allah wajibkan cinta kepada mereka di dalam kitab-Nya. Allah berfirman:
Katakanlah, “Aku tidak meminta kepadamu suatu upah pun atas seruanku ini kecuali kecintaan kepada keluargaku.” Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu.
Jadi, kebaikan (hasanah) adalah cinta kepada kami Ahlulbait.” (al-Irsyad/al-Mufid 2/8)

Ambisi Kekuasaan Menolak Kebenaran
Usai ceramah, Ubaidillah bin Abbas bangkit mengajak muslimin agar langsung baiat kepada beliau: “Hai orang-orang, inilah putra Nabi kalian dan washi Imam kalian, berbaiatlah kepadanya!”. Mereka menyambut ajakan ini. Maka mereka menyatakan kerelaan dan ketaatan: “Ia lah yang paling kami cinta, yang paling harus kami penuhi haknya dan yang paling berhak atas khilafah.”
Imam Hasan turun dari mimbar. Kemudian mengatur umara dan urusan kepemimpinan. Pada hari itu setelah mereka berbaiat, Ibnu Muljam (yang telah membunuh Amirul mu`minin Ali) dihadirkan. Sampai di hadapan Imam Hasan, dia berkata: “Apa yang telah ayahmu perintahkan kepadamu?”
Imam menjawab, “Beliau menyuruhku agar tidak membunuh selain si pembunuhnya..” Kemudian dia dihukum qishash (eksekusi).
Ketika Muawiyah tahu Amirul mu`minin Ali wafat dan orang-orang berbaiat kepada Imam Hasan, dia menyusupkan dua orangnya; yang satu dari Himyar ke Kufah, dan yang lain dari bani al-Qain ke Basrah, untuk mata-matai dan mengacaukan urusan Imam. Namun kemudian keduanya tertangkap dan dihukum atas perintah Imam. Setelah itu beliau layangkan surat ke Muawiyah: “Kau telah mengirim mata-mata kepadaku seakan ingin berjumpa denganku..”
Di dalam surat lainnya sebagai jawaban atas surat Muawiyah yang menyinggung suluh dan baiat untuk mengangkat dia di posisi wilayatul ‘ahd (putra mahkota), Imam mengatakan: “Ikutilah kebenaran niscaya kau tahu bahwa aku pemihaknya..” (Maqatil ath-Thalibin 33). Namun Muwaiyah cenderung menolak kebenaran. Terlebih pasca kesyahidan Amirul mu`minin Ali, ambisinya terhadap kekhalifahan yang persyaratannya tak ada pada dirinya, semakin besar.

Imam Hasan Mensifati Pasukannya
Muawiyah mengumpulkan kekuatan dan mempersiapkan pasukan dari kaum yang menyimpang. Dia pimpin dan gerakkan mereka yang berjumlah enamribu orang -atau lebih- menuju Irak. Sementara Imam Hasan membangkitkan penduduk Kufah untuk berjihad melawan Muawiyah. Namun, mereka diam ketika diminta untuk menyambut seruan jihad beliau. ‘Adi bin Hatim melihat sikap mereka, mengungkapkan:
“Subhanallah.. Alangkah buruknya posisi (kalian) ini! Tidakkah kalian menjawab imam kalian, putra dari putri Nabi kalian?”
Imam Hasan menoleh kepadanya dan berkata, “Siapa yang mau datang kepadaku (bergabung), maka datanglah untuk menepati janji..” Beliau kemudian keluar dari masjid, menaiki tunggangannya dan pergi.. dan ‘Adi bin Hatim lah orang pertama yang menjadi prajuritnya. Disusul oleh Qais bin Sa’ad bin Ubadah al-Anshari, Ma’qal bin Qais ar-Riyahi dan Ziyad bin Sha’sha’ah at-Taimi. Mereka pun melontarkan seperti yang telah dikatakan ‘Adi kepada orang-orang yang enggan bergabung.
Imam mengapresiasi mereka yang tergabung dalam pasukan: “Aku masih mengenal kalian melalui ketulusan niat, penepatan janji, ketaatan dan kecintaan yang benar. Semoga Allah membalas kebaikan kalian.”
Pasukan Imam Hasan merupakan gabungan unik dari berbagai kelompok. Mengejutkan bahwa sebagian mereka dari khawarij dan yang pro kekuasaan bani Umayah. Namun kemudian mereka berbuat hal melampaui batas dan menampakkan pengkhianatan terhadap beliau.
Mereka mudah terpecah karena beda tujuan, dan kurang beliau percaya. Imam sempat berkata kepada pasukannya di al-Madain: “Kalian dulu berada di perjalanan menuju Shiffin dan agama kalian mendahului dunia kalian. Tetapi kini, dunia kalian mendahului agama kalian. Kalian berada di antara dua pihak yang terbunuh; pertama yang terbunuh di Shiffin, yang kalian tangisi. Kedua, yang terbunuh di Nahrawan, yang kalian harap dari kami menuntut balas atasnya..” (Tarikh Madinah Dimasyq 13/268)

Referensi:
A’lam al-Hidayah (4)