Jangan Nilai Buku dari Sampulnya

Qais melewati sekelompok jamaah yang sedang shalat ketika sedang mencari anjing kudisan hadiah dari Layla. Ia tidak sadar ia berjalan di hadapan mereka. Beberapa orang dengan sigap menyilangkan tangan. Qais berhenti. Usai shalat, ia ditanya, “Mengapa kau lewat di depan orang yang shalat?” Qais menjawab, “Mohon maaf, aku sedang mencari anjing kekasihku. Aku tidak memperhatikan kalian. Dan kalau kalian sedang bersama kekasih, mengapa kalian memperhatikan aku?”

Ada dua versi kisah sufi ini. Pertama, Qais yang tergila-gila pada Laila dalam novel Nizami yang terkenal: Laila Majnun. Alkisah, Qais yang majnun berkelana ke sana kemari mencari seekor anjing (kudisan lagi) yang dihadiahkan oleh Laila. Orang bertanya, “Masih kaucari anjing penyakitan itu?”  Qais menjawab, “Apapun yang datang dari kekasih, pastilah indah.” Qais tidak melihat anjingnya, yang Qais lihat siapa yang memberikannya.
 
Ketika mencari anjing itu (dan kali ini ia pastikan berusaha untuk melihatnya), Qais melewati sekelompok jamaah yang sedang shalat. Ia tidak sadar ia berjalan di hadapan mereka. Beberapa orang dengan sigap menyilangkan tangan. Qais berhenti. Usai shalat, ia ditanya, “Mengapa kau lewat di depan orang yang shalat?” Qais menjawab, “Mohon maaf, aku sedang mencari anjing kekasihku. Aku tidak memperhatikan kalian. Dan kalau kalian sedang bersama kekasih, mengapa kalian memperhatikan aku?”
 
Kisah kedua masih bermuatan hikmah yang sama, tentang seorang perempuan cantik yang datang mengadu pada seorang pemuka agama. Ia hendak menceritakan perilaku suami yang menyakitinya. Ketika melihat perempuan itu datang, pemuka agama berkata, “Tutup dulu wajahmu. Baru kaubicara denganku.” Perempuan itu menjawab, “Aku ini tenggelam dalam cinta dunia. Aku tidak dapat berpikir baik. Bagaimana kau akan tenggelam dalam cinta Sang Pencipta, bila masih tak dapat mengalihkan perhatianmu dariku?”
 
Dua kisah yang menarik tentang bagaimana penampilan bisa menipu. Tentang don’t judge a book by its cover. Tentang hikmah bisa kita peroleh dari siapa saja. Tentang ujian dalam pakaian kesalehan.
 
Ya, mengenakan busana ketaatan adalah ujian tersendiri. Pernah satu saat datang mahasiswa bertemu saya dan bertanya, “Bolehkah kami razia tempat-tempat hiburan itu? Agar mereka tutup di hari kami berpuasa?” Saya menjawab, “Serahkan pada aparat negeri ini, ada kesepakatan bersama yang kita hormati.” Lalu saya bertanya kepada mereka, “Mana yang lebih berat bagi seorang perempuan (dan karenanya mudah-mudahan beroleh pahala lebih besar): berhijab di tanah suci Makkah dan Madinah, atau memelihara jilbabnya itu di tengah masyarakat yang tak memahami bahkan membencinya? Katakanlah, di sebagian negeri-negeri Barat? Mahasiswa itu menjawab: Berjilbab di negeri Barat. Saya tanya kembali: “Mana yang lebih baik, berpuasa dan menahan diri di saat semua lingkungan mendukung, atau di saat banyak tantangan dan cobaan?”
 
Ya, Alhamdulillah, di negeri kita setiap masuk bulan suci, seluruh lingkungan mendukung. Sesuatu yang sangat kita syukuri. Televisi dari sahur ke sahur akan menayangkan kajian agama (dengan sesekali hiburan, tarian dan canda tawa). Masjid penuh dengan berbagai program. Restoran tahu diri. Tempat hiburan juga mungkin sedikit lebih sepi. Suasana saling menghormati. Demikianlah serba-serbi bulan suci di kita punya negeri.
 
Tidak jarang ada yang mengkritisi. Ada yang mengingatkan mereka yang tiba-tiba tampil berubah. Dari yang tidak berkerudung, di bulan suci menutupkan selembar tudung. Dari yang biasa terbuka, di bulan suci tak terlalu kentara. Dari yang jarang ke masjid, terlihat berbaris di saf pertama.
 
Mungkin kita tergoda mengomentari. Menganggap mereka hanya mencari sensasi. Padahal sedang berusaha menyesuaikan diri. Tidak jarang ragam komentar kita yang membuat mereka makin mengambil lain sisi. Kawan-kawan itu merasa belum siap, merasa belum mampu. Setidaknya, mereka ingin melalui bulan suci dengan belajar lebih memberi arti. Selayaknya kita mengapresiasi.
 
Seperti kisah di atas, belum tentu kita yang tampak saleh lebih dekat dengan Tuhan. Mana yang lebih Tuhan cintai: gemuruh zikir atau rintihan istighfar? Ternyata, yang kedua. Allah Ta’ala lebih mencintai yang memohon ampunan kepadaNya, ketimbang yang membesarkan dan memujiNya.
 
Dan inilah bulan untuk itu. Bagi siapa pun. Bila ada yang hendak umrah dan berkata pada saya, “Saya belum siap. Saya masih kotor. Saya penuh dosa. Saya sibuk dengan banyak agenda.” Pada mereka saya menjawab singkat: “Justru itu…”
 
Pada siapa lagi yang belum siap harus datang? Kemana yang kotor harus menuju? Ke hadirat siapakah yang penuh dosa mesti mengadu? Ke tempat manakah yang sibuk dengan banyak agenda mesti berdoa untuk itu? Tiada lain: menuju Hadirat Yang Satu, Yang Maha Esa. Sang Pencipta yang teramat mencintai kita.
 
Maka bila melihat saudara yang tiba-tiba berubah, di bulan yang penuh berkah ini, kita sampaikan ungkap syukur dan permohonan doa. Dan bila setelah itu mereka kembali sedia kala, akankah perhatian kita terbawa serta?
 
Seperti Qais, mungkin akan terdengar bagi kita jawaban: “Mohon maaf, aku sedang mencari anjing kekasihku. Aku tidak memperhatikan kalian. Dan kalau kalian sedang bersama kekasih, mengapa kalian memperhatikan aku?”
 
Mengapa kalian memperhatikan aku?