Marahmu Siksaan-Nya

“Marah itu kunci semua keburukan.”. Demikian kira-kira makna dari ucapan Imam Ja’far Shadiq, yang diriwayatkan dalam kitab “Ushul al-Kafi”m bab “Ghadhab”, dengan sanad yang bersambung sampai pada Muhammad bin Ya’qub Kulaini hingga Daud bin Farqad.

Ibnu Miskaweih dalam “Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq” mengatakan (demikian kira-kira artinya): “Bila darah naik berlebihan menginginkan pembalasan, niscaya menyalakan api emosi (ghadhab). Luapan naik darah ini lalu menguat, dan otak penuh dengan asap kegelapan melemahkan daya akal.

Bak goa terbakar penuh api menyala, panas dan asap di dalamnya tersekat sampai apinya memekik parau, manusia dalam kondisi demikian susah diredakan, dan apapun yang mendekat hendak memadamkan dia, malah menjadi bahan bakar yang memperparah keadaannya. Ia menjadi buta kesadaran dan tuli nasihat. Nasihat justru menambah kemarahan ini dan tiada celah diharapkan baginya.”

Lalu beliau mengutip ucapan Socrates: “Perahuku bila diterjang angin dan dihantam gelombang, hingga terlempar ke lembah yang bergunung, lebih baik bagiku ketimbang (terlempar) ke marah yang meluap-luap..”

 

Ghadhab yang Lemah dan Solusinya

Yang dapat penulis pahami dari penjelasan Imam Khomeini dalam “Al-Arba’un Haditsan” tentang emosi (ghadhab), di antaranya:

Pertama, bahwa ghadhab merupakan naluri sebagai sebuah karunia dari Allah bagi manusia. Dengannya pembangunan di dunia dan penjagaan bagi manusia dalam kehidupan dapat diwujudkan. Andai tanpanya takkan ada tindakan pembelaan diri dari manusia terhadap serangan-serangan lawannya. Ia akan mengarah ke kebinasaan, dan tak mungkin mencapai tingkat kesempurnaan dan peningkatan.

Kedua, keseimbangan dalam ghadab adalah hal yang diinginkan. Sedangkan ketidak seimbangan di dalamnya, dalam arti dua hal:

1-Tafrîth; minus keseimbangan; hal  ini dipandang tercela dan aib yang berakibat banyak kerusakan dan penyimpangan, seperti fobia, lamban, dingin, menyerah terhadap cobaan dan sebagainya. Dalam keadaan ini tak memungkinkan terlaksananya bamr ma’ruf nahi munkar, sangsi dan hukuman serta ajaran politik keagamaan.

Di sana, orang-orang yang mengira bahwa dengan membunuh naluri ghadhab ini dan meniadakannya, mereka mencapai tingkat kesempurnaan, sesungguhnya mereka itu melakukan kesalahan besar dan lalai dari posisi keseimbangan. Allah swt tidak menciptakan naluri yang mulia ini sia-sia, melainkan sebagai modal kehidupan material dan spiritual bagi manusia dan kunci semua kebaikan.

Jihad melawan diri dan musuh agama; menjaga tatanan keluarga; membela diri, harta dan kehormatan serta undang-undang Tuhan; mencegah permusuhan, pelanggaran hukum dan hal-hal yang merugikan individu dan masyarakat, tak terwujud tanpa naluri yang mulia ini.

Solusi bagi naluri (yang dalam kepasifan) ini untuk membangkitkannya, di antaranya ialah melakukan “hal-hal besar yang mengkhawatirkan”, pergi ke medan peperangan, jihad melawan musuh-musuh Allah, mengarungi lautan yang bergelombang. Hal ini dilakukan untuk membebaskan diri dari perasaan takut dan lemah.

 

Akibat Ghadhab yang Melampaui Batas

2-Ifrat; keadaan melampaui batas dalam ghadhab, juga tercela yang menimbulkan banyak kerusakan. Diriwayatkan dari Abu Abdillah (Imam Ja’far Shadiq) bahwa Rasulullah saw bersabda: “Marah itu merusak iman seperti halnya cuka merusak madu.” (Ushul al-Kafi, bab al-Ghadhab).

Dalam kondisi ini –sebagaimana yang telah disampaikan diatas- bisa sampai batas keluar dari agama Allah, dan memadamkan cahaya iman. Kegelapan dan api ghadhab menghanguskan keyakinan yang benar, sampai pada kekufuran akut yang berakibat kebinasaan abadi. Setelah waktu berlalu ketika kemudian disadari, penyesalan sudah tak berarti lagi.

Diterangkan dalam riwayat-riwayat terkait penggambaran ghadab dalam kondisi tersebut, di antaranya:

-Merupakan “bara api dari syaitan, yang menyala dalam hati anak Adam.”

-Adalah “murka Allah” (siksaan dari-Nya), sebagaimana (dalam referensi yang sama) riwayat dari Imam Baqir bahwa di dalam Taurat, Allah ‘Azza wa Jall berfirman kepada nabi Musa: “Hai Musa, tahanlah emosimu terhadap orang yang telah Aku jadikan engkau menguasai dia, niscaya Aku akan menahan murka-Ku terhadapmu.”

Tak diragukan bahwa tiada azab yang lebih berat dari api murka Allah. Murka-Nya adalah perkara terberat, dan apinya paling membakar. Kemarahan seseorang di dunia, di akhirat berupa api murka Allah. Sebagaimana marah itu muncul dari hati, api murka-Nya yang penyebabnya adalah ghadhab (yang tak seimbang,-penerj) dan semua sifat hati yang tercela, tumbuh dari dalam hati, lalu keluar ke permukaan, tampak jilatan apinya dari anggota-anggora badan seperti mata, lisan, tangan, kaki dan lainnya.

Sebagai penutup, diriwayatkan dari Abu Abdillah (Imam Shadiq) bahwa beliau ditanya oleh para sahabatnya, “Bagaimana kami menjadi takut pada murka Allah?”

Beliau menjawab, “Hendaklah kamu tidak marah!”.

 

Referensi:

Al-Arba’un Haditsan/Imam Khomeini