Menikah: Tantangan atau Peluang? (3)

Legalitas Batasan Usia Menikah di Indonesia

Batasan usia menikah diatur Undang-undang No 1 tahun 1974  Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat 1 yaitu: 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan 16 tahun. Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 7: “Apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun, harus mendapat ijin tertulis kedua orang tua”. Hal ini tidak berlaku bagi calon pengantin perempuan karena orang tuanya merupakan wali nasab sekaligus akan menikahkannya. Namun batasan usia ini masih memberi ruang toleransi. Pasal 7 ayat 2 UU Tentang Perkawinan berbunyi: “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria ataupun pihak wanita”.

Aturan yang berlaku di Indonesia tidak bertentangan dengan anjuran Islam berkaitan dengan usia minimal menikah. Meskipun 16 dan 19 tahun ditetapkan sebagai batasan minimal usia menikah, ada dispensasi melangsungkan pernikahan pada uisa yang lebih rendah. Anak perempuan memasuki masa taklif pada usia 9 tahun Hijriah dan laki-laki 15 tahun. Pada usia ini seseorang telah mencapai ‘bulugh an-nikah’ yang ditandai dengan terjadinya haid pada perempuan dan ‘mimpi basah pada laki-laki. Perempuan yang telah memasuki usia 9 tahun dan telah melakukan aktifitas seksual tidak lagi digolongkan anak-anak. Artinya anak perempuan yang telah memasuki usia 9 tahun memiliki kelayakan untuk menikah. Namun tidak berarti mereka harus dinikahkan pada usia 9 tahun, hanya saja dianjurkan agar tidak menundanya terlalu lama. Penundaan usia menikah yang terlalu lama akan menimbulkan masalah biologis, psikologis, keluarga dan sosial.

Idealnya pernikahan dilangsungkan setelah adanya persiapan dan bimbingan calon pasangan serta dukungan terutama dari keluarga. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa kematangan seksual saja tidak cukup bagi seseorang untuk menikah. Lembaga perkawinan juga membutuhkan kematangan sosial dan ekonomi bagi mereka yang hendak memasukinya.

usia-menikah

Berkaitan dengan batasan usia menikah yang diatur Undang-undang, sejumlah kelompok mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada September 2014 lalu. Mereka melakukan gugatan dan menuntut agar batas usia pernikahan menjadi 18 tahun dan 21 tahun. Tuntutan tersebut didasarkan berbagai permasalah keluarga yang disebabkan usia menikah dini seperti kemiskinan, perceraian, tingginya angka kematian ibu (AKI) dan lainnya. Pada bulan Juni 2015 Majelis Konstitusi menolak gugatan tersebut. Hakim MK menyatakan tidak ada jaminan angka perceraian akan menurun dengan menaikkan batasan usia perkawinan. Putusan ini didukung oleh sejumlah ulama di Indonesia. Para ulama berpendapat pemerintah tidak boleh membatasi usia pernikahan karena hal itu wilayah keputusan orang tua sebagai wali. Menjadi catatan bahwa penetapan aturan atau Undang-undang berdasarkan prinsip dan logika hukum serta kemaslahatan masyarakat secara umum. Undang-undang tidak ditetapkan secara tentatif dan berdasar kondisi atau kasus yang terjadi di masyarakat. Misalnya agar kondisinya “x”, maka aturannya harus “x” pula.

Mengapa Terjadi Penundaan Usia Menikah?

Berdasarkan data yang dikeluarkan BKKBN dalam situs resminya, usia rata-rata menikah di Indonesia tahun 2010 adalah 22,3 tahun. Angka ini masih jauh di atas batasan yang dianjurkan agama dan ditetapkan Undang-undang. Penelitian di berbagai Negara menunjukkan adanya peningkatan batasan usia menikah dan kecenderungan pemudanya untuk hidup sendiri. Apa saja yang menyebabkan terjadinya peningkatan usia menikah? Mengapa anjuran agama menjadi seolah terabaikan oleh masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai religius?

Pada sebagian besar masyarakat, suami berperan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sebagaimana yang ditentukan syariat atau Undang-Undang berlaku. Biaya kehidupan keluarga sangat kompleks meliputi sandang-pangan-papan, pendidikan, rekreasi, … Kebutuhan ini dapat terpenuhi hanya ketika laki-laki memiliki pekerjaan dan penghasilan yang cukup. Jika tidak, setelah menikah ia akan berhadapan dengan kehidupan yang serba kekurangan atau memilih tidak menikah. Agaknya, orang lebih banyak menjatuhkan pilihannya pada alternatif terakhir. Maka ketika sistem ekonomi tidak mampu memenuhi kebutuhan kerja dan penghasilan bagi pemuda usia menikah, saat itu usia menikah bertambah. Sebaliknya, perempuan yang bekerja akan lebih lambat untuk menikah dibanding yang tidak memiliki karir. 

Selain ekonomi, faktor pendidikan menjadi penyebab penting dalam penundaan pernikahan. Pada masyarakat tradisional, keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan diajarkan di keluarga kepada generasi selanjutnya secara non formal. Ketika anak memasuki usia remaja, mereka telah memiliki keterampilan untuk bekerja. Setelah baligh, mereka tidak harus melewati masa bertahun-tahun untuk mempelajari keahlian yang diperlukan. Sedangkan pada masyarakat modern yang serba rumit, pendidikan mengharuskan melewati rentang waktu yang panjang. Memiliki ijazah menetukan kredibilitas sosial dan ekonomi. Pemuda terpaksa menghabiskan sepertiga usianya untuk pendidikan demi meraih kesuksesan sosial dan ekonomi. Pendidikan telah menghilangkan kesempatan pemuda untuk menikah. Jika tidak memiliki kondisi ekonomi yang baik, mereka tidak dapat menafkahi keluarga selama menempuh pendidikan formal. Sebaliknya pendidikan tinggi bagi perempuan akan meningkatkan status sosialnya. Mereka lebih mudah untuk menikah dengan laki-laki yang berkedudukan sosial dan ekonomi tinggi pula.

Sebelumnya telah disebutkan bagaimana pergaulan bebas antara pemuda dan pemudi memberi sumbangan yang berarti dalam penundaan pernikahan. Masalah individual seperti masalah ketidakmatangan, trauma psikologis dan lainnya pada beberapa kasus juga turut berperan. Selain itu, nilai-nilai dan adat istiadat serta budaya yang berkembang di masyarakat turut menyebabkan penundaan pernikahan. Menarik untuk dikritisi, belakangan ini berkembang nilai baru atas pernikahan usia muda. Penelitian yang dilakukan dan opini yang dipopulerkan sebagian besar mengarah pada kerangka negatif  terhadap pernikahan usia dini. Terjadi pergeseran kearifan lokal yang sebelumnya telah dijalankan dan diwarisi generasi pendahulu hinga pada orang tua kita. Pengaruhnya cukup signifikan dan dapat disaksikan dalam periode satu generasi. Generasi muda hari ini sedang terbawa pada arus penundaan kematangan dan kesiapan untuk menjalankan sunnah Nabi salallahu alaihi wa alihi: “Siapa yang menyukai sunnahku, maka menikah merupakan sunnahku”.[*]