Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Sedih Karena Allah (5/Selesai)

1 Pendapat 05.0 / 5

Diriwayatkan bahwa suatu hari Nabi Isa as dalam sebuah perjalanan melintasi sahara berhenti di sebuah tempat peribadatan seorang rahib (pendeta). Ketika beliau sedang berbincang dengan rahib itu tiba-tiba melintas seorang pemuda yang dikenal gemar berbuat maksiat. Pemuda itu melihat keduanya lalu tertegun dan berhenti berjalan.

Dia lantas berkata dalam hati, “Ya Ilahi, apa yang harus aku lakukan seandainya Isa melihatku dalam keadaanku yang memalukan ini? Bagaimana aku dapat memperbaiki keadaanku seandainya dia mencela perbuatanku selama ini?”

Di saat yang sama, si rahib ketika memandang pemuda itu segera menghadapkan wajahnya ke langit dan berucap, “Ya Allah, janganlah Engkau kumpulkan aku dengan orang fasik dan fajir ini pada hari kiamat.”

Allah SWT kemudian berfirman kepada Nabi Isa as:
قل لهذا العابد: إنّنا استجبنا دعاءك، ولا نحشرك معه; فإنّه أصبح من أهل الجنّة بتوبته، وأصبحت من أهل النار بغرورك ونخوتك وعجبك.

“Katakanlah kepada orang yang suka beribadah ini; ‘Sesungguhnya Kami telah mengabulkan doamu, dan tidak akan mengumpulkanmu dengannya kelak, karena sesungguhnya dia telah menjadi penghuni surga berkat taubatnya, sedangkan kamu menjadi penghuni neraka akibat kesombongan, keberbanggaan diri, dan ujubmu.’”[1]

Kedua, lalai terhadap kewajiban sebagai makhluk sosial. Orang yang mampu menghadap Allah SWT dengan menangis dapat terjebak pada perasaan bahwa dia telah menjalankan taklif dan kewajibannya dengan baik sehingga justru abai terhadap kewajibannya di tengah masyarakat dan umat. Secara spiritual dia merasa cukup dengan menyendiri dan menangis saja di hadapan Allah SWT. Resiko demikian juga ada pada berbagai ibadah lain meskipun mungkin tidak sebesar resiko yang ada pada kebiasaan menangis di hadapan Allah SWT.

Resiko demikian tentu berlaku hanya pada orang yang berjiwa lemah, sebab menangis karena Allah SWT maupun ibadah lain tidak seharusnya membuat seseorang justru terjebak pada sikap demikian.

Lantas apakah kebiasaan menangis di hadapan Allah SWT harus ditinggalkan? Jawabannya tentu saja tidak. Karena meninggalkan kebiasaan demikian ataupun ibadah-ibadah tingkat tinggi lainnya juga tak ubahnya dengan menyambut godaan syaitan. Sebaliknya, untuk selamat dari jebakan itu manusia harus menanam dan menyuburkan kesadaran bahwa Islam melarang umatnya mengasingkan diri dari aktivitas sosial dengan dalih demi meningkatkan kualitas ibadah dan tazkiyah. Setiap Muslim harus memelihara kesadaran bahwa agama yang paripurna ini mewajibkan aktivitas sosial yang berguna bagi dirinya maupun bagi agama dan umat.

Ketiga, meredupkan gairah. Menangis merupakan salah satu cara manusia untuk melipur lara dan mendinginkan hati. Karena itu wajar apabila manusia menangis ketika kehilangan anggota keluarga atau orang yang dicintainya, misalnya. Nah, ketika hatinya mendingin praktis dia akan cenderung murung, kehilangan geregetnya untuk berbuat banyak dan pada gilirannya dia akan abai terhadap tugas dan kewajiban sosialnya dan enggan memberikan pengorban dan kepedulian kepada orang lain dan bahkan kepada kesejahteraan dirinya. Jika ini terjadi maka dia justru menjauh dari Allah SWT. Naudzubillah.

Resiko demikian tentu juga harus diantisipasi dengan kewaspadaan, muraqabah dan muhasabah secara terus menerus.

Tak dapat dipungkiri, syaitan dapat sangatlah pintar memilih celah dan momen dalam segala keadaan yang dijalani dan dialami manusia. Syaitan dapat menggoda bukan hanya terhadap orang yang jelas bejat perilakunya seperti pemabuk dan budak syahwat, melainkan juga pada orang yang sejak awal memang ingin beribadah dan menjadi hamba yang patuh kepada Allah SWT.

Syaitan dapat membuat jebakan di semua bagian perjalanan spiritual manusia sehingga ibadah yang semula jernih akhirnya rusak dan tak berguna akibat terjangkit wabah riya’ dan ujub, atau akibat tidak adanya keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial. Karena itu, manusia dituntut untuk selalu berintrospeksi dalam segala keadaan, menimbang diri sendiri sebelum ditimbang kelak di hari kiamat.  (Selesai)

CATATAN :
[1] Khazinat al-Jawahir, hal. 647.