Kisah Sepasang Pengantin

Islam adalah ajaran yang unik dan menarik. Agama ini membawa berbagai hal yang sangat baru dan berbeda dibandingkan dengan budaya yang saat itu berlaku di tengah-tengah ummat manusia. Islam mengajarkan bahwa semua manusia pada dasarnya memiliki derajat yang sama. Satu-satunya hal yang akan membuat seseorang memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain adalah ketakwaan, keimanan, dan amal soleh.

Ajaran seperti ini jelas berbeda dibandingkan dengan apa yang sering berlaku di tengah-tengah masyarakat sepanjang zaman, yang lebih memperhatikan maslaah harta, kedudukan, dan kecantikan/ketampanan dalam melihat kemuliaan seseorang. Dalam Islam, seorang yang miskin dan jelek bisa menikahi seorang yang kaya dan cantik. Dan, akhirnya, mereka akan hidup bahagia.

Suatu hari, di zaman ketika Rasulullah Muhammad SAWW masih hidup, seorang pria bernama Juwaibir datang ke Madinah. Lelaki itu berasal dari Yamamah dan dia datang karena mendengar kabar mengenai Rasulullah. Ia ingin mempelajari ajaran Islam dengan lebih mendalam. Dalam waktu singkat, ia pun meyakini kebenaran ajaran Islam, lalu memeluk agama ini dengan penuh keimanan.

Juwaibir adalah lelaki yang miskin. Badannya hitam dan pendek, namun ia seorang yang cerdas, tekun, dan patuh pada kebenaran. Karena Juwaibir tidak punya uang, rumah, atau teman di Madinah, dia pun untuk sementara tinggal di Masjid Nabi bersama kaum Muslim miskin lainnya. Lalu, datanglah wahyu Allah kepada Nabi bahwa masjid bukanlah tempat hunian sehingga para penghuni masjid pun dipindahkan ke bangunan di luar masjid, yang disebut  ‘Suffa’.

Suatu ketika, Rasulullah menjumpai Juwaibir dan menyarankan agar ia menikah.

“Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki kekayaan, ketampanan, atau keturunan mulia. Siapa yang mau menikah dengan saya? Wanita mana yang suka menjadi istri orang miskin, pendek, hitam, dan jelek seperti saya?” demikian jawab Juwaibir.

“Wahai Juwaibir! Allah telah mengubah nilai setiap orang melalui Islam. … Islam telah menghapus diskriminasi dan kesombongan atas garis keturunan. Sekarang semua manusia, tidak peduli warna kulit dan asalnya, dipandang setara. Keunggulan di antara mereka adalah dari sisi ketaatan kepada Allah. Di antara umat Islam, orang yang lebih tinggi darimu adalah orang yang kebajikannya lebih darimu. Sekarang, lakukan apa yang kukatakan,” jawab Rasulullah. 

Rasulullah menyuruh Juwaibir datang ke rumah Ziyad bin Lubaid untuk melamar putrinya.

Juwaibir menaati perintah Rasulullah. Hatinya agak gentar karena Ziyad adalah salah satu orang terkaya di Madinah. Selain hartanya sangat banyak, Ziyad pun sangat dihormati oleh berbagai suku di kota itu.

Beberapa saat kemudian, sampailah Juwaibir di rumah Ziyad. Ketika ia memasuki rumah itu, dilihatnya Ziyad duduk dikelilingi oleh kerabatnya dan beberapa orang dari sukunya.

Juwaibir pun duduk, lalu setelah menguatkan hati, ia perlahan berkata, “Saya membawa sebuah pesan dari Nabi. Apakah Anda ingin mendengarnya secara rahasia atau terbuka?”

Ziyad menjawab, “Sebuah pesan dari Nabi adalah sebuah kehormatan bagi saya, lebih baik Anda mengatakannya secara terbuka.”

“Nabi telah mengutus saya untuk melamar putri Anda agar saya nikahi,” jawab Juwaibir.

“Apakah Nabi sendiri yang mengatakan demikian?”

“Saya tidak berbicara atas kemauan sendiri. Semua orang tahu saya, saya bukan pembohong.”

“Aneh! Kami tidak memberikan anak perempuan kami kepada orang-orang yang statusnya tidak setara dengan kami atau orang-orang di luar suku kami. Anda kembalilah, saya akan menemui Nabi dan berbicara dengan beliau,” kata Ziyad.

Juwaibir meninggalkan rumah sambil bergumam, “Demi Tuhan, semua yang diajarkan Al Qur’an dan semua ajaran Nabi Muhammad bertentangan dengan apa yang dikatakan Ziyad.”

Zulfa, putri cantik Ziyad, diam-diam mendengar gumaman Juwaibir itu. Dia pun mendatangi ayahnya dan bertanya:

“Ayah, apa tujuan kedatangan orang tadi?”

“Dia datang untuk melamarmu dan menyatakan bahwa Nabi-lah yang menyuruhnya.”

“Mungkinkah Nabi benar-benar mengutusnya, dan dengan demikian penolakan Ayah berarti menolak titah Nabi?” tanya Zulfa.

Zulfa adalah seorang muslimah yang amat taat. Ia sadar sepenuhnya bahwa menaati Rasulullah adalah kewajiban setiap muslim. Semua perintah Rasulullah adalah kebaikan dan sejalan dengan keridhoan Allah.

“Jadi, menurutmu, Ayah harus bagaimana?”

“Ayah, sebaiknya ajak dia kembali ke rumah kita. Lalu Ayah pergi sendiri menemui Nabi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi,” saran Zulfa. 

Ziyad pun bergegas menyusul Juwaibir dan memintanya kembali ke rumahnya dengan hormat. Setelah itu, ia pun bergegas mencari Nabi.

Ketika Ziyad menjumpai Nabi, ia pun berkata, “Wahai Rasulullah, Juwaibir datang ke rumah saya dan membawa pesan dari Anda. Saya ingin memberi tahu Anda bahwa kebiasaan kami adalah memberikan anak perempuan kami kepada orang-orang yang memiliki status setara dan berasal dari suku kami.”

“Wahai Ziyad, Juwaibir adalah orang yang beriman. Dalam Islam, martabat dan kehormatan yang Anda katakan itu tidak bernilai (dibandingan keimanan dan ketaatan kepada Allah). Setiap laki-laki yang beriman setara dengan wanita yang beriman,” jawab Rasulullah.

Ziyad kembali ke rumahnya dan menjelaskannya pada Zulfa.

Zulfa menjawab, “Tolong jangan menolak saran dari Nabi. Saya menerima Juwaibir apapun kondisinya. Jika Nabi senang dengan hal itu, saya juga senang.”

Ziyad terharu mendengar ketaatan putrinya. Ia pun menyadari bahwa sebagai muslim ia tidak boleh merendahkan orang lain hanya karena suku atau kekayaan. Ziyad pun menyetujui pernikahan Juwaibir dan Zulfa. Bahkan, Ziyad memberikan uang untuk Juwaibir agar dapat memberikan mahar kepada Zulfa.

Juwaibir dan Zulfa pun akhirnya menikah. Ziyad juga menyediakan sebuah rumah dengan segala isinya untuk ditempati sepasang pengantin itu. Keduanya hidup berbahagia.

Sejarah kemudian mencatat bahwa Juwaibir gugur syahid dalam jihad membela kaum muslimin.

(sumber cerita: Dastane Rastan karya Ayatullah Murtadha Muthahhari)