Hakikat Wahyu; Pengalaman Keagamaan atau Pengalaman Mistik


Abstraksi

Dalam makalah ini, kami mencoba untuk menganalisa hakikat wahyu menurut perspektif pengalaman keagamaan dan mistik (irfan). Pada bagian pertama -sebagai pendahuluan- kami akan mengetengahkan empat pandangan mengenai hakikat wahyu: 1. Psikologi, 2. Sosiologi, 3. Filsafat dan 4. Teologi. Kemudian, kami pun akan mengkaji dan mengkritisi pandangan yang mempresentasikan wahyu sebagai pengalaman keagamaan.

Dalam menyanggah pandangan ini, kami akan memaparkan beberapa teori yang tidak dapat dibenarkan yang merupakan konsekuensi dari pandangan tersebut. Bagian kedua dari makalah ini, akan menyoroti pandangan para urafa’ akan hakikat wahyu, dimana menurut mereka wahyu adalah sebuah pengalaman, namun bukan pengalaman keagaman akan tetapi pengalaman uluhi yang istimewa yang berakar dari alam ‘uqul, maqam wâhidiyat dan shâdir awwal. Untuk lebih jelasnya silahkan menyimak uraian dibawah ini!



Pendahuluan

Manusia beserta seluruh inderanya yang senantiasa bersentuhan dengan alam materi akan merasa kesulitan dalam menalar dan mengenal alam non materi (metafisik), oleh karena itu, ia cenderung menolak perkara-perkara gaib yang dibawa oleh para nabi, dan selalu saja menuntut bukti dan saksi akan hubungan mereka dengan alam gaib yang menjadi dakwa para Nabi.

Masalah “Wahyu”[1] dan bagaimana hubungan seorang nabi dengan alam gaib hingga ia dapat menerima wahyu, merupakan perkara metafisikal yang hakikatnya sulit diketahui manusia. Menurut ucapan Muhammad Hasan Qadardan[2] : Para urafa’ yang telah berhasil mencapai Wâdy Gaib dalam perjalanan Sair Suluk-nya, menyatakan kelemahan mereka dalam mengenal hakikat wahyu. Allamah Thabathaba’i menyebut wahyu dengan “Syu’ur Marmuz” (logika misterius) yang dijadikan sebagai judul buku tulisannya. Imam Khomaini mengatakan: Mengenal hakikat wahyu bagi manusia merupakan sesuatu yang mustahil.[3] Faktor ketidakmampuan ini sangatlah jelas, karena memang manusia akan selalu kewalahan dalam mendeteksi perkara yang tidak pernah dijamahnya. Namun walaupun demikian, akal manusia yang selalu aktif bekerja terus mendorongnya untuk mengkaji dan mengenal hakikat wahyu, dan dengan modal premis dan basis pengetahuannya ia pun akan berupaya menafsirkan hakikat wahyu. Di sini secara ringkas kami mencoba mengkaji beberapa analisa yang ada, kemudian secara lebih terpirinci kami akan menyoroti dan membandingkan antara pengalaman keagamaan (religius) dan wahyu.



Beberapa Perspektif Mengenai Hakikat Wahyu

1. Perspektif Psikologis

Sebagian Orientalis mengatakan bahwa wahyu adalah buah dari keyakinan-keyakinan yang terkandung dalam jiwa dan batin para Nabi. Para nabi yang memiliki pribadi yang luhur dan hati yang bersih sangat berkeinginan membimbing dan memberi petunjuk kepada umat manusia, benak mereka senantiasa terobsesi untuk mencari solusi yang tepat guna menyelamatkan manusia dari penyembahan berhala dan segala kecenderungan hawa nafsu dan duniawi. Dengan berlalunya masa, kondisi tersebut semakin menguat dan pada akhirnya para nabi berimajinasi bahwa ada pesan atau perintah suci yang turun kepada mereka dan memerintahkan mereka untuk memberi petunjuk kepada umat manusia.

Akar sejarah pandangan di atas kembali ke masa keemasan ilmu Psikologi dan metafisik yang mencuat di Barat.

Farid Wajdi memaparkan dalam Dâiratul Ma’ârif-nya bahwa hingga abad enam belas para ilmuan Barat percaya akan wahyu serta kemetafisikannya, namun dengan maraknya empirisme dan filsafat materialis, mereka mulai mengingkari segala sesuatu yang metafisik seperti hipnotis, meramal (tenung), wahyu dan lainnya, akan tetapi dengan maraknya ilmu-ilmu yang berbau metafisis -seperti ilmu yang berkenaan dengan ruh, ilmu tenung, dan lainnya- yang mencuat pada tahun 1848 M, telah memaksa mereka untuk merevisi kembali pandangannya tentang wahyu, namun meskipun demikian mereka tetap saja menafsirkannya sesuai dengan doktrin empirisme dan psikologi.[4]



2. Perspektif Sosiologis

Kelompok ini menggangap bahwa wahyu bukanlah hasil bisikan (ilham) dan kondisi kejiwaan serta ego manusia, akan tetapi ia merupakan hasil karya dan intuisi sebagian orang-orang jenius.

Perjalanan sejarah dan kondisi sosial banyak menelurkan orang-orang jenius dalam barbagai aspek, para nabi tidak lain adalah bagian dari para jenius tersebut yang dengan kecerdasan yang tinggi dan penguasaan terhadap kondisi sosial, mereka mampu merumuskan serentet undang-undang sosial dan individu demi memberi petunjuk kepada umat manusia, undang-undang inilah yang kemudian disebut dengan “agama”.

Kebanyakan sosiolog Barat menginterpretasikan agama dan wahyu secara materialistis. Emile Durkheim megatakan: Pemikiran Lahut (keagamaan) yang ada dalam benak masyarakat berakar dari masyarakat itu sendiri.[5]



3. Perspektif Filosofis

Para filosof meyakini bahwa selain alam materi terdapat alam lainnya yang disebut dengan alam Aql dan alam Mitsâl (berdasarkan teori filsafat Iluminasi) dimana seluruh fenomena yang ada di dunia ini terlukiskan secara abstak di alam tersebut, dikarenakan substansinya yang berbeda dengan alam duniawi ia sangat jauh dari jangkauan manusia, namun dengan kedudukan yang tinggi, seorang nabi dapat mancapainya. Jiwa manusia dengan melepaskan belenggu materi dan melakukan penyucian diri, ia akan mampu berinteraksi dengan alam Aql dan alam Mitsal dan menagkap perkara dan berita gaib yang tersimpan di dalamnya, menyaksikan Malaikat dan mendengar ucapannya dapat terjalin dengan kekuatan nalar dan imajinasi seorang nabi. Dengan menyaksikan wujud Aqli dan Mitsâli Malaikat, seorang nabi dengan kekuatan imajinasinya dapat melihat jelmaan Malaikat serta mendengar ucapannya.[6]



4. Perspektif Teologis

Pandangan yang tersohor dalam teologi Islam dan teologi Nasrani menyatakan bahwa wahyu adalah lafaz (kata-kata), pesan dan wejangan yang diturunkan dari Tuhan -baik secara langsung maupun melalui Malaikat- kepada seorang nabi. Diyakini pula bahwa seorang nabi diharuskan untuk menyampaikan pesan-pesan Ilahi tersebut. Selain itu menurut pandangan ini (khususnya teologi Islam) wahyu yang diturunkan kepada Nabi Saw (al-Qur'an) seratus persen lafaz-lafaznya sesuai dengan apa yang telah dituturkan dan Nabi Saw sama sekali tidak menambahkan atau mengurangi satu kata atau kalimat pun darinya, berbeda dengan apa yang diyakini sebagian orang bahwa al-Qur'an turun kepada Rasul Saw hanya berupa pemahaman dan makna, Rasul sendirilah yang telah meletakkan lafaz-lafaz dan kalimat-kalimat yang ada.



Wahyu dan Pengalaman Keagamaan

Pandangan kelima -yang akhir-akhir ini tersebar dan banyak dibicarakan- menganggap bahwa wahyu merupakan pengalaman keagamaan dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan alam gaib. Sebelum menelusuri pandangan ini lebih dalam lagi, di sini kami akan memaparkan definisi pengalaman keagamaan serta dua pembagian intinya.



Definisi Pengalaman Keagamaan dan Pembagiannya

Pengalaman (experience) merupakan sebuah daya nalar dan perasaan, dimana dengan pengalaman -keagamaan- yang dijalaninya, manusia dapat berinteraksi dan menyaksikan sesuatu yang metafsikal. Contoh yang jelas ialah sesuatu yang dialami manusia didalam dirinya dan segala apa yang berkaitan dengan jiwa manusia, seperti perasaan gembira dan sedih, haus dan lapar dan lainnya. Perasaan-perasaan semacam ini adalah pengalaman yang masih berbau meteri, ada model pengalaman lain yang dialami manusia saat ia telah keluar melewati batas alam materi, jiwanya akan merasakan sesuatu yang metafisikal sehingga ia memiliki keterikatan yang erat dengannya. Model pengalaman semacam ini disebut dengan “pengalaman keagamaan”[7] yang memiliki subtansi yang sama antara agama-agama di dunia ini, yang di dalam agama-agama langit disebut dengan “Tuhan”, di dalam agama Budha “Nirwana” dan di dalam agama Hindu disebut “Brahmana”.

Contoh yang jelas dari pengalaman keagamaan ialah kondisi Kasf wa Syuhud (penyingkapan dan penyaksian) yang dialami oleh para urafa’ yang ada di setiap agama, pada kondisi ini para urafa dapat menyaksikan ghayah (tujuan) dan mutiara agamanya bahkan mereka pun dapat berinteraksi dengannya, dan setelah ia keluar dari kondisi yang dialaminya, ia akan mengabarkan apa-apa yang ia alami dan saksikan.

Michael Peterson saat mendefinisikan pengalaman keagamaan menuliskan: Pengalaman keagamaan tidak seperti pengalaman atau eksperimen lainnya, ia bersifat pribadi dan obyeknya adalah kehadiran sesuatu yang metafisikal (yaitu wujud Tuhan dan manifestasi-Nya pada suatu tindakan) atau memandang suatu keberadaan yang memiliki keterikatan dengan Tuhan (seperti manifestasi Tuhan atau pribadi seperti Maryam 'Udzarâ), atau menyangka itu sebagai puncak hakikat yang tidak dapat disifati, seperti perkara absolut dan tidak ada duanya, Brahma atau Nirwana.[8]

Pengalaman keagamaan tidak memiliki definisi yang akurat, karena selain tidak ada konsensus akan definisi agama itu sendiri, pengalaman keagamaan pun tidak dapat dialami dan dirasakan semua orang, oleh kerena itu mendefinisikannya pun sangatlah sulit bahkan mustahil, menurut istilah Wayne ProudFoot “pencarian tanpa hasil” .[9]

Pengalaman keagamaan memiliki definisi yang bergama seperti “sejenis perasaan”, “perasaan yang berbasiskan persepsi sensasi” dan “penjelasan akan sesuatu yang metafisik” dan lainnya dimana pembahasannya memerlukan ruang tersendiri.[10] Di sini kami akan menyoroti dua analisa penting atas penafsiran pengalaman keagamaan yang merupakan jawaban dari pertanyaan ini: Apakah pengalaman religius yang beragam memiliki kesatuan esensi?



1. Konsep esensialis[11]:

Menurut pandangan ini, seluruh pengalaman keagamaan yang dimiliki oleh para urafa’, Nabi dan pribadi lainya, secara esensial adalah satu, dan sebagaimana yang tampak dalam sebutannya, kelompok ini meyakini adanya kesatuan esensi dan substansi yang sama bagi seluruh pengalaman keagamaan yang disebut menemui perkara uluhi (the numinous) atau menuju “dzat mutlak”. Para pendukung pendapat ini meyakini bahwa pengalaman mistik (irfani) adalah murni, tidak terpengaruh dan terefek oleh bahasa, budaya, dan pra konsepsi sang pemilik pengalaman; akan tetapi ia mirip seperti pengalaman indera lainnya yang senantiasa memberikan pengetahuan dan informasi. Mereka menganggap bahwa fondasi dan subtansi agama adalah pengalaman agama pribadi seseorang muta'alih (mentransendental) dan mereka tidak memandang pesan-pesan wahyu yang terkandung dalam agama-agama langit, prinsip-prinsip rasional dalam ketuhanan rasionalis serta teori akhlak Kant dalam mengenal Tuhan. Para pendukung pandangan ini antara lain Schleiermacher[12], Rudolf Otto, William James[13] dan Stace[14].

Sehubungan dengan ini Barboure menuliskan: Inovasi yang muncul pada awal-awal abad kesembilan belas ini, berakar pada pemikiran Schleiermacher, dimana menurut pandangannya fondasi agama bukanlah prinsip-prinsip wahyu, juga bukan rasio yang membuahkan makrifat dan juga bukan norma dan akhlak akan tetapi ia (fondasi agama) adalah kesadaran keagamaan (religious awareness) yang berbeda dengan apa yang telah disebutkan di atas. Agama adalah pengalaman yang selalu hidup, bukan keyakinan-keyakinan resmi yang mati. [15]



2. Konsep konstruktif[16]:

Pandangan kelompok ini berseberangan dengan pandangan di atas, selain mengingkari adanya kesatuan esensi bagi beragam pengalaman keagamaan, kelompok ini pun meyakini bahwa pengalaman keagamaan merupakan pengaruh dari basis pengetahuan, keyakinan, budaya dan sosial. Dapat dikatakan bahwa pengusung pandangan ini atara lain ialah Wittgenstein, John Hick, Ninian Smart, Winn Rite dan Steven Katz.[17]

Kelompok pertama meyakini bahwa wahyu merupakan suatu bentuk pengalaman keagamaan yang subtansinya dapat ditemukan pada diri para urafa, sufi dan para pertapa. Dalam pengalaman ini, sebagai ganti dari turunnya malaikat pembawa wahyu dan kitab suci, dengan sendirinya seorang yang memiliki pengalaman keagamaan mampu menyaksikan Tuhan atau manifestasi keberadaan-Nya. Dengan kata lain, Tuhan memanifestasikan dan menampakkan atas nabi jelmaan (mazhar) dan manifestasi-Nya dalam pengalaman keagamaan; kemudian nabi setelah pengalaman ini dan telah sadar serta kembali kepada kondisi biasa, akan mengabarkan dan menafsirkan penyingkapan (kasyf) serta pengalaman yang dialaminya. Singkatnya, hakikat wahyu tidak lain adalah pengalaman keagamaan dan interpretasi para nabi atas mukasyafah yang dialaminya. Manusia dikarenakan pengaruh keagungan jiwa dan ruhnya dalam mukasyafah (pengalaman keagamaan), ia akan mencapai suatu maqam dimana manifestasi dari Haq Ta’ala akan tampak pada dirinya. Namun apakah peyingkapan, penafsiran dan penjelmaan ini benar-benar berasal dari sisi Tuhan? Pada saatnya kami akan menjawab pertanyaan ini.



Wahyu Dalam Teologi Kristiani

Dalam teologi Kristiani banyak terdapat indikasi yang menyatakan bahwa wahyu berakar dari pengalaman keagamaan. Para pendeta Nasrani meyakini bahwa Tuhan tidak menurunkan pesan-pesan dan wahyu kepada Nabi Isa As, akan tetapi ruh suci Ilahi telah menjelma pada diri al-Masih, dan diri al-Masih sendiri adalah wahyu yang diturunkan. Peryataan ini sesuai dengan lahiriah sebagian ayat perjanjian baru yang mengatakan: “Tuhan dalam diri al-Masih”.

Para teolog liberal Nasrani mengatakan bahwa wahyu adalah kehadiran dan manifestasi Tuhan dalam kehidupan al-Masih dan seluruh Nabi Bani Israil, dengan ini mereka telah mengingkari wahyu yang berbentuk lafaz dan kata-kata (pengiriman kitab samawi). Berkaitan dengan ini Barboure mengatakan: Para teolog liberal menyatakan: tidak dapat dipungkiri bahwa kitab suci (Injil) bukanlah wahyu yang diturunkan secara langsung namun ia telah ditulis oleh manusia dan dengan antusias mereka membacanya. Sebagai ganti dari pengingkaran terhadap wahyu, sebagian dari mereka (teolog liberal) mengungkapkan persepsi baru mengenai wahyu: Tuhan telah menurunkan wahyu, namun bukan dengan mendikte sebuah kitab suci, akan tetapi dengan kehadiran-Nya dalam kehidupan al-Masih dan Nabi-Nabi Bani Israil, oleh karenanya kitab suci bukanlah wahyu secara langsung, namun ia merupakan bukti atas refleksi wahyu dalam pengalaman keagamaan manusia.[18] Bart menyatakan bahwa wahyu yang sebenarnya adalah pribadi al-Masih itu sendiri, kalimat dalam bentuk manusia. Kitab suci adalah hasil tulisan manusia yang memberi kesaksian akan keyataan wahyu ini.[19]

Pandangan ini merebak luas dalam teologi Protestan pada abad kedua puluh, dimana mereka mendakwa bahwa pembaharu agama Nasrani abad keenam belas seperti Luther dan Calhoun, bahkan lebih dari itu dalam perjanjian baru dan gereja pertama telah dinyatakan bahwa kredibilitas wahyu terdapat pada diri Masih sendiri bukan pada kitab suci.[20]



Pandangan Sebagian Pemikir Muslim Kontemporer

Sebagian Pemikir Muslim menerima interpretasi di atas, Syaikh Muhammad Abduh setelah menukil definisi wahyu yang umum dikenal dengan “Pesan Tuhan”, ia mengemukakan pendapatnya seraya mengatakan: Adapun pendapat kami -tentang wahyu- kami katakan bahwa ia adalah pengetahuan ('irfân) yang didapati seseorang dalam jiwanya dengan dibarengi keyakinan bahwa ia datang dari sisi Tuhan, baik dengan perantara ataupun tidak, adapun yang pertama (yang dengan perantara) dengan perantara suara yang sampai ke pendengarannya atau dengan lainnya.[21]

Muhammad Iqbal adalah salah satu pemikir kontemporer Muslimin yang selain menerima pendekatan empiris terhadap permasalahan makrifat [22], penafsiran hakikat agama, dan memprkenalkan filsafat (filsafat Yunani dan akal murni), menyambut penafsiran pengalaman keagamaan dalam bentuk berseberangan dengan al-Qur'an.[23] Ia mengistilahkan wahyu dengan “kondisi batin” dan “kesadaran batin” yang memiliki kesatuan esensi dengan pengalaman agama dan pengalaman batin lainnya. Selanjutnya ia menuturkan: Dapat dikatakan bahwa seorang Nabi memiliki kesadaran dan pemahaman batin semacam ini dimana pada kondisi ini "pengalaman kesatuan" mempunyai kecenderungan padanya melewati batasannya.[24] Dari sisi kualitas pengalaman batin tidak berbeda dengan pengalaman kenabian. [25]

Iqbal menganggap bahwa basis wahyu dan pengalaman keagamaan berasal dari kekuatan insting yang juga dapat ditemukan -dengan berbeda- pada tumbuhan dan binatang.

Keterkaitan dengan sumber keberadaan ini sama sekali tidak hanya terbatas untuk manusia. Penggunaan kata wahyu dalam al-Qur'an melaporkan bahwa kitab ini menganggap wahyu sebagai tahap kehidupan tertentu dan sudah barang tentu kriteria dan polanya adalah berbeda berdasarkan tingkatan keragaman kesempurnaan kehidupan. [26]

Menurutnya (Iqbal) landasan dan basis wahyu adalah dorongan insting dan kekuatan jiwa di masa kanak-kanak yang tetap kokoh saat berhadapan dengan beragam hambatan seperti akal dan kehidupan duniawi.

Pada masa kanak-kanak, kekuatan jiwa dapat mencuatkan sesuatu yang kami sebut dengan “Kesadaran Kenabian” yang dengan mediasinya pandangan dunia seseorang dan jalan kehidupan dapat terpelihara dengan cara mengikuti perintah-perintah, prinsip-prinsip serta memilih petunjuk dan hidayah yang telah ada dan tersedia. [27]

Sourush mengatakan: Kenabian adalah sejenis pengalaman dan kasyf dan seterusnya, Nabi juga adalah manusia, agama adalah konklusi pengalaman-pengalaman individul dan sosialnya, sekarang ini pada masa kegaiban (ketiadaan) Nabi, pengalaman-pengalaman dalam (batin) dan di luar dirinya pun harus terus berlanjut. [28]

Mujtahid Syubastary mengatakan: Wahyu adalah semacam pengalaman keagamaan. [29]

Sebagian lainnya menuliskan: Wahyu adalah bagian dari pengalaman keagamaan dan seterusnya menurut prinsip agama-agama Tauhid, wahyu memiliki satu arti yaitu “Pengalaman Ketuhanan”, oleh karena itu minimal ia dapat dikatakan sebagai salah satu misdak dari pengalaman keagamaan. [30]



Justifikasi Ayat-Ayat al-Qur'an

Para pendukung pandangan di atas dengan beragam cara berupaya menjustifikasi ayat-ayat al-Qur'an yang secara gamblang berbicara akan turunnya lafaz-lafaz al-Qur'an dan dengan jelas memposisikan Nabi Saw sebagai lawan bicara. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa pada dasarnya saat manjadi lawan bicara ayat-ayat tersebut, Nabi Saw berada di alam mimpi, beliau merasakan kondisi sedemikian rupa seakan-akan ada seseorang yang sedang mengajaknya bicara dan dialog, setelah terbangun, beliau pun menuturkannya sebagai bentuk wahyu.

Sehubungan dengan ini Sourush menuliskan: Bahwa ayat-ayat al-Qur'an telah diwahyukan kepada nabi atau nabi hanya merasakan ada seseorang yang mengajaknya bicara, hal ini tidak perlu lagi dibahas. Nabi-nabi, bahkan pribadi-pribadi biasa (bukan nabi) juga dapat mengalami perasaan semacam ini, dimana mereka merasakan ada seseorang yang berbicara kepadanya, berdialog, memerintah dan melarang, hal ini bukanlah suatu yang aneh, ini biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kita hanya berkenaan nabi mempunyai pandangan lain dalam masalah ini dikarenakan kita memandang dia sebagai nabi. Seandainya kita tidak memandang dia sebagai seorang Nabi maka kita akan katakan: Bahwa wahyu yang didakwanya tidak lebih hanya khayalan biasa yang dilakukan oleh semua orang, namun dikarenakan kita memandangnya sebagai seorang Nabi maka kita berkeyakinan bahwa ia telah mengalami kondisi tertentu yang berada di bawah pangawasan, bimbingan dan petunjuk Ilahi. [31]



Analisa Pandangan di Atas

Pandangan di atas memiliki beberapa poin yang urgen dipikirkan secara mendalam:

1. Mendegradasi wahyu sebanding dengan pengalaman biasa: Interpretasi di atas telah merendahkan wahyu dan syuhud para nabi hingga setara dengan pengalaman religius yang biasa dialami oleh seseorang, dimana para nabi dengan orang-orang lain adalah setara dalam prinsip dan tipe pengalaman, padahal pengalaman wahyu para Nabi sangatlah berbeda dengan pengalaman keagamaan yang dialami manusia, karena maqam wahyu yang mereka dapatkan bukanlah semata hasil penyucian jiwa (tahdzib an-Nafs), akan tetapi iapun ditopang oleh karunia Ilahi yang hanya diberikan kepada sebagian manusia, seperti maqam kenabian yang dikaruniakan kepada Nabi Isa As disaat ia masih bayi sama sekali bukan hasil penyucian diri dan pengalaman keagamaan.

2. Campur tangan nabi dalam wahyu: Pandangan di atas menganggap wahyu adalah hasil penafsiran seorang nabi yang dipahami dari pengalaman keagamaan yang dialaminya, dengan demikian interpretasi seorang nabi tidak lebih seperti interpretasi lainnya dan hukum-hukum yang terdapat didalamnya pun tidak akan memiliki keistimewaan. Akhirnya kebenaran atas apa yang disaksikan dan ditafsirkan seorang nabi pun dapat diragukan, dan lebih dari itu, dengan campur tangan pribadi nabi, wahyu yang disampaikannya pun akan tersisipi oleh perkara lainnya. Kemestian dari pandangan di atas selain akan menganggap prinsip-prinsip agama sebagai karya manusia, iapun akan menjadikan esensi agama (wahyu) sebagai ciptaan manusia yang tidak akan luput dari kesalahan dan kekhilafan.

3. Pengingkaran terhadap wahyu: Dengan pandangan di atas, kebenaran wahyu, pengalaman keagamaan, mukasyafah dan penjelmaan (tajalli) Tuhan akan kembali dipertanyakan, karena ada kemungkinan pesan yang ditarik dari pengalaman keagamaan tidak memiliki fakta di luar, akan tetapi ia hanya sebuah konklusi dari pengetahuan yang dimiliki sebelumnya atau hasil pengaruh faktor eksternal lainnya. Jika demikian halnya, pendapat yang menyatakan bahwa wahyu adalah hasil pengalaman keagamaan sangat dekat dengan perspektif psikologi -yang penjelasannya telah berlalu-. Minimal para pendukung pandangan di atas tidak akan mampu membuktikan eksistensi wahyu dan tajally Tuhan.

4. Mengingkari al-Qur'an sebagai kitab samawi: Salah satu konsekuensi pandangan di atas ialah menganggap kitab-kitab suci bukan merupakan kitab-kitab samawi. Mungkin bagi umat Yahudi dan Nasrani, anggapan ini bukan sesuatu yang aneh dan mustahil, karena sejarah mambuktikan bahwa Injil dan Taurat adalah hasil tulisan tangan seseorang dan juga sudah mengalami perubahan (distorsi). Namun bagi umat Islam anggapan ini sama sekali tidak dapat diterima, mereka sepakat mensifati al-Qur'an (wahyu) sebagai kitab Samawi dan Kalam Ilahi.

5. Banyak bermunculan agama: Dengan mengatakan bahwa wahyu yang dibawa oleh para Nabi adalah hasil pengalaman keagamaan mereka pribadi (bukan dari sisi Tuhan), maka semua orang pun juga dapat mengalami hal demikian dimana mereka dapat mencapai tingkatan pengalaman keagamaan yang dimiliki para Nabi. Sebagaimana yang dinyatakan oleh sebagian mereka bahwa esensi agama adalah pengalaman kegamaan yang dimiliki seseorang, maka konsekuensinya adalah jumlah agama bahkan esensi agama akan menjadi banyak sesuai dengan jumlah orang-orang yang memiliki pengalaman keagamaan.

6. Meluasnya maqam kenabian, konsekuensi lainnya dari pandangan di atas ialah meluasnya cakupan kenabian hingga dapat dimiliki oleh manusia biasa. Sebagaimana yang mereka yakini bahwa wahyu ialah hasil pengalaman keagamaan dimana pengalaman ini juga dapat dialami semua atau kebanyakan orang, maka dengan memiliki pengalaman keagamaan, seseorang dapat memperoleh wahyu, ini berarti ia telah mendapatkan maqam kenabian, tidak peduli apakah itu sebelum kenabian Muhammad Saw atau setelahnya. Jelas keyakinan seperti ini bertentangan dengan prinsip agama Islam yang menegaskan bahwa Muhammad adalah nabi terakhir umat manusia -yang akan kami bahas selanjutnya-. Selain itu maqam kenabian hanya dapat dicapai dengan dua syarat, pertama adalah kelayakan seorang nabi dan yang kedua adalah pilihan dari sisi Allah, para penggagas pandangan di atas telah melupakan syarat yang kedua.

Berkaitan dengan maqam kenabian, Doktor Sourush mengatakan: Harus diakui mungkin saja seseorang dapat menjadi nabi bagi dirinya sendiri dimana ia dapat merasakan perasaan tertentu dan memiliki insting yang kuat, namun jika ada seseorang yang mempublikasikan hal ini maka dunia Islam akan menyikapinya dengan keras. [32] Selanjutnya saat menjustifikasi hadis Nabi Saw yang berbunyi “Tidak ada Nabi setelahku”, Sourush berkata: Dalam hadis ini Nabi memerintahkan kepada umatnya agar menutup pintu kenabian dan jangan lagi percaya ucapan seseorang yang mengaku nabi dan kepada orang-orang yang juga merasakan hal demikian, beliau bersabda “janganlah kalian mengumumkan apa yang kalian alami”.[33]

Seharusnya Doktor Sourush konsisten dengan apa yang dijelaskanya dan membuktikan keabsahan kenabian setelah Rasul Saw dengan tinjauan luaran agama, bukan malah bersandar dengan bukti teks agama, selain itu ia juga tidak menyebutkan referensi hadis yang dinisbahkan kepada Nabi Saw yang berbunyi “janganlah kalian mengumumkan kenabian yang kalian rasakan” sehingga dapat dianalisa sanad dan dilâlah-nya. Setelah mencari -melalui komputer- dari kitab-kitab hadis standar Ahlusunnah dan Syi’ah, penulis tidak menemukan hadis tersebut, malah yang didapati adalah hadis-hadis yang bertolak belakang dengan apa yang diucapkan, contohnya, dalam beberapa tempat terdapat nukilan hadis dari Nabi Saw yang menegaskan bahwa siapa saja yang mengaku nabi sepeningal beliau, maka ia telah menciptakan bid’ah dalam agama, dan tempat baginya dan juga pengikutnya adalah neraka, di dunia ia harus dihukum mati, seperti sabda beliau “Wahai manusia tidak ada nabi setelah aku dan tidak ada sunnah selain sunnahku, barang siapa yang mengaku sebagai nabi, maka ajarannya dan bid’ahnya adalah neraka, perangilah ia! Barang siapa yang mengikutinya, maka ia pun di neraka”. [34] lebih dari itu, bahkan Rasul Saw menyebut orang-orang yang mengaku nabi setelah beliau sebagai “pendusta” (Kadzzâb), sabda beliau: “Akan datang setelahku para pendusta, mereka mengaku sebagai nabi dan aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku”.[35] Yang menarik untuk diperhatikan, dari sekitar delapan ratus riwayat hadis yang mengatakan “La nabiyya ba’di” (tidak ada nabi setelahku), terlihat ada upaya dari para pemalsu hadis untuk menambahkan teks hadis tersebut menjadi “La nabiyya ba’di illa an yasyâ’ “ (Tidak ada nabi setelah kecuali jika Ia menghendaki), pemalsuan hadist ini dapat dilihat dengan jelas oleh para Ahli hadist.[36] Adapun justifikasi yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “La nabiyya ba’di” adalah menampakkan atau mempublikasikan kenabian yang dimiliki, bertentangan dengan zahir dan teks hadis. Hadis di atas dengan jelas meniscayakan inti dan hakikat keberadaan Nabi (sepeninggal Rasulullah Saw), bukannya berarti boleh ada nabi (sepeninggal Rasulullah Saw), hanya saja tidak memiliki hak untuk mempublikasikannya. Jika yang dimaksud dengan Nabi dalam justifikasi di atas adalah makna irfannya yang biasa di sebut “wali Kâmil” (wali sempurna) oleh para urafa, maka kita katakan: Pertama, seharusnya penulis mengungkapkan apa yang dimaksudnya dengan gamblang dan jelas. Kedua, para urafa tidak menggunakan istilah kenabian dan wahyu bagi semacam itu (untuk wali Kamil), akan tetapi yang mereka gunakan adalah istilah “ilham” dan “Nubuwwa at-ta’rify” -lawan dari “Nubuwwa at-tasyri’i” yang dimilik oleh seorang Nabi-.

7. Wahyu dapat digapai dengan pengalaman keagamaan: Jika kita menilai secara obyektif dan mengatakan bahwa maksud dari pengalaman keagamaan adalah bahwa dengan kesucian jiwa mereka, para nabi akan sampai satu fase irfani dimana Haq Ta’ala akan hadir dan bertajalli pada diri mereka, dengan demikian wahyu dan pesan Tuhan akan turun dan sampai kepada mereka. Dari sisi ini, pengalaman keagamaan dan tingkatan syuhud para Nabi juga dapat dimiliki manusia biasa, walaupun secara gradual terdapat perbedaan diantaranya. Untuk menganalisa hal ini, kita harus akui bahwa memang apa yang diucapkan di atas secara global memiliki kesamaan dengan pandangan para urafa dan filosof, namun penyucian hati adalah salah satu syarat untuk mendapatkan wahyu, bukan syarat tunggal sehingga dapat kita katakan bahwa seseorang cukup dengan pengalaman keagamaan, ia akan mencapai maqam kenabian, karena turunnya wahyu dan syariat juga memiliki syarat lain yaitu pilihan atau karunia dari Allah Swt, dan malaikat akan turun membawa wahyu hanya kepada para Nabi yang dipilih oleh Allah Swt. Namun jika maksud dari ucapan mereka -wahyu adalah pengalaman keagamaan- adalah bahwa sebenarnya seseorang yang memiliki pengalaman, tidak berinteraksi dengan hakikat Ilahi, akan tetapi apa yang disampaikannya hanya semata hasil khayalan, maka kita katakan bahwa anggapan ini bukan saja telah merendahkan wahyu hingga pada batas terendah dari pengalaman keagamaan bahkan iapun telah memposisikan wahyu sejajar dengan khalayan.

8. Meruntuhkan norma dan prinsip sosial: Tujuan inti agama adalah memberi petunjuk kepada umat manusia dan mengantarkan mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Namun, berdasarkan pandangan di atas, wahyu dan agama diturunkan sesuai perasaan dan selera pribadi. Dengan perasaan dan pengalaman yang dimilikinya, setiap orang dapat menafsirkan pengalaman keagamaan yang dianggap sebagai agama itu sendiri. Dengan demikian, mereka dapat menghapus atau merubah doktrin-doktrin sosial bahkan seluruh ajaran-ajaran yang ada didalamnya. Padahal inti misi wahyu dan agama yang dibawa oleh Nabi adalah memberi hidayah kapada umat manusia serta membawa mereka kepada kebahagian yang abadi. Jika wahyu adalah hasil karya seseorang, maka ia sama sekali tidak akan memiliki peran dalam menjamin kebahagiaan manusia, karena setiap orang akan membawa prinsip dan aturan sosial yang berbeda yang akan menimbulkan kekacauan dalam tubuh masyarakat, dengan kata lain konsekuensi pandangan di atas ialah munculnya sekularisme dalam Islam dan ini jelas bertentangan dengan prinsip agama Islam.[37]

Sampai di sini tampak jelas bahwa wahyu tidak dapat ditafsirkan sebagai pengalaman keagamaan, dimana pandangan seperti ini mengakibatkan pengingkaran terhadap wahyu atau paling tidak mengkhususkannya pada perasaan-perasaan tertentu yang sama sekali tidak sesuai dengan wahyu yang dimaksud oleh al-Qur'an dan hadis.



Hakikat Wahyu Menurut Para Urafa’

Para urafa’ juga memandang hakikat wahyu sebagai pengalaman keagamaan, namun pangalaman keagamaan yang mereka utarakan memiliki beberapa perbedaan dengan apa yang dikatakan para ilmuan Barat. Untuk mengenal lebih jeluk , kita akan menyoroti poin-poin berikut:

1. Para urafa’ membatasi wujud hakiki hanya pada Dzat Ilahi dan segala keberadaan selain-Nya hanya merupakan manifestasi dari keberadaan-Nya yang hakiki.[38] Mereka menyebut Dzat Allah Ta’ala yang murni dari asma dan sifat dengan “Maqam Ahadiyat”, “Gaib Maghib” dan “Maqam ‘Ama’”.

Setelah "Maqam Ahadiyat" adalah “Maqam Wâhidiyat” dimana pada tingkatan ini asma’ dan sifat Ilahi menjadi sorotan dan perhatian, alam ini disebut dengan “A’yân Tsâbitah”, “Hadhrat Ilmiah” dan “Syahadah Mutlaqah”. Dalam alam ini -secara abstrak- terdapat inti keberadaan alam lainnya yang sebenarnya alam ini merupakan pemberi dan penganugerah keberadaan bagi alam imkân, oleh karena itulah ia disebut dengan “Faidh Aqdas”, namun sesuai dengan kaidah “Al-wâhidu la yashduru ‘anhu illa al-wâhid” (Sesuatu yang satu tidak akan muncul darinya kecuali yang satu pula) maka ia adalah makhluk tanpa perantara yang disebut “Aql Awwal” menurut para filosof atau “Wujud Munbasit wa ‘Aam” menurut istilah urafa’.[39] Wujud mumkin pertama ini juga merupakan penganugrah keberadaan bagi wujud lainnya, dimana antara satu dengan alam lainnya memiliki hubungan sebab dan akibat.

2. Menurut keyakinan para urafa’ dan kebanyakan filosof, Shâdir Awwal dan Wujud Munbasith adalah Ruh Muhammadi Saw yang mendapat pengagungan sebagai manifestasi pertama dan makhluk tanpa perantara Allah Swt.[40] Setelah ruh Nabi Islam, diciptakanlah ruh para Imam suci dan Nabi sebagai Uqul Mujarradah. Aql dan ruh malaikat termaksud Jibril diciptakan setelah ruh Nabi dan Imam yang sebenarnya adalah makhluk dan anugrah ruh suci Rasulullah Saw. [41]

Dalam alam Aql, utusan dan pembawa pesan pertama adalah ruh Rasulullah Saw yang merupakan Shâdir Awwal yang dengan menempuh perjalanan (Sair) di alam Hadhrat Ilmiah dan Maqam Wâhidiyat dapat mentransfer hakikat-hakikat asma dan sifat Ilahi kepada Aql lainnya termasuk Aql para Nabi dan Malaikat, dari sini jelaslah makna dan maksud dari hadis Nabi Saw yang berbunyi “Aku telah menjadi seorang Nabi (pembawa pesan) di saat Adam As berada di antara air dan tanah"[42], "Adam As dan siapa saja selainku berada di bawah benderaku”.[43]

3. Wahyu dan pesan-pesan gaib diturunkan kepada para nabi melaui para malaikat dari alam Aql dan di batas akhir Aql Awwal yang tidak lain adalah ruh Muhammadi Saw yang dengan perantaraannya Allah akan menurunkan wahyu-Nya, dengan demikian jelaslah keagungan dan keistimewaan ruh Rasulullah Saw dan para Imam Maksum dibanding para nabi lainnya serta seluruh kitab suci yang diturunkan kepada mereka, bahkan mereka (Rasul dan Imam suci) lebih mulia dibanding al-Qur'an itu sendiri karena wujud suci mereka merupakan sumber dan perantara turunnya wahyu dan al-Qur'an.[44]

4. Alam dunia dan manusia merupakan alam mumkin yang paling rendah, dimana sumber keberadaannya pun berasal dari alam Aql. Ruh manusia juga telah ada di alam Aql dengan berbentuk wujud yang simpel dan tunggal yang kemudian turun di alam dunia yang berada di bawahnya. Yang patut disoroti di sini adalah perpindahan ruh dari alam Aql ke alam dunia bukan berarti meniscayakan kekosongannya di alam Aql, namun keberadaan ruh manusia tetap terjaga di sana, demikian pula halnya dengan Nafs Nabawi.[45] Oleh karena itu, pada hakikatnya manusia memiliki dua sisi dan wujud. Wujud pertama manusia adalah keberadaannya sebelum di dunia yang berupa Aql dan abstrak yang berada di alam ‘Uqul dan merupakan A’yan Tsâbitah. Wujud kedua manusia adalah keberadaan materinya yang saat ini berada di alam materi dan terdiri dari ruh dan badan. Nafs manusia karena ketergantungannya dengan materi -atau menurut istilah Hikmah Muta’aliyah, penemuan Nafs (non-materi) yang tadinya dari materi dikarenakan Harakah Jauhariah (gerakan substansial)-, tidak memiliki kesempurnaan metafisikal, namun ia tetap memiliki potensi untuk menggapai dan menyerap kesempurnaan-kesempurnaan tersebut. Oleh karena itu, dengan melalui fase-fase dan empat perjalanan (Asfar Arba’ah), setiap manusia akan mampu mencapai kesempurnaannya dan tersambung dengan Ain Tsâbit-nya dan seluruh Aql lainnya.

5. Berdasarkan uraian sebelumnya jelaslah bahwa manusia membutuhkan petunjuk dan pertolongan Ilahi dengan perantara para Malaikat, namun Nafs para nabi khususnya Nabi Islam hanya butuh kepada pertolongan Ilahi (tanpa perantara Malaikat). Dengan Tahdzibu an-Nafs yang dijalani di dunia ini, Rasulullah Saw menyiapkan dirinya untuk Mi’raj dan berinteraksi dengan 'Ain Tsâbitah dan Wujud Bashit-nya, dan setelah melalui serangkaian fase, beliau akan mencapai Maqam Nubuwwah yang berada di alam ‘Uqul dan menurunkannya di alam materi. Jadi pada hakikatnya, wahyu yang di sampaikan oleh Rasul Saw berasal dari “Hakikat Muhammadiah” dan “Wujud Munbasith”. Dengan kata lain, wujud materi Rasulullah Saw telah tersambung dengan wujud mujarrad-nya, dan wahyu yang beliau sampaikan kepada umat adalah hakikat mujarrad yang telah menjelma menjadi uraian wahyu yang rinci dan berdimensi materi. Kalaupun para malaikat seperti malaikat Jibril memiliki andil dalam merealisasikan tugas Nabi tersebut (menyampaikan wahyu), tidak lebih ia hanya sebagai pendamping Nafs Nabawi atau penyampai pesan dari Hakikat Muhammadiah kepada Nafs Nabawi.[46]



Hakikat Wahyu Para Nabi[47]

Mendifinisikan dan mengenal wahyu sangat berkaitan dengan masalah kenabian, karena wahyu adalah salah satu produk inti kenabian. Pada poin sebelumnya telah diuraikan pandangan para urafa’ mengenai hakikat kenabian yang konklusinya adalah sebagai berikut: Kenabian -secara global- bercabang menjadi dua bagian “Ta’rifi” dan “Tasyri’i” . Kenabian Ta’rifi adalah pesan dan pemberitaan yang berasal dari maqam dan makrifat -Aqli dan Maknawi- yang berada di alam Aql. Adapun kenabian Tasyri’i adalah pemberitaan akan ajaran-ajaran dan hukum-hukum Ilahi yang disampikan kepada umat manusia di alam materi. Dalam kenabian ini, seorang Nabi dengan menjalani Tahdzib an-Nafs akan dapat mengangkat potensi ruhnya hingga sampai kepada tingkatan dimana ia dapat berinteraksi dengan alam Aql dan menyerap berbagai hakikat yang berada di sana dalam bentuk wahyu. Apapun perbedaan tingkatan dan maqam yang telah dicapai oleh para Nabi, kembali kepada tingkatan dan posisi masing-masing Nabi itu sendiri. Bisa jadi dikarenakan seorang Nabi tidak berada dalam tingkatan yang tinggi, dalam mimpinya ia berinteraksi dengan salah satu Aql yang berada di tingkatan lebih rendah dan ini mempresentasikan akan kejauhannya dengan Hakikat Muhammadiah, dan juga bisa jadi Nabi lainnya telah mencapai penjelmaan pertama dari Shâdir Awwal sehingga ia dapat menyaksikan dan mendengar segala hakikat gaib dengan kekuatan khayalan (Quwwah Mukhayyalah) atau kekuatan akalnya (Quwwah ‘Aqilah), seperti yang dialami oleh Nabi Isa dan Nabi Musa As. Berdasarkan perbedaan tingkatan dan keutamaan para Nabi, kriteria wahyu dan cara interaksi mereka dengan alam Aql -di antaranya malaikat- juga akan berbeda.

Bagi para nabi yang berada pada tingkatan yang lebih rendah, malaikat yang turun kepada mereka -baik dalam alam sadar atau mimpi- akan bersemanyam di daya khayal mereka dan hakikat gaib (wahyu) yang turun dari Hadhrat ‘Ilmiah akan sampai ke hati mereka.[48] Namun bagi para Nabi yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari ‘uqul dan malaikat, penyampaian wahyu dan turun naiknya malaikat akan terealisasi dengan seizin Nafs Nabawi. Mereka dapat menyaksikan dan berdialog langsung dengan para malaikat khususnya dengan malaikat Jibril yang disaksikan di alam ‘uqul dengan bentuk “Tamatsul Aqli”, di alam mitsâl dengan bentuk “Tamatsul Mitsâli” dan di alam materi dengan bentuk “Tamatsul Nâsuti” dan dengan cara inilah mereka mengambil wahyu dari malaikat. Para urafa’ meyakini hal ini dan menafsirkannya sebagai mabda wahyu. Sehubungan dengan ini Muhyiddin Arabi mengatakan: Nabi-nabi pembawa syariat yang menerima wahyu melalui Ruh al-Amin (malaikat Jibril) dari ‘Ain al-Malak ...maka harus dengan turunnya ruh-ruh ke hati mereka.[49] Yang dimaksud dengan hati dan tempat turun dan bersemayamnya malaikat adalah kekuatan khayal muthashil para Nabi yang di dalamnya terdengar suara malaikat pembawa wahyu dimana dengan proses pembentangannya, seorang Nabi akan sampai pada kahayal munfashil (alam mitsâl).

Selanjutnya Ibnu Arabi menuturkan: Hadhrat Khayal adalah merupakan pilar utama wahyu Ilahi bagi para ahli inayah...dan demikian pula jika malaikat menjelma seorang lelaki bagi seorang Nabi, maka itu merupakan bagian dari Hadhrat Khayal.[50]

Dalam mensarahinya, Qaisari menuliskan: Sesungguhnya wahyu tidak akan ada kecuali dengan turunnya malaikat dan pertama turunnya pada Hadhrat Khayal kemudian pada Hadhrat Hissiah, oleh karenanya pribadi yang menyaksikannya harus memiliki kekuatan khayal yang becahaya, agar ia dapat menyaksikannya di dalam Hadhrat Khayal dan juga di dalam Mitsal Mutlaq karena ia adalah penghubung antara alam materi dengan Mitsali Mutlaq dan turun naiknya Malaikat harus melaluinya.[51]

Sa’duddin Faraghani dengan membagi wahyu menjadi beberapa bagian, ia meyakini bahwa mendengar kalam Ilahi tanpa melaui perantara, merupakan tingkatan wahyu yang tinggi. Ia mengatakan: Tingkatan wahyu yang paling tinggi adalah mendengar kalam Ilahi tanpa melalui perantara seperti yang dialami Nabi Musa As, tingkatan selanjutnya adalah mendengarnya dengan perantara malaikat dengan bentuk tertentu atau lainnya.[52]

Dalam kesempatan lain Faraghani mengingatkan bahwa turunnya wahyu dengan perantara Malaikat adalah bentuk zahir dari proses penurunan wahyu. Namun bisa jadi dikarenakan kekuatan ruhnya, seorang Nabi dengan jalan Syuhud dan tanpa perantara dapat mengetahui muatan wahyu sebelum wahyu tersebut diturunkan melalui malaikat Jibril, hal seperti inilah yang dialami oleh Rasulullah Saw.[53]

Imam Khomaini juga menegaskan akan kapabilitas para Nabi dalam menurunkan malaikat, beliau berkata: Sesungguhnya manusia-manusia sempurna seperti para Nabi, mereka mampu menjelmakan hakikat-hakikat dalam alam mitsâl sesuai ikhtiar mereka dan dari alam mitsâl mereka turunkan hakikat-hakikat tersebut kepada malaikat guna membebaskan orang-orang yang terbelenggu di alam materi, maka turunlah malaikat di alam mitsâli dan malaki sesuai dengan kesempurnaan kekuatan ruhani mereka (para Nabi), sesungguhnya kekuatan ruhani seorang Nabi adalah yang menurunkan malaikat di alam mitsâl dan alam malak.[54] Dengan kata lain, ilmu para Nabi tidak dapat dibandingan dengan ilmu manusia biasa, karena ilmu mereka berasal dari ilmu Tuhan atau Lauh al-Mahfudz (Ilmu ruh suci Muhamadi) yang mereka dapatkan sesuai tingkatan dan keutamaan yang mereka miliki. Hukum-hukum yang dibawa para Nabi bukanlah hasil ijtihad mereka, sesungguhnya mereka menyingkap hakikat-hakikat yang mereka ketahui dari ilmu al-Haq (Allah Swt) atau Lauh al-Mahfudz sesuai tingkatan kesempurnaan yang mereka miliki.[55]

Adapun titik persamaan dari wahyu yang dimiliki para Nabi adalah sumber wahyu mereka yang kembali kepada Hakikat Muhammadiah. Berdasarkan uraian sebelumnya, Hakikat Muhammadiah adalah Shâdir Awwal dan wasilah mengalirnya anugrah Ilahi ke berbagai Wujud Imkan lainnya. Para urafa’ mengumpamakan Hadhrat (Hakikat Muhammadiah) seperti sebuah cermin atau cahaya dimana gambar dan cahaya lainnya berasal dari keberadaannya, artinya keberadaan para Nabi dan juga kenabian yang mereka miliki, adalah jelmaan dan manifestasi dari keberadaan dan kenabian Hakikat Muhammadiah.

Berdasarkan hal ini, kenabian Rasulullah Saw adalah Azali dan kenabian Nabi-nabi lainnya muncul setelahnya (mutaakhir). Muhyiddin Arabi menuturkan: Sesungguhnya Nabi kita adalah Nabi yang Azali dengan kenabian Tasyri’i dan adapun kenabian Nabi-nabi lainnya terealisasi saat Bi’tsah (dilantik menjadi Nabi).[56] Seluruh Nabi dari Nabi Adam As hingga Nabi akhir, tidak ada satupun dari mereka kecuali telah mengambil cahaya dari Nabi penutup meskipun wujud materinya adalah yang terakhir diutus, sesungguhnya ia ada dengan hakikatnya.[57]



Hakikat Wahyu Nabi Islam

Pada analisa pertama yang menyoroti hakikat wahyu para Nabi, terlihat seakan-akan tidak ada perbedaan di antara wahyu yang dimiliki para Nabi. Namun dengan merenungi kajian di atas, menjadi jelas titik perbedaan antara wahyu Nabi Islam dengan wahyu para Nabi lainnya, dimana perbedaan tersebut kembali pada Hakikat Muhammadiah dan Shâdir Awwal Rasulullah Saw. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa Hakikat Muhammadiah adalah Nabi Ilahi yang sesungguhnya dan tanpa perantara dan seluruh Nabi-nabi lainnya merupakan Mazhar dan manifestasi dari kenabian Nabi Islam, wahyu Nabi Islam langsung dari Allah adapun wahyu Nabi lainnya bersumber dari Hakikat Muhammadiah.

Untuk lebih mengenal hakikat wahyu Nabi Islam, perlu diperhatikan poin-poin berikut ini:

1. Nabi Muhammad Saw adalah Shâdir dan Nabi pertama: Dalam pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa Shâdir Awwal dan Wujud Munbasit adalah cahaya Rasulullah Saw (Hakikat Muhamadiah) yang secara langsung telah menyerap sumber keberadaan, segala ilmu dan makrifat gaib dan maqam Wâhidiat Ilahi. Kemudian dengan perantaraanya, keberadaan dan makrifat mengalir ke segenap ‘Uqul dan Wujud Imkan lainnya. Di sisi lain segala wujud materi bahkan wujud al-Qur'an dan para Nabi memiliki hakikat di alam Aql dengan wujud yang mujarrad dan metafisikal. Dengan kata lain, pada hakikatnya segala wujud materi yang ada adalah manifestasi dan penjelmaan dari wujud mujarrad dan Aqli mereka yang berakar dari Hakikat Muhammadiah dan kemudian menyambung dan berujung ke Hadhrat Haq Ta’alâ (Allah swt).

Mengenai keunggulan dan keutamaan 'Ain Tsâbitah Rasulullah Saw atas 'Ain Tsâbitah lainnya, Imam Khomaini menuturkan: Sesungguhnya 'Ain Tsâbitah-nya (Rasulullah Saw) mencakup A’yân segala keberadaan, termasuk para pembawa syariat, A’yân mereka (para Nabi) adalah Mazhar dari 'Ain Tsâbitah-nya (Rasulullah Saw) di Hadhrat ‘Ilmiah dan A’yân Khâriji mereka adalah Mazhar esensinya yang merupakan Faidh Muqaddas dan Nafas ar-Rahman, seluruh syariat adalah Mazhar dari syariatnya, dialah khalifah yang azali dan abadi.[58]

Dalam ungkapan ini Imam menyatakan bahwa 'Ain Tsâbitah Rasulullah Saw adalah satu-satunya perantara emanasi Ilahi (Faidh Ilahi) kepada seluruh Wujud Mumkin, beliau menyanggah ucapan Qaisari yang mengatakan bahwa ruh Nabi Isa As merupakan emanasi Ilahi tanpa perantara, beliau mengatakan: Sesungguhnya emanasi Ilahi tidak akan tercurahkan dari Hadhrat Ilahiah tanpa perantara Ism, sesungguhnya Dzat dengan sendirinya dan dengan Maqam Ahadi-nya tidak akan terkait dengan penciptaan dan tidak akan menjadi sumber segala keberadaan dan emanasi.[59]

Imam Khomaini meyakini bahwa alam Imkan merupakan Mazhar dan menifestasi dari Hakikat Muhammadiah dan seluruh alam merupakan interpretasi wujud mujarradnya, beliau menuliskan: Hakikat Muhammadiah yang bertajalli di seluruh alam...dan segala manifestasi alam dan setiap tingkatan wujud merupakan interpretasi dari hakikat ini.[60]

Menurut pandangan irfan Imam Khomaini seluruh Nabi adalah wakil-wakil Rasulullah Saw yang inti dakwahnya adalah mengajak kepada kenabiannya. Beliau mengucapkan: Dan dia (Rasulullah Saw) adalah khalifah Allah yang paling agung dan Nabi-nabi lainnya adalah khalifah selain khalifah Allah yang paling agung dari Asma’ Allah yang universal, bahkan seluruh Nabi adalah khalifahnya, pada hakikatnya dakwah mereka adalah mengajak umat kepadanya dan kepada kenabiannya. [61]

2. Turunnya ‘Ain Tsâbitah Rasul Saw ke dunia: Ruh suci Rasulullah Saw di dunia ini tampak dan menjelma pada diri Muhammad Saw, dimana untuk kembali ke Mashdar dan ‘Ain Tsâbitah-nya dan tersambung ke Hakikat Muhammadiah harus menempuh empat perjalanan (Asfar ‘Arba’ah).

Kesempurnaan ruh duniawi Rasul Saw akan dicapai dengan proses Tahdzibu an-Nafs dan Inayah dari 'Ain Tsâbitah beliau. Lebih jelasnya, dengan lahirnya ruh suci Nabi, segala fasilitas dan faktor internal maupun eksternal guna mencapai ‘Ain Tsabit-nya akan terealisasi. Walaupun malaikat memiliki andil dalam proses perjalanan ini, itupun dibawah Inayah dan perintah Hakikat Muhammadiah.

Dalam penafsiran irfannya atas ayat “sesungguhnya kami telah menurunkannya pada malam Lailatu al-Qadr”, Imam menyatakan bahwa sesuatu yang diturunkan itu adalah ruh suci Rasulullah Saw,[62] dan dengan menafsirkan kalimat “Lail” dan “Nahar” (siang dan malam) menurut pandangan irfan adalah untuk setiap manusia dan mengaplikasikan Lail sebagai “Sair Nuzuli” dan Nahar sebagai “Sair Shu’udi”.[63] Beliau pun meyakini bahwa turunnya 'Ain Tsâbitah Rasulullah ke alam dunia dengan tujuan memberi hidayah kepada Umat manusia.[64]

3-4: Naik (Shu’ud) dan tersambungnya Nasf Nabawi kepada 'Ain Tsâbitah: Setelah Nabi memperoleh Faidh Ilahi guna tersambungnya ruh duniawinya dengan ‘Ain Tsâbit-nya, beliau menyerap makrifat gaib dan hukum-hukum Ilahi, dan peran malaikat hanya sebagai perantara antara 'Ain Tsâbitah dan ‘Ain Dunyawi.[65] Naik turunnya malaikat semata atas perintah Nafs Nabawi dimana ia dapat menyaksikan malaikat, di antaranya malaikat Jibril di berbagai alam dengan beragam bentuk dan penjelmaan. Dengan kata lain, pada hakikatnya wahyu adalah makrifat-makrifat Bashit yang terkandung dalam Hakikat Muhammadiah dimana dengan diturunkannya ke hati Rasul oleh malaikat atau terambungnya Nafs Nabawi dengan 'Ain Tsâbitah-nya, beliau dapat menyerapnya dan menyampaikannya kepada umat manusia.

Shadrul Mutaallihin mengatakan: Dia mendengar suara-suara dan lafadh-lafadh yang teratur yang hanya terdengar olehnya, karena suara-suara tersebut turun dari Gaib ke Syahadah dan muncul dari batinnya tanpa sebab dari luar.[66]

Sehubungan dengan ini Ustadz Hasan Zadeh Amuli juga menuliskan: Turunnya malaikat, penyingkapan dan mimpi tidak berkaitan dengan sesuatu yang di luar kita “kemudian ia menampakkan kepadanya (Sayyidah Maryam) sebagai seorang laki-laki yang baik bentuknya”[67] penampakan dan penjelmaan ini terjadi di dalam diri anda. Turunnya wahyu adalah sesuatu yang internal. Mereka yang dapat berinteraksi dengan alam Arwah dapat mengetahui bahwa hal tersebut adalah dari batin manusia.[68]

Imam Khomaini meyakini bahwa setelah kekuatan maknawi Rasul menguat, beliau sendiri yang akan memerintahkan malaikat untuk turun ke alam mitsal atau ke alam materi.[69] Beliau mengucapkan: Dengan kekuatannya malaikat akan diturunkan, dengan kekuatan Wali al-A’dzam, al-Qur'an serta para malaikat akan diturunkan.[70] Beliau menyebut orang-orang yang memandang turunnya Jibril adalah perintah langsung dari Allah tanpa peran dari pribadi Rasul sebagai Ahli Dzahir.[71]

Imam Khomaini, tentang turunnya malaikat Jibril dan pejelmaannya bagi Rasulullah dalam berbagai alam di antaranya dalam hati suci beliau dan bagaimana beliau membawa wahyu dari Hakikat Muhammadiah ke Nafs Dunyawi Rasul Saw, mengatakan: Terkadang hakikat gaib dan rahasia suci yang disaksikan di Hadhrat ‘Ilmiah dan lauh al-‘Aliyah dengan melalui Nafs dan rahasia ruh mereka yang mulia diturunkan ke hati mereka dengan perantara malaikat Jibril pembawa wahyu, tekadang malaikat Jibril menjelma dengan bentuk mitsâli untuk para Nabi di Hadhrat Mitsâl dan terkadang pula dengan penjelmaan malaki; dan dengan perantara hakikat tersebut maka ia mendapatkan penampakan dari makman gaib hingga ke Masyhad Alam Syahâdah serta turunlah Latifah Ilahiah tersebut.[72]

Dengan kata lain, al-Qur'an zuhur sekali kepada Rasulullah Saw melalui malaikat Jibril, kali lainnya (zuhur lainnya) dimana ia dari sisi zaman dan tingkatan adalah lebih dahulu dari turunnya malaikat Jibril, berkaitan dengan turunnya al-Qur'an pada Hakikat Muhammadiah dimana dalam hal ini Rasul Saw mengetahui kandungan wahyu sebelum diturunkan melalui Jibril, oleh karena itu turunnya Jibril pada dasarnya hanya sebagai pengingat. Berkaitan dengan ini Muhyiddin mengatakan: sesungguhnya ia (malaikat Jibril) adalah sebagai pengingat atas apa yang telah disaksikannya, ketika Kami menariknya dan menyembunyikannya darinya, dan Kami menghadirkannya dengan Kami di sisi Kami, kemudian Kami utus baginya seorang pengingat yang mengingatkannya atas apa yang telah disaksikannya maka ia adalah merupakan pengingat baginya... .[73]

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, Faraghani meyakini bahwa wahyu yang dibawa Jibril untuk Nabi Islam adalah wahyu zahir dan muta’akhir, menurut keyakinannya, Rasul Saw dengan penyingkapan (Kasyf) dan tanpa perantara, telah menyerap wahyu dari Allah Swt sebelum diturunkan melalui malaikat Jibril, inilah yang menyebabkan Rasul lebih dahulu membacakan ayat al-Qur'an sebelum selesai dibacakan dan diturunkan melalui Jibril.

Faraghani menyebutkan: Saat wahyu turun kepada Mustafa Saw melalui Jibril, beliau telah menyingkapnya tanpa melaui perantara, dimana muatan wahyu yang dibawa oleh Jibril telah disaksikannya secara langsung.[74]

Alamah Thabathaba’i membagi wahyu yang turun kepada Nabi menjadi tiga tingkatan: 1. Wahyu diturunkan langsung dari Allah dengan tanpa perantara. 2. Diturunkan melalui malaikat Jibril. 3. Dengan perantara penolong-penolong Jibril.

Setelah menyebutkan beberapa ayat, Allamah memaparkan pandangannya: Setelah kami merenungkan dengan mendalam dan menggabungkan ayat-ayat al-Qur'an guna mengetahui hakikat wahyu, akhirnya kami sampai kepada satu kesimpulan, kami tidak tahu apakah ini memadai atau tidak memadai. Kesimpulan tersebut demikian: Metode turunnya wahyu memiliki tiga tingkatan. Tingkatan pertama, turunnya wahyu langsung dari Allah tanpa perantara. Tingkatan kedua, tingkatan yang lebih rendah dari sebelumnya, yaitu diturunkannya wahyu dari Allah dengan tidak secara langsung, namun melalui malaikat Jibril, yakni disaat Allah menurunkan wahyu, malaikat Jibril juga ada, dan Dia (Allah) menurunkan wahyu dengan perantaranya. Tingkatan ketiga, tingkatan yang lebih rendah dari sebelumnya, wahyu tidak langsung diterima dari Jibril namun melaui penolong-penolongnya.[75]

Yang patut diperhatikan di sini adalah bahwa masing-masing dari tiga tingkatan wahyu tidak memiliki posisi yang sama, akan tetapi masing-masing memiliki pebedaan yang kembali kepada kondisi dan opini seorang Nabi.

Allamah menyebutkan bahwa basis makrifat yang terkandung dalam wahyu adalah “Ruh”, “Khalq al-A’zham” atau yang disebut para Filosof dengan “’Aql Awwal”, dan beliau mengitepretasikannya sebagai cahaya Nabi yang terealisasi dengan tersambungnya ruh Nabi dengan “Khalq al-A’dzam”. Setelah membawakan ayat al-Qur'an: “Dan demikian Kami wahyukan kepadamu suatu kitab yang membangkitkan ruh dengan perintah Kami”,[76] belaiu mengatakan: Dari sini dapat diketahui bahwa keagungan iman dan kitab terdapat pada diri Rasul Saw dengan melalui wahyu yang datang dari sisi Allah Swt, dimana hal ini terjadi karena tersambungnya ruh beliau dengan Khalq al-A’dzam yang juga merupakan ruh.[77]

Ustadz Jawadi amuli meyakini bahwa wahyu yang sempurna terdapat pada satu fase dimana Nabi telah melalui beberapa mukaddimah seperti berjumpa dengan malaikat Jibril, bukan dari luar akan tetapi beliau melaluinya dari dalam batin beliau sendiri, lantas secara langsung beliau akan menerima wahyu dari sisi Allah Swt. Manusia sempurna (Insan Kamil) dapat menjalani tingkatan pertengahan ini dalam batinnya hingga ia dapat mencapai sumber asli yang merupakan Dzat Aqdas Ilahi dan mengambil makrifat dari-Nya.[78]

Ustadz pun menekankan akan turunnya lafadh al-Qur'an melalui Jibril,[79] namun Nafs Nabawi dengan mencapai alam gaib telah mengetahuai hakikat yang terkandung di dalamnya sebelumnya. Beliau menuliskan: Batin dan Ta’wil al-Qur'an tidak mungkin disampaikan kepada Nabi melalui malaikat pembawa wahyu, karena segala yang diwahyukan secara lafdzi dan ilmu hushuli masuk kategori zahir al-Qur'an bukan batinnya, dan jika seandainya ruh suci Nabi menyerap ayat-ayat Ilahi hanya melalui malaikat pembawa wahyu tanpa pencapaian alam gaib, maka konsekuensinya adalah beliau tidak mengetahui batin dan takwil al-Qur'an, padahal berdasarkan penggabungan ayat-ayat al-Qur'an dapat diketahui bahwa Rasul menguasai takwil al-Qur'an dan menyerap Ummul Kitab dari maqam Ladun dengan kenaikan ruh.[80] Nabi suci Saw dengan mencapai maqam Ladun dan Aql murni, telah menyerap hakikat al-Qur'an dan Ummul Kitab dari sisi Allah swt.



Kesimpulan

1. Definisi dan interpretasi mengenai pengalaman keagamaan selalu menjadi perselisihan antara para Oriontalis dan Teolog, namun dikarenakan tidak ada kejelasan maka hakikat wahyu tidak dapat diartikan dengan definisi yang mereka ajukan.

2. Sebelum pengalaman keagamaan ditafsirkan sebagai sebuah perasaan dan sesuatu yang berada di hati, teori ini pun memiliki banyak pengertian dimana menurut peneliti agama menemukan definisi pengalaman keagamaan yang benar dan akurat merupakan suatu hal yang sulit bahkan mustahil. Berdasarkan ini, apa yang telah diartikan sebagian pemikir muslim bahwa wahyu adalah pengalaman keagaman seorang Nabi dan penjelmaan Ilahi pada diri mereka, merupakan pandangan yang kontrofersial yang terbantahkan dengan adanya pribadi-pribadi yang menjalani pengalaman keagamaan namun mereka mengingkari keberadaan Tuhan atau kenabian Rasulullah Saw. Sebagian pemikir Muslim tersebut tidak memiliki argumen yang kokoh untuk membuktikan kebenaran dakwaan mereka serta menjawab sanggahan yang dilontarkan kepada mereka ini.

3. Jika yang dimaksud dengan pengalaman keagamaan yang dikatakan oleh sebagian pemikir Muslim tersebut adalah kesaksian hati akan kehadiran Tuhan atau sesuatu yang berkaitan dengannya seperti malaikat pembawa wahyu, maka seperti analisa di atas penafsiran ini memiliki kesamaan dengan Syuhud yang diyakni oleh para Urafa’ dan ini dapat diterima, namun hal tersebut bukanlah hakikat wahyu, tetapi ia adalah salah satu syarat dan sebab guna menggapai wahyu. Oleh karenanya dengan hanya berbekal syarat ini (pengalaman keagamaan-red), para Imam dan Urafa’ tidak akan dapat menggapai tingkatan wahyu dan kenabian, karena selain syarat di atas, kenabian dan wahyu membutuhkan syarat lainnya yaitu pilihan dan kehendak Ilahi yang hanya diberikan kepada sekelompok pribadi suci yang memiliki pengalaman keagamaan. Berdasarkan ini hakkikat wahyu tidak dapat diartikan dengan pengalaman keagamaan. Jika kita ingin minisbahkan antara pengalaman keagamaan dan wahyu, maka nisbah yang tepat bagi kedanya adalah ‘Umum wa Khusus Mutlaq, dimana seluruh pemilik wahyu juga memiliki pengalaman keagamaan, namun tidak semua pemilik pengalaman keagamaan yang dapat memilliki wahyu.

4. Wahyu dan kenabian merupakan bagian pengalaman irfan dimana perbedaannya dengan sebagian pengalan irfan lainnya terletak pada kesempurnaannya. Kesempurnaan inilah yang menyebabkan ilmu dan hubungan pengalaman agama seorang Nabi dengan maqam Uluhi memiliki keistimewaan tersendiri, sehingga dengan ini ia menjadi pribadi yang terpilih sebagai Nabi dan pembawa syariat dari sisi Ilahi serta mengapai derajat Ismah yang merupakan anugrah khusus Ilahi. Keistimewaan semacam ini tidak dimiliki oleh seluruh pengalaman irfan lainnya. Dengan kata lain, walaupun pengalaman keagamaan seorang Nabi sebelum Bi’tsah, sama seperti pengalaman irfani namun setelah Bi’tsah, ia memiliki perbedaan yang mencolok dengan segala pengalaman yang ada.

5. Perbedaan pengalaman irfan dengan pengalaman wahyu terletak pada dua poin. Pertama adalah universalitas yang dimiliki oleh pengalaman wahyu yang didapatkan kenabian serta Inayah Ilahi, dari sini tampaklah perbedaan kedua antara dua pengalaman ini yaitu “Ishmah” yang berarti bersihnya pengalaman wahyu dari kesalahan. Dari sini kita dapat meyimpulkan bahwa hakikat wahyu dan kenabian adalah salah satu bentuk dari pengalaman irfan, bedanya ia memiliki kesempurnaan yang lebih dari pengalam irfan.

6. Masing-masing pengalaman para nabi memiliki kesempurnaan yang bebeda. Dalam pembahasan irfan hakikat wahyu ditafsirkan sebagai kondisi penyaksian dan penyingkapan (Kasyf wa Syuhud) seorang Nabi, dimana pada kondisi ini seorang nabi telah berinteraksi dengan Hakikat Muhammadiah, dengan cara ini mereka -baik dengan perantara malikat atau tidak- mereka dapat menyerap wahyu. Namun wahyu Nabi Islam berbeda dengan wahyu nabi lainnya, wahyu Rasulullah Saw pada dasarnya berasal dari 'Ain Tsâbitah beliau yang menjelma ke alam dunia, wahyu semacam ini sama sekali tidak membutuhkan perantara, sekalipun ada perantara sebagaimana yang diperankan oleh malaikt Jibril, itupun dibawah perintah dan kekuasaan ruh suci Nabawi dan Hakikat Muhammadiah. Ini merupakan poin inti yang dapat dicapai oleh para urafa’ dalam interpretasi irfannya, dimana orang-orang yang menafsirkan hakikat wahyu sebagai pengalaman keagamaan lupa dan tidak dapat menjangkaunya.

7. Membuktikan penafsiran irfani atas hakikat wahyu mebutuhkan pembahasan tersendiri, dalam tulisan ini kami hanya bertujuan memaparkan pandangan urafa’ akan hakikat wahyu, begitu pula perbedaan antara pandangan urafa’ dan para filosof dan kesesuaiannya dengan lahir ayat dan riwayat akan dibahas pada tulisan tersendiri.[www.wisdoms4all.com]



Catatan Kaki:

[1]. Revelation.

[2]. Anggota Lembaga Kajian Ilmiah, Budaya dan Pemikiran Islam Iran.

[3]. Shahifah Imâm, Jld 19, Hal. 48 dan Jld 17, Hal. 489.

[4]. Dairatul Ma’arif, jld 10, hal 712-719.

[5]. Din Pazuhi, terjemahan Bahauddin Khuramsyahi, Jld 1, Hal. 109-121.

[6]. Ara’ Ahlu Madinah Fadilah, Farabi, Hal. 115, Ilahiyyât Syifâ, Ibnu Sina, Hal. 235, Asfar, Sadrul Muta'allihin, Jld 7, Hal. 24.

[7]. Religious Experience.

[8]. Aql wa I’tiqâd Dini, hal 37, tertemahan Ahmad Naraqi dan Ibrahim Sulthani.

[9]. Tarjume Dini, hal 414 dan 244, terjemahan Abas Yazdani.

[10]. Aql wa I’tiqâd Dini, hal 41-52.

[11]. Essentialist thesis.

[12]. Aql wa I’tiqad Dini, Hal. 41. Tajrube Dini, William Horde, Hal. 17.

[13]. Din wa Rawân, William James, Hal. 115, terjemahan Mahdi Faini.

[14]. Irfan wa Falsafe, Hal. 23 dan 31.

[15]. Ilm wa deen, Hal. 173.

[16]. Constructive thesis.

[17]. Aql wa I’tiqad Dini, Hal. 243. Tarjume Dini, Hal. 173.

[18] ‘Ilm wa deen, hal 131. RahnamaiIlahiyat Protestan, hal:63-93.

[19] Ibid, hal 145.

[20] Ibid, hal 35. Falsafe deen, John hick, hal 133, terjemahan Bahram Rad.

[21] Al-Wahyu al-Muhammadi, hal 35.

[22] Andisye Iqbal, terjemahan Ahmad Aram, hal 146.

[23] Ibid, hal 148.

[24]. Ibid, Hal. 144.

[25]. Ibid, Hal. 146.

[26]. Ibid, Hal. 144-145.

[27]. Ibid, Hal. 145.

[28]. Bast Tajrube Nabawi, Hal. 10, 21 dan 25. Muassese Farhanggi Shirat-Tehran.

[29]. Iman wa Azâdi, Ahmad Naraqi, Hal. 57.

[30]. Resale Deen Syenâkh, Ahmad Naraqi, Hal. 49 dan 86.

[31] Majalah A^ftab, seri 15, Hal. 6.

[32] Ibid, seri 15. Baztab Andisye, seri 27, hal 60.

[33] Ibid, seri 15, hal 73.

[34] Wasail as-Syiah, jld 18, hal 555. Bihar, jld 79, hal 206.

[35] Al-‘Umdah li Ibni al-Nithriq, hal 432.

[36] Dirâsat fi ‘Ilmi ad-Dirâyah, hal 76, Ali Akbar Ghifari.

[37]. Silahkan rujuk kitab Negârande Skularizm dar Masihiyat wa Islam, bagian kedua, cetakan Daftar Tablighat.

[38]. Fusus al-Hikam, Hal. 104. Kalimat Maknunah, Hal. 11. Mishbah al-Hidayah, Hal. 66, 86 dan 109.

[39]. Fusus, Hal. 93.

[40]. Risalah an-Nushus, Sadruddin Qunawi, Hal. 118. Misbah al-Hidayah, Imam Khomeni Hal. 64. Istilâhât as-Shufiyyah, Abdur Razak Kasyani, Hal. 118.

[41]. Nahjul Balaghah surat ke 28. Jami’ al-Asrar, Hal. 460.

[42]. Yanabi’u al-Mawaddah, Jld. 1, Hal. 9.

[43]. Bihar al-Anwar, Jld. 16, Hal. 402.

[44]. Masyaribu Anwaru al-Yaqin, Hal. 156. Jami’ al-Asrar, Hal. 401.

[45]. Mukaddimah Misbah al-Hidayah, Sayyid Jalaluddin Astiyani, Hal. 152.



[46]. Ibid, hal 152.

[47]. Dalam pembahasan ini kami lebih terpengaruh oleh kajian Irfan Imam Khomaini.



[48]. Lihat Ta’liqat ‘Ala Syarhi al-Fushus, Hal. 36, cetakan Yayasan Yasdar Islam, Qom.

[49]. Al-Futuhat al-Makkiyyah, Jil. 2, Hal. 78-79.

[50]. Fushus al-Hikam, Hal. 99-100.

[51]. Syarhe Qaisari bar Fushus al-Hikam, Hal. 684.

[52]. Masyariq ad-Darari, Hal. 479.

[53]. Ibid, Hal. 537.

[54]. Ta’liqat ‘ala Syarhi Fushus al-Hikam, Hal. 36-37.

[55]. Misbah al-Hidayah, Hal. 76.

[56]. Fushus, Fash ‘Isawi.

[57]. Ibid, Fash Syisi, Hal. 63-64.

[58]. Ta’liqat ‘ala Syarhi Fushus al-Hikam, Hal. 41 dan 180. Syarh Du’a as-Sahr, Hal. 66 dan 77, cetakan Muassese Tandzim Atsar Imam, Tehran.

[59]. Ibid, Hal. 68. Misbah al-Hidayah, Hal. 30.

[60]. Syarh Du’a as-Sahr, Hal. 77-78.

[61] Misbah al-Hidayah, Hal. 83.

[62] Ta’liqat al-Fushus, Hal. 83-84.

[63] Ibid, Hal. 62.

[64] Syarh Du’a as-Sahr, hal 78.

[65] Ta’liqat al-Fushus, hal 36.

[66]. Asfar Arba’ah, Jld. 7, Hal. 26.

[67]. Q.S. Maryam, ayat 17.

[68]. Mumiddu al-Muhim dar syarhe Fushus al-Hikam, Hal. 7, cetakan Wizarat Farhang wa Irsyad Islami, Tehran.

[69]. Ta’liqat al-Fushus, hal 36.

[70]. Shahife Nur, Jld. 19, Hal. 171.

[71] Ibid, Jld. 19, Hal 278-279.

[72]. Adab as-Shalah, Hal. 321.

[73]. Al-Futuhat, Jld. 1, Hal. 402.

[74]. Masyariq ad-Darari, Hal. 537.

[75]. Mehre Taban, Hal. 308-309.

[76]. Q.S. ss-Syura, ayat 52.

[77]. Ibid, Hal. 311.

[78]. Ibid, Hal. 350.

[79]. Tafsir Maudhu’i Qur'an, Hal. 48, cetakan Markaze Farhangi Raja', Tehran.

[80]. Ibid, Hal. 44.