Wahyu dan Pengalaman Keagamaan


Prolog

Pada dekade terakhir, para orientalis dan beberapa pemikir muslim meyakini bahwa nabi merupakan orang yang memperoleh pengalaman keagamaan atau pengalaman religi. Wahyu yang diterima seorang nabi sama dengan apa yang dialami oleh seorang sufi. Keduanya sama-sama memperoleh pengetahuan intuitif melalui mukasyafah yang tidak dapat diraih oleh manusia biasa.

Berdasarkan pandangan ini, perkataan nabi yang didapatkan ketika menerima kalam Tuhan, merupakan pengalaman spiritual dan sosial nabi sendiri. Disini, wahyu mengikuti situasi dan kondisi nabi. Sehingga, kematangan wahyu mengikuti kematangan nabi. Secara gradual, nabi semakin matang menjadi nabi, maka wahyu semakin kaya. Sosok nabi adalah media bagi pertumbuhan dan perkembangan wahyu. Dengan pandangan tersebut, jika Rasulullah Saw hidup lebih lama lagi, maka al-Qur'an bisa saja melebihi dari yang ada saat ini. Dengan demikian agama pun secara gradual mengalami penyempurnaan. Hal ini menegaskan adanya kehidupan gradual selanjutnya bahwa setelah Rasulullah Saw, pengalaman religi seorang sufi memperkaya agama. Di sini agama sendiri mengalami perluasan, bukan hanya pengetahuan agamanya saja.

Berangkat dari klaim besar yang masih perlu diuji kebenarannya tersebut, muncul pertanyaan pokok apakah wahyu merupakan pengalaman religi seperti yang juga dialami oleh kalangan sufi, ataukah sebaliknya wahyu dan pengalaman religi memiliki sejumlah perbedaan yang mendasar. Tulisan ini berupaya mengangkat perbedaan mendasar antara wahyu dan pengalaman religi.



Antara Wahyu dan Pengalaman Religi

Secara etimologis, wahyu memiliki beberapa pengertian antara lain: isyarat, pesan, dan perkataan tersembunyi yang cepat. Hal ini seperti dijelaskan Raghib Isfahani yang mendefinisikan wahyu sebagai pesan tersembunyi yang disampaikan dengan isyarat yang sedemikian cepat.[1] Namun terkadang terma ini juga berkaitan dengan ketentuan ciptaan alam semesta seperti petunjuk insting dan fitrah manusia. Sebagaimana al-Qur'an memberikan penjelasan pada ketiga maknanya yaitu: pesan tersembunyi,[2] petunjuk insting[3] dan fitrah manusia[4]. Selain ketiga makna tersebut, dalam al-Qur'an wahyu bermakna risalah illahi[5] yang disebutkan lebih dari tujuh puluh kali.[6] Makna terakhir inilah yang menjadi pokok pembahasan kita kali ini.

Wahyu secara terminologis didefinisikan sebagai pesan tersembunyi yang disampaikan oleh Allah Swt kepada para Nabi-Nya. Maka, wahyu berperan menghidupkan dan menciptakan sebuah agama baru. Dengan kata lain, wahyu kadangkala mendirikan syariat maupun agama baru dan kadang pula berperan menghidupkan kembali agama yang sudah dilupakan masyarakat dan telah mengalami berbagai distorsi.

Dalam al-Qur'an, wahyu merupakan kalam Tuhan yang disampaikan kepada para utusannya melalui tiga cara, baik secara langsung, melalui suara tertentu sebagai perantara atau melalui malaikat.

Pengalaman religi merupakan terjemahan bebas dari religious experience yang mencuat kepermukaan adalah diperkenalkan dan diangkat oleh William James. Sebelumnya, gagasan ini telah dikemukakan oleh teolog Kristen bernama Friedrich Schleiermacher.

Pengalaman merupakan pengetahuan yang diperoleh dari realitas yang dialami seseorang. Salah satu dari pengalaman tersebut adalah pengalaman religi. Pengalaman ini berbeda dengan pengalaman lainnya. Pengalaman ini berkaitan dengan eksistensi metafisika seperti merasakan manifestasi Tuhan dalam sesuatu atau seseorang.

Orang yang mengalami pengalaman religi meyakini pengalaman yang dirasakannya tersebut tidak bisa diungkapkan berdasarkan prinsip-prinsip natural. Maka, harus dijelaskan menggunakan bahasa agama. Karena, pengalaman ini merupakan pengaruh dari pandangan kegamaan seseorang. Menurut Schleiermacher, pengalaman religi merupakan pengetahuan non rasional berupa perasaaan menyatu dengan sumber kekuatan metafisika.

Rudolf Otto, meyakini bahwa pengalaman religi merupakan sekumpulan perasaan yang sulit diungkapkan. Ia menyebutnya sebagai the idea of the holy. Menurut Otto, idea suci ini terdiri dari tiga perasaan pada manusia yang mengalami pengalaman religi antara lain: rasa ketergantungan mutlak, rasa takut dan rasa kagum yang mendalam.

Antara wahyu dan pengalaman religi, terdapat perbedaan mendasar. Dalam kesempatan ini, akan dikemukakan delapan perbedaan di antara keduanya antara lain :

1. Wahyu Bukan Anak Budaya Jamannya

Pengalaman religi, lahir dari struktur budaya masyarakat jamannya. Pengalaman religi seorang Sufi Hindu India, dipengaruhi oleh budaya agama Hindu yang tumbuh dalam situasi dan kondisi sosial India. Pengalaman religi seorang muslim Arab, lahir dari budaya agama Islam yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial bangsa Arab ketika itu. Artinya, seluruh pangalaman tersebut, lahir dari dinamika sosial yang membentuk kebudayaan agama jamannya.

Tidak demikian dengan wahyu. Pengajaran para nabi berupa wahyu yang disampaikan kepada masyarakat, berseberangan dengan budaya jamannya. Para Nabi memerangi tradisi masyarakat yang pada umumnya merupakan khurafat, kemudian menawarkan tradisi baru untuk mengisinya. Oleh karena itu, tidak tepat kiranya menyetarakan pengalaman religi dan wahyu.



2. Wahyu Jelas dan Terperinci

Wahyu Tuhan terutama dalam al-Qur'an, disampaikan dengan bahasa yang jelas dan menerangi. Al-Qur'an menjelaskan maksudnya dengan jelas dan secara terperinci mengupas berbagai bagian mendasar dari permasalahan awal hingga akhir kehidupan. Namun, tidak demikian dengan pengalaman religi yang pada umumnya cepat berlalu dan mengalami kesulitan untuk dideskripsikan. Salah satu contoh dalam masalah ini adalah kebenaran mimpi yang dialami seseorang. Karena mimpi seringkali samar dan begitu cepat berlalu, sehingga sangat memerlukan penafsiran dan penakwilan. Tetapi wahyu, menyampaikan maksudnya dengan jelas dan menerangkan berbagai bagian dari pengetahuan Illahi.



3. Wahyu Meyakinkan

Dalam wahyu, tidak ada ruang bagi keraguan dan penolakan terhadap kebenarannya. Tetapi, tidak demikian dengan pengalaman religi. Pengalaman religi seorang sufi, dihantui kekhawatiran apakah penyaksian spiritual yang dialaminya merupakan ilham Ilahi atau inspirasi setan. Untuk membuktikannya memerlukan berbagai metode yang harus ditempuh. Hal ini menunjukan bahwa pengalaman religi merupakan sesuatu yang labil dan untuk menimbang kebenarannya memerlukan bukti.



4. Wahyu Melahirkan Syariat

Beberapa wahyu yang diturunkan Allah Swt melahirkan syariat berupa tatanan praktis dari Allah untuk kehidupan manusia baik individu maupun sosial. Hal ini tidak akan ditemukan pada seluruh pengalaman religi seperti yang dialami seorang sufi. Karena, setiap sekte tasawuf memiliki aturan dan metode sendiri-sendiri untuk meraih hakikat. Berbagai aturan tersebut berasal dari pengalaman para pemimpin masing-masing yang kemudian secara skriptural disistematikan sebagai tradisi sufi.



5. Tidak Ada Campur Tangan Manusia Terhadap Wahyu

Al-Qur'an yang merupakan wahyu tertinggi, memperkenalkan dirinya sebagai kitab yang diturunkan dari Tuhan kepada Rasulullah Saw. Sebagaimana dijelaskannya sendiri dalam surah Yunus ayat 37-38,

“Tidaklah mungkin al-Qur'an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (al-Qur'an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkanya, tidak ada keraguan di dalamnya, (Diturunkan) dari Tuhan semesta alam. Atau (patutkah) mereka mengatakan, Muhammad membuat-buatnya. Katakanlah (kalau benar yang kamu katakan itu), maka datangkanlah sebuah surah seumpamanya dan panggillah siapa saja (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”

Dalam kedua ayat di atas menunjukan dengan jelas bahwa al-Qur'an wahyu Tuhan, bukan buatan manusia.

Barangkali ada yang menolak kedua ayat tersebut karena terjadi daur (circular reasoning), ketika berargumentasi tentang wahyu Ilahi dari wahyu itu sendiri. Menjawab klaim tersebut, dalam catatan sejarah sejak turunnya al-Qur'an hingga saat ini, tidak ada seorang pun yang sanggup membuat surah seperti halnya al-Qur'an membuktikannya. Bahkan para penyair Arab yang sangat terkenal pada jaman Rasulullah sendiri, mengakui keunggulan sastra al-Qur'an yang tidak tertandingi. Jika al-Qur'an ini adalah hasil dari pengalaman religi Nabi, maka harus ada seorang sufi yang mampu menyamainya. Kenyataan sampai saat ini, tidak ada yang mampu melakukannya. Hal ini membuktikan bahwa pengalaman religi berbeda dengan wahyu.



6. Berbeda dengan Perkataan Manusia

Wahyu yang diterima oleh Rasulullah Saw, berbeda dengan perkataan Rasulullah sendiri baik dari susunan kalimat maupun maknanya. Bahkan Rasulullah sendiri dalam berbagai hadis menerangkan perbedaan tersebut. Hal ini menegaskan bahwa wahyu merupakan kalam Allah yang berbeda dengan perkataan Rasulullah Saw. Maka, pendapat yang menyamakan pengalaman religi dengan wahyu bahwa “kalam Tuhan adalah perkataan Nabi”, tertolak dengan sendirinya.



7. Mengabarkan Keadaan Para Pendahulu dan yang Akan Datang

Dalam al-Qur'an dipaparkan keadaan orang-orang terdahulu hingga periode turunnnya al-Qur'an. Walaupun al-Qur'an bukan buku sejarah yang menceritakan secara mendetail kronologis berbagai peristiwa, namun menjelaskan kehidupan orang-orang terdahulu sebagai petuah dan peringatan sehingga umat manusia mampu memetik dan mengambil pelajaran darinya. Selain itu, al-Qur'an juga menyampaikan informasi tentang masa depan. Sebagai misal, al-Qur'an mengabarkan kemenangan Romawi terhadap Persia dan kemenangan yang diperoleh kaum muslimin pada saat penaklukan Mekkah yang terdapat dalam surah al-Fath.

Pengalaman religi seperti dalam pencapaian intuitif yang dilakukan para sufi, tidak memiliki jangkauan sebagaimana al-Qur'an menjelaskan berbagai keadaan terdahulu dan masa yang akan datang.



8. Tidak Ada Kontradiksi Dalam Wahyu

Salah satu mukjizat al-Qur'an adalah tidak adanya kontradiksi di dalamnya. Hal tersebut bukan berarti penampakan ayat-ayat al-Qur'an tidak ada perbedaan. Tetapi, makna dari ayat-ayat al-Qur'an tidak mengalami kontradiksi.

Hal ini berbeda dengan berbagai karya yang ditulis oleh manusia, terdapat kontradiksi di dalamnya. Sejarah mencatat berbagai karya besar manusia yang sempat mendunia, tidak luput dari berbagai kontradiksi yang melambarinya.

Al-Qur'an memberikan isyarat dalam surah an-Nisa ayat 82, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an ? Kalau sekiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya”.



Epilog

Wahyu merupakan relasi khusus yang terjadi antara Tuhan dengan para nabi-Nya. Wahyu diterima Nabi melalui tiga jalan, diantaranya diterima oleh Nabi tanpa perantara, melalui perantaraan suara tertentu dan melalui malaikat. Namun, tidak demikian dengan pengalaman religi yang dialami sufi.

Walaupun Pengalaman religi seorang sufi dan wahyu memiliki kedekatan, namun tidak bisa dikatakan bahwa wahyu merupakan pengalaman religi. Karena diantara keduanya terdapat beberapa perbedaan mendasar.

Salah satu perbedaan tersebut, wahyu bukan anak budaya jamannya. Pada umumnya pengajaran para Nabi yang bersumber dari wahyu berseberangan dengan tradisi pada jamannya. Padahal, pengalaman religi merupakan anak yang lahir dan dibesarkan oleh budaya jamannya.

Perbedaan lainnya antara pengalaman religi dan wahyu adalah kejelasan wahyu yang berbeda dengan pengalaman religi yang masih kabur. Selain itu wahyu juga diiringi dengan keyakinan yang dalam pada diri nabi. Namun tidak demikian dengan pengalaman religi. Karena pengalaman religi seorang sufi masing dibayangi berbagai kekhawatiran apakah penyaksian yang didapatkan berasal dari Tuhan atau setan.

Pada beberapa kategori wahyu, ia melahirkan syariat. Tetapi pengalaman religi tidak pernah melahirkan syariat. Tidak hanya itu, wahyu juga memiliki kekhususan lainnya seperti menyampaikan informasi tentang masa lalu dan masa mendatang serta tidak adanya kontradiksi didalam wahyu itu sendiri. Berbagai hal tersebut semakin memperkokoh perbedaan yang menonjol antara pengalaman religi dan wahyu. [www.wisdoms4all.com]





Catatan kaki:

[1] Al-Ragib Isfahani, Mufradat al-Fadh al-Quran hal 515.

[2] Qs. Maryam:11

[3] Qs. An-Nahl:68-69

[4] Qs. Thaha:37-40

[5] Qs. An-An’am:121

[6] Ma’rifat, Muhamad Hadi, Amozesh Ulum Qurani hal. 15.