Relasi Islam dengan Kebudayaan

Dalam kehidupan sehari-hari, agama identik dengan kebudayaan. Karena kedua-duanya merupakan pedoman bertindak, sebagai petunjuk dalam kehidupan. Bahkan para antropolog menempatkan agama sebagai bagian dari kebudayaan. Bedanya, Agama diyakini berasal dari wahyu Tuhan yang kebenarannya mutlak, sementara kebudayaan berasal dari kesepakatan manusia.

Agama bersifat sakral (suci) dan kebudayaan bersifat profan (“manusawi”). Tetapi ketika keduanya dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat, maka tidak akan bisa dipisah-pisahkan.

Ketika Islam datang pada masyarakat, masyarakat ketika itu sudah lebih dahulu memiliki petunjuk-petunjuk yang mereka gunakan sebagai pedoman yang sifatnya masih lokal. Mereka hidup dengan pedoman yang telah mereka miliki tersebut. Datangnya Islam identik dengan datangnya kebudayaan baru yang akan berinteraksi dengan kebudayaan lama dan mengubah unsur-unsur kebudayaan lama.

Agama-agama besar, termasuk Islam, selalu mengalami proses domestikasi, yaitu pemahaman dan pelaksanaan agama disesuaikan dengan konteks dan kemampuan masyarakat lokal. Agama akan mudah diterima masyarakat apabila ajaran agama tersebut memiliki kesamaan dengan kebudayaan masyarakat, sebaliknya agama akan sulit diterima masyarakat apabila kebudayaan masyarakat berbeda dengan ajaran agama.

Sebagai contoh Islam mudah diterima oleh masyarakat Jawa karena banyak unsur yang sama antara keduanya terutama dalam ajaran-ajaran sufismenya.

Tapi Islam sulit berkembang di Papua Karena Islam mengharamkan babi, sementara masyarakat papua menganggap babi sebagai bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan mereka, baik dalam kehidupan ekonomi, sosial maupun politik lokal.

Islam sebagai ajaran yang normatif dari Tuhan diakomodasi ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing.

Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an melontarkan gagasan tentang Pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling menyalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang autentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.

Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagaman (Islam) yang sesuai dengan konteks lokal, dalam wujud “Islam Pribumi” sebagai jawaban dari “Islam Autentik” atau “Islam Murni” yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. “Islam Pribumi” justru memberi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda.

Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar. Islam bersifat universalis. Keuniversalan Islam berawal dari pandangan teologi umat Islam, bahwa Alquran itu salihun li kulli zaman wa makan, Alquran selalu cocok untuk setiap waktu dan tempat.

Pandangan teologi tersebut, lantas mengharuskan umat Islam untuk selalu mendialogkan antara Alquran sebagai teks (nas) yang terbatas, dengan perkembangan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi umat Islam di tuntut untuk selalu menafsirkan Alquran sesuai dengan konteks sosial historis yang di hadapinya dan selalu berubah.

Alquran dan hadis sebagai sumber Hukum Islam utama juga menjelaskan tentang hubungan antara Islam dan budaya. Di antaranya adalah surat al-A’raf ayat 199 , yang artinya: “Jadilah Engkau Pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”.

Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa kata العر ف sama dengan معر وف yakni sesuatu yang dikenal dan dibenarkan di masyarakat, dengan kata lain adat istiadat yang didukung oleh nalar yang sehat serta tidak bertentangan dengan ajaran agama.

Alquran membuka pintu yang cukup lebar guna menampung perubahan nilai akibat perkembangan positif masyarakat. Hal ini agaknya ditempuh karena ide/nilai yang dipaksakan atau yang tidak sejalan dengan perkembangan budaya masyarakat tidak akan dapat diterapkan. Konsep “ma’ruf” hanya membuka pintu bagi perkembangan positif masyarakat, bukan perkembangan negatifnya.

Sedangkan hadis Nabi saw yang menjelaskan tentang Islam dan budaya diantaranya adalah :
عَنْ أَبِيْ مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ رضي الله عنه قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثََ أَحَدًا مِنْ أََصْحَابِهِ فِيْ بَعْضِ أَمْرِهِ ، قَالَ : «بشِّروا ، ولا تُنَفِّرُوا ، ويسِّروا ولا تُعَسِّروا». رواه مسلم.

Artinya : Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang dari sahabatnya tentang suatu urusan, beliau akan berpesan: “Sampaikanlah kabar gembira, dan jangan membuat mereka benci (kepada agama). Mudahkanlah dan jangan mempersulit.” (HR. Muslim [1732])

Hadis ini memberikan pesan bahwa Islam itu agama yang memberikan kabar gembira, dan tidak menjadikan orang lain membencinya, memudahkan dan tidak mempersulit, antara lain dengan menerima system dari luar Islam yang mengajak pada kebaikan. Sebagaimana dimaklumi, suatu masyarakat sangat berat untuk meninggalkan tradisi yang telah berjalan lama. Menolak tradisi mereka, berarti mempersulit keislaman mereka.

Dari penjelasan kedua sumber hukum Islam utama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa, Islam adalah agama yang selalu sesuai dengan zaman dan tempat di mana pun keberadaannya, dalam konteks inilah, Islam menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas normatif Islam sendiri.

Islam selalu mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yang memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat tersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat. Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian.