Mengenal Hoaks dan Fakta dari Lisan Sayyidina Ali bin Abi Thalib

Zaman semakin hari makin maju. Perkembangan budaya, ilmu dan peradaban manusia tak dapat terbendung lagi melalui terobosan-terobosan teknologi yang mereka kembangkan. Seiring dengan perkembangan ini, manusia masuk pada sebuah era yang memilki identitas yang berbeda jika dibandingkan ke zaman dulu.
Ilmu yang begitu berkembang pesat membuat mereka yang mendalaminya menciptakan beragam teori sebagai refleksi dari buah pikiran mereka. Ratusan bahkan ribuan teori telah dikembangkan mengenai fenomena alam, baik  materi maupunn non-materi, demi mencocokannya dengan sebuah fakta.
Namun, meski ribuan toeri lahir berkat dari hasil berbagai disiplin ilmu yang berhasil dikembangkan, tak bisa kita mungkiri, bahwa banyak juga teori ilmiah yang ingin berusaha mengungkap sebuah fakta,  tak dapat dibenarkan.
Sederhana saja, coba kita terapkan dengan sebuah peribahasa “manusia itu letaknya salah dan lupa”, maka dapat dipastikan, kita dapat menemukan kebenaran dan kesalahan dalam setiap fenomena yang terjadi. Pada saat yang sama, banyak orang yang terjebak dalam sebuah kondisi di mana benar dianggap salah dan salah dianggap benar.
Karenanya, tak sedikit orang yang mengelu-elukan sebuah teori tertentu, karena dianggap benar. Namun, kenyataannya tak sesuai degang fakta yang ada. Dalam ranah sosial, hoax dan fitnah berseliweran tak karuan, karena banyak orang terjebak dalam kondisi tersebut.
Nah, bagaimanakah kita bisa mengenal kebenaran dan kebohongan sebuah berita? Mari kita sama-sama mengenalnya dari lisan Suci Imam Ali bin Abi Talib, sang khalifah Rasul. Dialah sang gerbang kota ilmu Nabi yang dengan lantang dan berani mengatakan, “Tanyalah aku sebelum kau kehilanganku.”
Apa teori beliau dalam mengenal haq (kebenaran) dan batil (kebohongan)?
Dalam penggalan ungakapannya di sebuah kitab Nahjul Balagah, beliau berkata,
” أما إنه ليس بين الحق والباطل إلا أربع أصابع (فسئل عليه السلام عن معنى قوله هذا، فجمع أصابعه ووضعها بين أذنه وعينه ثم قال): الباطل أن تقول سمعت والحق أن تقول رأيت”
Tak ada perbedaan antara kebenaran dan kebohongan melainkan sejauh empat jari. Imam ditanya, “Apa maksud jarak tersebut? Maka imam meletakkan empat jarinya di antara telinga dan kedua matanya kemudian berkata: “Kebohongan itu di saat kau berkata aku mendengar, sedang kebenaran  itu di saat kau berkata aku melihat.”
Sekilas, tak ada yang istimewa dari apa yang diteorikan imam mengenai hal ini, bahkan kita menemukan kerancuan dari apa yang dipaparkannya. Apakah kebenaran itu setiap apa yang kita lihat? Apakah kebatilan itu setiap hal yang kita dengar? Betapa banyak orang menyaksikan kejadian tentang sesuatu, namun gagal menyimpulkannya sebagi sebuah teori, sehingga tak dapat sesuai dengan fakta yang ada.
Betapa banyak pula hal yang kita dengar dan memang itulah fakta sebenarnya. Apakah semua hal dapat kita lihat? Dapatkah kita melihat pembicaraan seseorang yang sesuai fakta ataukah kita mendengarnya?
Bagaimana kita dapat menyimpulkan kebenaran sebuah fakta hanya dengan penglihatan kita, sementara objek yang ingin dibenarkan memerlukan indra penciuman, atau mungkin memerlukan indera perasa? Betapa banyak sumber-sumber kebenaran tidak dapat kita raih hanya dengan menggunakan apa yang kita lihat, sebagaimana tak bisa kita benarkan pula ketika kita mendengar sesuatu kemudian kita simpulkan lalu kita dianggap sudah terjebak dalam kesalahan?
Begitulah yang bisa kita pahami secara lahir atas apa yang diteorikan  imam. Pertanyaannya, inikah yang dimaksud imam? Adakah imam ingin menyampaikan hal lain dalam hal ini? Jawabnnya tentu ada. Sang gerbang ilmu Nabi tak mungkin menyampaikan teori selemah ini kepada dunia, lebih dari itu, beliau ingin menyampaikan sebuah teori cemerlang  bagi yang ingin mancari kebenaran dan memilahnya dari kebohongan. Mari kita renungkan!
Kebenaran adalah ketika kita berkata aku melihat. Bagaimana cara kita melihat agar kita bisa menuju pada kebenaran. Tentu penglihatan indrawi bukanlah cara yg tepat dalam hal ini, meski secara lahiriah ditunjukan dengan kata tersebut. Kalimat ra’aitu (aku melihat) dalam penggalan ucapan imam menunjukkan makna lain dari lahirnya.
Melihat sebuah kebenaran adalah memastikan kebenaran itu dengan dalil, argumentasi serta data yang valid guna dapat kita sesuaikan dengan fakta yang ada. Menteorikan sesuatu haruslah berlandaskan kepada argumentasi-argumentasi rasional yang berarti kita mesti menguasai cara berpikir logis dalam disiplin ilmu yang diajarkan. Ilmu logika (mantiq) misalnya, sebuah ilmu yang menyediakan formula-formula berfikir benar berlandaskan kepada kaidah-kaidah logis sebagai alat untuk berargumentasi.
Membuktikan kebenaran sebuah fakta membutuhkan data-data yang valid yang dapat dipercaya, memastikannya dengan teliti agar kebenaran itu bisa diutarakan dengan penuh percaya diri. Kalimat sami’tu (aku mendengar) berarti sebaliknya, imam bermaksud mengutarakan kebanaran yang hanya berlandaskan pendengaran berarti kebanaran yang ingin disampaikan tanpa dalil, argumentasi dan data valid yg seharusnya menjadi fondasi utama dalam membangun sebuah kebenaran serta fakta.
Bahaya sekali dalam hal ini, karena dari tindakan seperti inilah fitnah serta kerusuhan mudah terpancing.
Seperti inilah kondisi masyarakat saat ini. Di tengah perkembangan teknologi serta sarana media sosial yang begitu pesat, namun begitu banyak kebenaran yang mereka buktikan hanya bermodalkan pendengaran, yang belum tentu benar, yang hanya akan meciptakan bahaya sosial di tengah masyarakat.
Karenanya, tentu kita, lebih-lebih bagi mereka yang berilmu adalah para pengenal kebenaran dan fakta di tengah masyarakat. Perangkat-perangkat ilmu yang dibutuhkan untuk menjaga sebuah kebenaran menjadi hal yang sangat fundamental dan urgen sekali guna menjaga kedamaian serta kententraman dalam kehidupan sosial.
Mengabaikan disiplin ilmu yang dibutuhkan akan menjadi kendala nyata dalam menjaga ketentraman sosial, karena abai terhadap kebenaran.
Logika adalah kunci utama dalam hal ini, dan logika yang benar hanya dapat dijaga melalui mempelajari dispilin ilmunya. Oleh karena itu, nampak jelas kebutuhan kita kepada ilmu logika dalam mewujudkan ketentraman dan kedamaian di tengah masyarakat. Kenapa masyarakat? Karena masyarakat lah tempat kita kembali dan hidup bersosial, guna menjadi agen perubahan ke arah yang lebih baik, berbudaya serta berkualitas. Selamat memperjuangkan kebenaran!