Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Ngaji Rumi: Narsisme Radikal dan Runtuhnya Etika Sosial

1 Pendapat 05.0 / 5
Alkisah, seekor serigala menceburkan diri dalam sebuah kubangan cat warna-warni. Ketika keluar, bulu-bulunya menjadi berwarna. Terpaan sinar matahari membuat warna bulu itu semakin berkilau indah. Serigala pergi menemui teman-tamannya. Sambil mengibaskan bulu-bulu indahnya, ia mulai menyombongkan diri:
“Akulah si burung merak dari surga. Aku bukan serigala”. Salah seorang srigala cerdik angkat bicara: “Kalau Kau memang burung merak, apakah Kau mampu bernyanyi seindah merak atau hanya bisa melolong?” (Rumi, Matsnawi, jilid 3, bait 721-727)
Cerita Rumi ini begitu dekat dengan kehidupan keseharian kita. Secara sengaja maupun tidak, kita kerap merasa lebih keren dari yang lain. Perilaku dan hasil karya kita juga selalu ingin dinilai lebih baik dari yang lain. Perasaan ini muncul karena setiap manusia memang memiliki kecenderungan untuk mencintai diri sendiri.
Dalam batas tertentu, mencintai diri sendiri sebenarnya wajar. Karena, untuk dapat mencintai sesama, perlu dimulai dengan mencintai diri sendiri. Tetapi, yang perlu diwaspadai, jangan sampai terjebak pada memuja diri sendiri atau “narsisme”, apalagi pada tingkat “radikal”, yang merendahkan, menyepelekan, dan menghina liyan. “Aku lebih manusia daripada manusia lain.” Inilah narsisme radikal; dapat merusak diri sendiri dan yang lain.
Istilah narsisme atau narsisisme kembali pada tokoh dalam mitologi Yunani bernama Narcissus. Ia memiliki paras yang sangat rupawan dan dicintai banyak perempuan. Tapi, alih-alih memberikan tanggapan kepada para penggemarnya, ia malah memuja bayangannya sendiri yang terlihat di tepi kolam.
Sampai suatu hari, ia, Narcissus, mengakhiri hidupnya dengan cara terjun ke dalam kolam untuk bertemu bayangan yang dipujanya itu. Di tengah kehidupan manusia modern, narsisme muncul kembali dalam bentuknya yang lebih kompleks.
Gejala narsistik terlihat dari seseorang yang menganggap dirinya sangat penting dan ingin dikagumi. Selain ekstra percaya diri, ia biasanya tidak menghargai perasaan serta kebutuhan orang lain.
Tak jarang, si penderita juga berfantasi mencapai kesuksesan dan kekuasaan tanpa batas. Bisa dibayangkan, jika gejala ini dimiliki oleh orang yang punya pengaruh besar dalam sebuah masyarakat.
Setiap manusia sebenarnya memiliki potensi untuk menjadi seorang narsistik. Karena itulah, kita perlu mendeteksi sedini mungkin tanda-tandanya.
Gejala awal yang biasanya muncul ditandai dengan merasa diri lebih baik. Dalam cerita serigala yang mengaku sebagai merak, secara jelas Rumi telah mengingatkan.
Sedikit saja perubahan status dalam hidup, membuat seseorang ingin langsung disanjung. Padahal, status yang menempel padanya, baik kekayaan, jabatan, maupun popularitas hanya bersifat sementara. Gejala lainnya seorang narsistik, tidak siap menerima kritikan. Bahkan sebaliknya, sangat bergantung pada pujian orang lain.
Menurut Rumi, munculnya sifat narsisme, bahkan dimulai jauh sebelum mitologi Yunani. Banyak umat terdahulu yang tergelincir, karena merasa lebih baik dari yang lain.
Begitu juga, Iblis pernah menjadi makhluk yang memiliki derajat tinggi sebelum ia mengklaim lebih baik dari nabi Adam as.
Keakuan telah butakan manusia
Karena sirna rasa malu dan akal
Sebagaimana ratusan ribu tahun silam
Rasa keakuan telah gelincirkan umat
Iblis berkata: “Aku lebih utama dan mulia”
Karena aku punya banyak kemampuan
Aku tercipta dari api, sedang Adam dari tanah
Api lebih utama dari tanah
Kemana Adam saat itu
Ketika aku menjadi penghulu alam
(Rumi, Matsnawi, jilid 5, bait 1920-1926)
Di ranah ilmu psikologi, Sigmund Freud menunjukkan bahwa narsisme ini tidak hanya mengidap individu, tapi juga dapat menjangkiti sebuah kelompok yang dikenal dengan narsisme kolektif. Narsisme kolektif merupakan perasaan berlebihan hingga cenderung bersifat memuja sebuah kelompoknya sendiri, baik itu entitas ras, etnis, agama, maupun negara, dibandingkan dengan kelompok lain.
Dalam perjalanannya, narsisme kolektif telah banyak mewarnai panggung politik. Misalnya, istilah ini pernah digunakan oleh Theodore Adorno untuk menggambarkan sentimen dukungan aturan Nazi di Jerman tahun 1930.
Pada pemilu presiden Amerika tahun 2016, narsisme kolektif dimobilisasi untuk mendukung kemenangan Trump melalui slogannya “Make America great again”.
Belakangan, aroma narsisme kolektif juga samar-samar tercium di tengah pesta demokrasi negeri ini, dengan menguatnya politik identitas berwarna sentimen keagamaan. Dan memang, penyakit narsisme ini dapat menyerang siapa saja, kalangan agamawan hingga seniman, kalangan politisi hingga selebriti, kalangan muda hingga kalangan tua.
Baik narsisme individu maupun kolektif, keduanya memiliki dampak yang sangat buruk dalam kehidupan bermasyarakat maupun berbangsa. Terutama mengikisnya rasa empati yang merupakan spirit dalam masyarakat madani. Agar kondisi tersebut tidak berlarut panjang, Rumi berpesan kepada kita untuk memberikan mekanisme kontrol dengan cara berani mengkritik dan tidak memuji berlebihan. Sebab, pujian yang tidak pada tempatnya, akan berubah menjadi candu dan racun.
Sebagaimana syair yang dilantunkan Rumi dalam Matsnawi, jilid 4, bait 2744: “Siapapun yang terlalu dipuja oleh pengikutnya Ketahuilah sesunggguhnya jiwa mereka sedang teracuni” Begitu juga berlaku pada kita, saat menerima pujian yang tidak sewajarnya, segera nyalakan alarm, siapa tahu pujian itu sudah menjadi racun dalam diri kita.
Bahkan, dalam bait lainnya, Rumi menantang kita, tidak hanya berani mengabaikan pujian yang berlebihan. Sekali waktu, kita perlu menyembunyikan peran langsung dalam masyarakat. Seolah menjadi remah-remah yang tak terhitung dalam rantai sosial. Rumi mencontohkan biji-bijian dalam siklus alam, seolah hilang tapi pada hakikatnya ia memberikan kehidupan pada makhluk lain.
Jadilah biji-bijian agar burung-burung memakanmu
Jadilah kuncup-kuncup bunga agar anak-anak memetikmu
Benamkanlah biji-bijian agar kelak membesarkan ternak
Sembunyikanlah kuncup agar kelak menjadi pohon ranum
(Rumi, Matsnawi, jilid 1, bait 1833-1834)
Setelah melewati perjalanan panjang menaklukan ego dalam diri. Rumi menjanjikan rasa optimisme, kepercayaan, dan persaudaraan akan kembali dalam kehidupan bermasyarakat. Perjuangan yang cukup sulit, tapi tentu bukan utopis.
Siapapun yang tanggalkan keakuan
Seluruh kawan akan kembali ke pangkuan
Siapapun yang jauhi kesombongan
Bagai cermin bening yang pantulkan kejujuran
(Rumi, Matsnawi, jilid 5, bait 2665-2666)