Bisikan Wahyu atau Wahyu Bisikan?



Beberapa hari yang lalu di pelbagai media tersebar sebuah wawancara yang diadakan bersama Dr. Soroush yang telah menyebabkan kekecewaan sekaligus keprihatinan para pengamat al-Quran. Sebagian mereka pun telah memberikan disclaimer dan tanggapan mereka kepada yang bersangkutan baik melalui koran atau site-site yang ada. Akan tetapi yang lebih penting dari itu, jawaban terhadap permasalahan tersebut telah ada dalam teks (matn) agama, ditambah pula permasalahan-permasalahan seperti itu merupakan permasalahan yang sering dibahas dan didiskusikan oleh para mahasiswa Muslim. Dari sini kita bisa katakan bahwa apa yang dipaparkan Dr. Soroush dalam wawancara tersebut tidaklah ada yang baru.

Artikel ini diturunkan, insya Allah, berkelanjutan, untuk menjawab keraguan dan syubha yang dilemparkan oleh salah seorang so-called pemikir yang tercerahkan. Penting untuk disebutkan bahwa pemikir kita ini banyak digandrungi oleh para pengimpor pemikiran di tanah air tanpa mencermati dan menganalisa secara rigoris pemikiran-pemikiran Dr. Soroush, yang secara umum kadung diterima sebagai seorang pemikir alternatif, khususnya mereka yang cenderung liberal dalam beragama.

Oleh karena itu, harapan kami semoga tradisi ilmiah ini dapat berkembang dengan baik, beradu dan berpadu argumen dalam menjelaskan pokok-pokok pemikiran yang diyakini kebenarannya.

Penting kita ketahui bahwa Dr. Soroush (Soroush dalam bahasa Persia dapat dimaknai sebagai bisikan dan sengaja terjemahan bisikan ini dijadikan sebagai judul postingan ini) di samping sebagai seorang ahli dan penghafal syair, ia juga seorang pakar dalam bahasa dan sastra Persia. Ia sempat mengatakan: “Membaca dan melafazkan syair adalah dua hal penguat daya khayal dan fantasi manusia dimana keduanya adalah sumber dan sebab timbulnya syair itu sendiri. Salah satu keistemewaan penyair adalah kemampuannya dalam mengolah kata, yang dengan kemampuannya tersebut kapan saja diperlukan maka ia akan bisa menjawabnya.

Yang perlu diketahui disini adalah bahwa pengolahan dan dialek syair tidak ada sangkut pautnya dengan pembahasan ilmiah, dan di antara keduanya mustahil bisa disamakan dan disejajarkan antara satu dengan yang lain. Dari sisi inilah al-Quran ketika menjelaskan sifat Nabi Saw menegaskan: “Nabi itu bukanlah seorang penyair dan bukan pula ahli syair”. Hal ini tidak lain karena tema yang terkandung dalam al-Quran dan wahyu hanya berkaitan dengan perkara-perkara yang penting dan serius bagi kehidupan manusia di dunia dan akhirat kelak. Dengan dalih inilah gaya bahasa yang dipakai oleh al-Quran dan wahyu bukan gaya bahasa syair melainkan sebuah gaya bahasa yang bersifat mendidik, mengatur, memerintah atau melarang. Hal ini tidak lain karena kita ketahui bahwa tugas Nabi Saw adalah untuk mendidik dan mengantarkan manusia kepada kesempurnaan dan kesucian diri.

Sebelum kami memaparkan beberapa pemikiran Dr. Soroush alangkah baiknya kalau kami mengawalinya dengan sebuah pengantar, “Dalam segala bidang kehidupan, kita akan dapati bahwa setiap orang ketika hendak merusak dan menyalahkan al-Quran dan Nabi Saw, maka dia akan menyiapkan segala bentuk persiapan dan ancang-ancangnya, salah seorang dari mereka mengatakan bahwasanya al-Quran itu adalah kitab kaum teroris, yang lainnya lagi mengatakan kalau al-Quran adalah ayat-ayat setan. Dan yang lainnya memperkenalkan Nabi Saw sebagai seorang yang jenius dan berpikir tajam. Ada juga yang menghinanya dengan karikatur-karikatur yang mereka gambar yang kemudian mereka sebarkan di negara-negara seperti Denmark dan Inggris.”

Dari kejadian seperti di atas, kiranya apakah layak bagi kita (kaum muslimin) untuk mengemukakan satu opini dan pendapat yang sejenis dengan pendapat musuh-musuh Islam dan al-Quran tanpa terlebih dahulu meneliti dan mengoreksinya? Dari makalah-makalah seperti ini siapakah (nantinya) yang akan merasa diuntungkan? Sementara Dr. Soroush sendiri tidak berani berkata: “Kritikan yang dilontarkan oleh Ulama’ Islam kaitannya dengan pendapat yang saya utarakan tidaklah tepat dan perkataannya tidak berdalil.”

Dari sini maka kami katakan bahwa seorang muslim ketika hendak melontarkan opininya berkaitan dengan Islam, al-Quran, Nabi dan Wahyu, minimal harus mengenal konsep siasat dan juga harus jenius. Kejeniusannya haruslah sedemikian hebat sehingga dia mampu memahami “Siapakah orang yang akan diuntungkan dari perbuatannya sendiri?”

Dengan mukadimah singkat ini kami ingin memaparkan beberapa poin penting yang diitujukan kepada Dr. Soroush. Kemudian kami pun akan membahas sebagian perkataan beliau yang telah berhasil direkam dari hasil wawancara tersebut.

Dr. Soroush, sekarang dimanakah posisi Anda?

Satu permasalahan yang penting sekaligus kabur ini, harus terjawab sebelum masuk dalam pembahasan kita kali ini, yang dengannya kami berharap pembahasan bisa berjalan dan terarah dengan benar. Dr. Soroush, berkaitan dengan hal-hal yang anda paparkan selama ini, dimanakah Anda memposisikan diri Anda sendiri?

Hal ini harus jelas yaitu apakah di saat Anda melontarkan sebuah pendapat, Anda memposisikan diri Anda sebagai orang yang meyakini agama (beragama) ataukah Anda keluar dari ruang lingkup agama?

Lantaran kalau Anda mengkritik agama dan Anda sendiri masuk dalam kawasan agama, maka bentuk penalaran dan contoh-contoh yang Anda kemukakan berkaitan dengan kalimat-kalimat al-Quran dan riwayat-riwayat yang datang dari para wali Allah akan dapat kami terima. Dan kalau sekiranya tidak demikian yaitu dengan artian bahwa Anda mempergunakan pendapat Anda berdasarkan pemikiran bebas Anda (bebas dengan artian keluar dari ajaran agama dan al-Quran), maka dalam hal ini hendaknya pendapat Anda harus berdasar pada pemikiran akal murni saja.

Dan kami tekankan kepada Anda janganlah seperti bunglon, dimana di satu tempat berpenampilan sebagai seorang muslim yang taat dan ‘arif, dan di tempat lain berpenampilan sebaliknya, yaitu datang dengan berwajah penentang ajaran-ajaran al-Quran.

Dari mukadimah ini kami tidak bermaksud untuk mengkumi Anda, akan tetapi permasalahan yang penting lagi kabur ini haruslah terselesaikan terlebih dahulu sebelum masuk kepada pembahasan kita. Sehingga pembahasan ini akan terfokus pada satu permasalahan saja.

Menurut Anda, al-Quran dan Sunah itu apakah mempunyai sandaran atau tidak?

Di sini kami memposisikan diri Anda sebagai orang yang hidup dalam ruang lingkup agama (orang yang beragama). Maka dengan bersandar kepada al-Quran dan as-Sunnah, kami akan membahas tentang, Teori terhadap Pemahaman Esensi Wahyu.

Wahyu, Jibril dan Sunah Ilahi merupakan bagian dari fenomena-fenomena ilahi dimana ia juga merupakan satu topik penting yang sering dibicarakan oleh al-Quran. Dari sini bagi mereka yang meyakini al-Quran -akan kebenarannya-, maka ia harus membahas sesuai dengan ayat-ayat al-Quran itu sendiri.

Persoalan yang mengemuka di sini adalah: “Mungkinkah bagi kita untuk mengetahui makna wahyu secara hakiki ataukah tidak?”

Dalam hal ini al-Quran menjawab: “Ayat-ayat kami ada dua macam: Pertama ayat-ayat muhkam yang didalamnya terkandung dan menjelaskan sifat-sifat Tuhan, akhirat, balasan amal perbuatan, amalan-amalan ibadah seperti shalat, puasa dan haji. Demikan juga hal-hal yang berkenaan dengan halal dan haram, undang-undang pemerintahan islam, pengadilan, dan permasalahan akhlak. Dimana hal-hal yang ada didalamnya dijelaskan secara gamblang dan dapat dipahami oleh semua pemahaman masyarakat umum, dan sebagai konsekuensinya maka merekapun diwajibkan untuk mengimani dan mengamalkannya.

Kedua adalah ayat-ayat mutasyabih, dimana didalamnya terkandung hal-hal yang bersifat non-materi. Manusia selama hidup di dunia ini dan selama dirinya tidak mampu melepaskan dirinya dari hal-hal yang bersifat materi, maka ia tidak akan mampu memahami ayat-ayat mutasyabih ini seratus persen, yang dari sini maka iapun tidak mempunyai taklif untuk mengamalkannya, akan tetapi baginya hanya diwajibkan untuk meyakininya secara mujmal (umum) saja. Dan ia harus tahu kalau disana ada kandungan-kandungan yang tidak bisa diketahui oleh akalnya melainkan baru bisa diketahui apabila ia sudah pergi ke alam kubur nanti dan akan nampak secara jelas (bisa diketahui seratus persen) kelak di alam sana. Hal ini sebagaimana ayat al-quran yang berbunyi; Wamâ ûtîtum minal ‘ilmi illa qalîla (Dan tidaklah diberikan kepada kalian satu ilmu kecuali sedikit).

Sebagai contoh; semua orang yang telah meninggal dunia, telah menyaksikan bagaimanakah malaikat maut menjumpai dan mengambil arwahnya. Ia melihatnya dengan begitu jelas dimana sebelumnya malaikat maut baginya hanyalah satu hal yang mutasyabih dan tidak dikenal. Akan tetapi baru pada saat ajal tiba, ia mengenalnya dan menyaksikannya secara muhkam (jelas) dan tidak mutasyabih lagi.

Hal yang perlu kita ketahui disini bahwa semua perkara yang bersifat mutasyabih itu mempunyai sisi muhkam dan juga mutasyabih. Muhkam karena kita diwajibkan untuk mengimaninya. Adapun mutasyabih adalah kandungannya yang mustahil bisa kita ketahui, dan satu-satunya jalan untuk bisa kita ketahui adalah ketika kita sudah pindah kealam non-materi sana (akhirat). Sebagai contoh adalah kaitannya dengan permasalahan ma’ad (hari pembalasan). Al-Quran memerintahkan kepada kita untuk yakin kepadanya, sementara yang ia maksud dari yakin disini adalah bagi kita cukup dengan asumsi (satu peringkat belum sampai kepada yakin). Ayat al-Quran di samping mengharuskan kita untuk mengimani ma’ad (hari pembalasan) dan hari perhitungan, juga mengharuskan kita untuk mengimani akan adanya surga dan neraka. Karena al-Quran berfirman; Wa bil âkhirati hum yûqinûn (Dan mereka yakin akan adanya hari akhir). (Qs. al-Baqarah [2]:4)

Adapun segala permasalahan yang berkaitan dengan alam akhirat, seperti permasalahan bagaimanakah tajassum (penjelmaan) amal perbuatan kita, dari manakah pepohonan surga itu diairi, apakah disana umur manusia akan bertambah (kekal) ataukah tidak, bagaimanakah cara pertemuan mukmin dan kafir dengan Tuhan kelak, ataukah permasalahan tentang seorang durjana yang dimasukkan ke neraka, bagaimana bisa daging dan kulitnya yang sudah hancur bisa dikembalikan lagi sehingga diazab untuk yang kesekian kalinya, itu semua adalah perkara-perkara yang mutasyabih dan mustahil bagi kita yang masih hidup didunia ini mampu memahaminya secara dalam.

Dari sini kaitannya dengan kewajiban kita untuk meyakini ayat-ayat mutasyabih, al-Quran menggunakan kata dzan (asumtif) sebagai ganti dari kata yakin (definitif) dengan berfirman; Alladzîna yadzunnûna annahum mulâqû rabbihim wa annahum ilaihi râji’ûn (Yaitu orang-orang yang meyakini (yazhunnûna) bahwa mereka akan menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepadanya.” (Qs. al-Baqarah [2]:46)

Dari sini pula kita bisa katakan kalau wahyu juga mempunyai dua sisi. Pertama sisi qath’i (definitif) atau yang disebut juga muhkam, dan yang lain adalah sisi asumtif atau yang disebut juga mutasyabih.

Yang dimaksud dengan wahyu qat’i atau muhkam adalah wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw langsung dari Jibril yang merupakan sosok mulia dan malaikat paling dekat dengan Tuhan, tanpa berkurang atau bertambah sedikitpun. Yang kemudian dengan penjelasan yang sangat jelas, Nabi Saw menyampaikannya ke seluruh umat, dimana untuk yakin kalau tema yang beliau sampaikan kepada mereka bisa dipahami, beliaupun bertanya; “Hal ballahgtu?” (Apakah matlab (penting) sudah saya sampaikan – ataukah perlu saya jelaskan lebih luas tentangnya?). Sampai batas ini, maka kita diharuskan untuk mengimani (percaya) akan adanya dua hal; pertama adalah malaikat Jibril dan yang lain adalah wahyu itu sendiri.

Adapun berkenaan dengan wahyu mutasyabih dan pemahaman yang dalam tentangnya akan mustahil bisa dicapai oleh akal manusia selama ia berada di dunia ini. Dari sini, kitapun tidak diwajibkan untuk memahaminya secara dalam (karena mustahil akan kita ketahui secara seratus persen), dan kalaulah ia memaksakan dirinya untuk tahu akan kandungannya yang bi nihayat, maka ia akan terjerumus kedalam penafsiran al-Quran sesuai dengan akalnya sendiri (tafsir bi ar-ra’yi).

Bagaimana bisa para penentang Wahyu, Tuhan dan Ma’ad menafsirkan dan mengatakan kalau al-Quran adalah wahyu nafsi (physical wahyu) dengan mengatakan kalau ia adalah hasil dari pikiran dan kejeniusan Nabi Saw? Jawabannya tidak lain karena pada dasarnya mereka tidak meyakini akan adanya makhluk non-materi seperti Malaikat Jibril, di sisi lain mereka juga melihat (dalam sejarah) kalau Nabi Muhammad Saw tidak pernah pergi duduk di bangku sekolah. Dengan dua alasan itulah, mereka tidak bisa mengatakan sesuatu selain harus berkata; “Wahyu itu tidak lain hanyalah wahyu nafsi hasil dari kecermelangan ilmunya dan satu hal yang tersembunyi dalam diri batinnya, anehnya lagi kalau beliau tidak mengetahui pasti dari manakah asal-usulnya.”

Al-Quran dalam menjawab para penganalisis tak berilmu tersebut mengatakan: “Fa ammalladzîna fî qulûbihim zaighun fayattabi’ûna mâ tasyâbaha minhu ibtighâal fitnati wabtighâ takwilih, wamâ ya’lamu takwîlahu illallâh” (Adapun orang-orang yang didalam hatinya condong dalam kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah). (Qs. Ali Imran [3]:7)

Kata zaigh bermakna inhiraf (sesat dan keluar dari jalur yang benar). Al-Quran mengatakan kalau mereka sebenarnya tahu dan sengaja untuk memaparkan analisis semacam ini, sehingga dengan perbuatanya itu mereka bisa membuat keyakinan masyarakat berubah terhadap pandangannya tentang Nabi Saw, al-Quran dan Wahyu. Hal ini tidak didasari oleh sesuatupun melainkan karena mereka tidak mempercayai itu semua dan yang mereka inginkan hanyalah kebingungan orang lain.

Pada dasarnya lafaz-lafaz dan redaksi al-Quran bukanlah mutasyabih, tapi kandungan dan makna ayatlah yang mutasyabih, karena ia adalah perkara non-materi dan mustahil bisa dibandingkan dengan perkara-perkara yang bersifat materi. Berkaitan dengan masalah ini, al-Quran menggunakan kata-kata; “Wa mâ adrâka…” (apakah yang kamu ketahui tentang…..). Dan menambahkan: “Sekarang ketika kamu menyadari kalau kandungannya yang sangat dalam itu mustahil diketahui, maka ketahuilah kalau disana ada maknanya yang dalam dan juga berbeda-beda).

Dalam perkataan yang Dr. Soroush sampaikan, secara tidak disengaja dia telah menerima ke-mutasyabihan wahyu. Yaitu dengan pengertiah bahwa dia telah menerima kedalaman dan keluasan makna yang terkandung dalam wahyu mutasyabih tersebut. Hal itu karena dia berkata; “Allamah Thaba-thabai kaitannya dengan kata wahyu, menggunakan redaksi pemahaman misterius dan esoterik (syu’ur marmuz).” Akan tetapi dia menyangkal pendapatnya dengan mengatakan; “Saya pikir lebih bagus sekiranya Allamâh menggunakan redaksi seni misterius (hunar marmuz) sebagai ganti dari syu’ur marmuz yang ia sampaikan”.

Dalam menjawab permasalahan ini di kami ingin menyebutkan beberapa matlab:

1. Kata misterius sebenarnya mempunyai arti mutasyabih itu sendiri. Artinya, bahwa urusan itu merupakan urusan misterius bagi kami dan enigmatik. Dan ia akan tetap tak dapat diketahui.

2. Redaksi yang digunakan Allamah Thaba-thabai adalah lebih baik dari redaksi yang Dr. Soroush sampaikan, hal ini karena redaksi yang ia gunakan memiliki kelemahan karena syu’ur (konsep atau pahaman) itu merupakan kategori penerimaan. Dimana Nabi Saw menerima konsep dan pahaman berupa pesan-pesan Tuhan. Adapun kata seni (hunar) itu berasal dari kategori transformasi, dimana dengan redaksi ini lebih tepat kalau diartikan bahwa Nabi Saw menyampaikan wahyu itu dari dirinya sendiri (dan inilah klaim Dr. Soroush). Yang menjadi permasalahan disini adalah kalau sekiranya wahyu itu adalah seni (Nabi sendiri yang mentransformasi wahyu itu dari dirinya sendiri), maka secara otomatis ia tidak akan misterius lagi, karena seni merupakan sesuatu yang bersifat jelas dan kerja seni tidak lain hanyalah untuk mengetahui, menjelaskan dan menyingkap formula-formula. Oleh karena itu, tiada artinya Anda memberikan ajektif misterius pada kata seni.

3. Satu hal paling penting untuk mengingatkan Dr. Soroush: Ia sering mengulang-ngulang kata “Saya pikir…..saya pikir…” Dan dengan penuh keberanian ia mengatakan kalau hadis-hadis dari Imam Shadiq As dan lainnya merupakan sunah yang tidak memiliki sandaran. Perkataan yang berseberangan dengannya pun telah Anda katakan dengan berkata: “ Saya berpikir, maka saya ada”, yang dengan perkataan seperti ini ia tidak hanya tertuduh sebagai orang yang takabbur (sombong) tapi juga orang yang perkataannya tidak bersanad, dimana karena disana Rasul Saw dan para Aimmah As sama sekali tidak pernah mengatakan; “Saya pikir..” akan tetapi berkata: “Katakanlah, “Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut kepada siksa hari yang besar (kiamat) jika aku mendurhakai Tuhanku.” (Qs. Yunus [10]:15)

Mereka bertanya kepada Anda: “Sandaran apa yang Anda miliki dalam melontarkan pendapat?”

Saya menjawab, dengan mencermati perkataan-perkataan yang sering Anda lontarkan dimana Anda sering mengulang-ngulang kata-kata seperti “Saya pikir… saya pikir…”, maka Anda pun harus menjawab; “ Perkataan saya tidak butuh memerlukan sandaran (sanad), karena saya telah merasakan kenabian dalam diri saya, dimana hati sayalah yang mengatakannya kepadaku. Dan cukuplah ini sebagai sanad bagiku”.

Sementara kalau kita mau mencermati pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh manusia, maka akan kita lihat kalau pendapat mereka satu dengan yang lainnya akan sangat berbeda. Sebagai contoh Descartes mengatakan; “Saya berpikir, maka saya ada”. Yang lain mengatakan; “Saya berpikir, maka wahyu dan kenabian tidak ada. Adapun Jibril tidak lain hanyalah pronomina (dhamir) Rasul Saw.”

Berpikir bebas (tanpa rambu-rambu) merupakan satu tipuan (yang sangat membahayakan). Karena pada dasarnya ia memiliki batin yang penuh dengan kebodohan. Pakar kimia belajar ilmu Kimia tidak lain karena ia ingin mengetahui Alif-Ya ilmu Kimia. Oleh karena itu sekiranya ada orang yang tidak mengetahui ilmu Kimia sama sekali kemudian melontarkan gagasan dan pendapat tentang ilmu kimia, maka pakar dalam ilmu Kimia itu disamping akan mentertawakannya juga akan mengatakan betapa dungunya orang ini.

Dari sini kami sarankan kepada Anda untuk sedikit bersikap tawadhu’ (low-profile), dan sebaiknya membaca beberapa kitab tafsir yang ada. Dan apabila Anda menemukan satu permasalahan darinya, Anda bisa berdiskusi dengan orang yang ahli dibidangnya (pakar tafsir), sehingga pandangan Anda berkaitan dengan al-Quran memiliki acuan dan titik-tolak yang sesuai dengan kaidah-kaidah tafsir.

Berpikir tidaklah begitu penting. Namun yang penting adalah adalah bagaimana cara berpikir yang akan menunjukkan kapasitas dan kualitas seorang periset dan cendekia. Dalam menanggapi ucapan-ucapan yang Anda lontarkan, disini kami akan paparkan beberapa adabiyat sederhana (kaidah-kaidah bahasa) berkaitan dengan bahasa yang dipakai al-Quran (Bahasa Arab), sehingga Anda dapat menerimanya bahwa bahkan dengan kaidah sastra Arab yang sederhana sekalipun tetap diperlukan dalam melontarkan pandangan tentang al-Qur’an.

Misalnya dalam beberapa perkataan yang sering Anda sampaikan, sering sekali didapati kata-kata shiratha (plural dari kata shirat dalam bahasa Persia yang berarti jalan-jalan. Dalam kaitannya dengan masalah ini Dr. Soroush pernah menulis sebuah buku “Shritaha-ye Mustaqim [Jalan-jalan Lurus] yang juga telah mendapatkan banyak tanggapan dan kritikan dari pemerhati masalah pluralisme). Sementara dalam Kamus Arab kata O~N~C,? tidak dalam bentuk plural. Adapun kata dalam bentuk plural adalah O'E`i'a' , dimana bentuk pluralnya adalah O'E`a' .

Kata O~N~C,? dalam al-Quran adalah mufrad (singular) dan akan selalu mufrad (singular), dan kata O'E`i'a' itulah yang mempunyai kata plural (jama’) dimana ujung kata ini berujung pada O~N~C,? . Shalat merupakan satu sabil, jihad merupakan sabil yang lain. Orang yang hanya berjalan di atas sabil puasa saja –misalkan-, belum tentu akan masuk surga kecuali apabila ia juga melalui sabil-sabil yang lainnya pula. Dari sini maka orang-orang yang berjalan diatas O~N~C,? adalah orang-orang sempurna dan ahli dalam mengamalkan al-Quran dan as-Sunnah. Mendatangkan kata plural untuk kata shirat dalam kamus Bahasa Arab merupakan sebuah kesalahan dan kejahilan terhadap bahasa kitab suci ini.

Anda juga mengatakan: “Nabi Saw disamping sebagai seorang pelaku (subyek) wahyu, ia juga sebagai penerima (qabil) wahyu”. Apa yang dapat dipahami dari perkataan semacam ini tidak lain adalah penafian Malaikat Jibril dan kenabian itu sendiri dimana konsekuensinya adalah Nabi Saw tidak lain hanyalah seorang agamawan pemikir dan jenius. Secara selintas dapat dikatakan kepada Anda kalau Anda lupa dan lalai dari ayat-ayat al-Quran yang mendatangkan kata ?I'? dengan gaya kalimat passive (majhul). Dimana dalam satu ayat, al-Quran berfirman: ?a' C,?I'i' A*a'i' (Katankanlah: “Telah diwahyukan kepadaku …”. Redaksi “Telah diwahyukan kepadaku” dari ayat tersebut mengharuskan akan adanya dua faktor (‘amil); entah sebagai fa’il (subyek) ataukah sebagai naibul fa’il (pengganti subyek atau obyek)–maf’ul-. Dari sini sesuai dengan apa yang disampaikan al-Quran, maka Nabi Saw adalah obyek wahyu (naibul fa’il -maf’ul-) dan bukan sebagai fail (subyek atau pelaku).

Misalnya ketika Anda berkata: “Dr.. X mati atau Dr.. X bunuh diri”, sangat lain dengan ketika Anda mengatakan “Dr.. X dibunuh”. Jumlah pertama -Dr.. X mati- mempunyai arti kalau dirinyalah yang mati, jumlah kalimat kedua –Dr.. X bunuh diri- mempunyai arti kalau dia sendiri adalah pembunuh (fail) sekaligus yang dibunuh (naibul fa’il-maf’ul), adapun jumlah kalimat terahkir –Dr.. X dibunuh- mempunyai arti kalau di sana ada dua individu berbeda, yang pertama berperan sebagai pembunuh (fail) dan yang lain sebagai yang dibunuh (naibul fa’il-maf’ul). Berkaitan dengan kalimat (yûha) dan (ûhiya), juga mengharuskan akan adanya dua person yang mandiri, Nabi Saw sebagai penerima wahyu sedang Jibril adalah penyampai. Menariknya lagi kalau kaidah bahasa sederhana semacam ini pun dalam kitab jamiul mukaddimah (satu kitab pengantar untuk memasuki jenjang ilmu berikutnya) sudah dijelaskan. Tapi sayang Anda tidak memperhatikan dan boleh jadi sengaja melalaikan masalah ini. Wallahu ‘Alim..