Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Menuju Kebahagiaan Sejati

1 Pendapat 05.0 / 5
Suatu hari yang tenang, di sebuah pesantren tradisional yang terletak di sebuah pedesaaan yang cukup jauh dari hiruk pikuk kehidupan modern, ada seorang santri remaja yang sedang menghabiskan waktu istirahat sore harinya di bawah pepohonan yang rindang, dia berbaring di atas rerumputan yang hijau dan bersih sambil meletakkan kedua telapak tangannya di bawah kepalanya. Ya, mungkin hanya itu yang terlihat dari gerak badannya, sembari menikmati angin sepoi-sepoi yang datang silih berganti, sambil sesekali dia merenung.

Rupanya, menetapnya badan di suatu tempat tak selalu berjalan selaras dengan menetapnya pikiran di tempat tersebut. Begitu pula yang terjadi padanya, seiring hembusan angin yang semilir,  sesekali pikirannya lari ke masa lalu, membayangkan mengapa dirinya bisa masuk pesantren tersebut, untuk apa belajar jauh-jauh di pesantren itu dan berpisah dari sanak keluarga, selain itu ia juga memikirkan begitu cepatnya waktu berlalu hingga saat itu.

Kemudian angin selanjutnya kembali berhembus, namun rupanya kali ini angin itu membawa pikirannya terbang jauh ke masa depan, dia membayangkan akan menjadi apa dirinya nanti, hal apa yang dia cita-citakan dan tentunya langkah-langkah apa saja yang harus dia tempuh, dst. Begitulah santri tersebut menghabiskan waktu istirahatnya, waktu tersebut betul-betul menjadi waktu favoritnya, dan tanpa terasa waktu itu hampir saja berakhir.

Dan ternyata sebelum waktu itu benar-benar berakhir, tanpa dia sadari, ternyata ustadz pembimbingnya sedang berjalan ke arahnya dan hendak mengingatkannya untuk bersiap-siap shalat berjamaah maghrib, akhirnya suara ustad itu pun terdengar olehnya dan segera pikirannya menyatu dengan badannya.

Sang Ustadz berkata, “Anak-anak, segeralah siap-siap untuk sholat berjamaah!”
Tanpa berpikir panjang, dirinya langsung bersiap-siap. Akhirnya tibalah dia di masjid untuk mengikuti shalat berjamaah, dan setelah selesai sholat, dia mengikuti beberapa rutinitas pesantren lainnya, seperti makan malam dan diskusi.

Sampai akhirnya tibalah waktu malam, di malam itu tiba-tiba pikirannya terusik kembali oleh bayang-bayang tadi sore, terlintas di pikirannya dengan rasa penasaran: sepertinya enak yaa jadi ustadz? Dia mengasumsikan dalam hatinya, ustadz itu sudah dapat ilmu dapat harta pula, mungkin begitulah yang dia pikirkan waktu itu.

Pasalnya, pikiran tersebut ia dapatkan dari hasil pengamatannya yang sepintas terhadap sebagian ustadz-ustadznya di pesantren. Yakni memiliki beberapa kebutuhan sekunder, atau dengan kata lain, kebutuhannya dapat terpenuhi dengan mudah, itu secara material. Secara spiritual pun demikian, mereka juga cukup bagus, memiliki ilmu untuk diamalkan, ilmunya berguna pula untuk dunia akhirat, profesi mana yang bisa selengkap itu, begitu gumamnya dalam hati.

Semenjak  itu, dengan tekad yang bulat, dia berniat untuk menjadi seorang ustadz. Akhirnya ia pun menjalani hari-harinya yang panjang dan penuh perjuangan dengan membawa tekad tersebut di hatinya.
Hari demi hari bulan demi bulan berlalu dan tak terasa hingga akhirnya beberapa tahun telah terlewati untuk mencapai tujuannya itu.

Hingga tibalah suatu hari ia termenung sejenak di sela-sela kesibukannya yang semakin hari semakin berat dan penuh resiko dan tanggung jawab. Dan sepertinya hari itu agak berbeda dibanding hari-hari sebelumnya, kali ini dia tidak lagi berpikir sesederhana dulu ketika awal kali ia bertekad menjadi ustadz, justru setelah ia jalani beberapa tahun saja, perjuangan dan godaan dalam jalan itu sudah begitu dahsyat.

Akhirnya dia berpikir sedikit lebih kompleks dalam memandang seorang ustadz atau profesi lainnya.
Dalam perjalanan yang telah ia lewati, setidaknya dia terpikir akan ada beberapa poin yang telah ia pelajari dan sekaligus juga mengubah sudut pandangnya saat itu.

Pertama, semakin tinggi kedudukan seseorang, maka semakin tinggi pula usaha dan kerja kerasnya. Kalimat tersebut memang terdengar sangat sederhana dan seringkali terucap, namun dalam realita terkadang tak banyak yang menyadarinya, terkadang seseorang melihat orang lain sukses hanya pada saat suksesnya, tak melihat bagaimana dia bisa sampai pada kesuksesannya saat itu, perlu banyak proses yang rumit untuk sampai pada posisi itu, dan itu yang kadang terlupakan.

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm:39).

Kedua, saat itu ia sadar bahwa setiap nikmat memiliki pertanggung jawaban.

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan.” (QS. At-Takasur: 8)
Ketiga, dia yakin bahwa Tuhan maha adil terhadap seluruh ciptaan-Nya.
Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib pernah berkhotbah yang tercatat dalam kitab Nahjul Balaghah, bagian khotbah ke 90: 
“Dia menolong melalui nikmat yang bermanfaat dan pemberian yang melimpah dan anugerah. Semua ciptaan bergantung kepada-Nya (dalam rezeki). Dia telah menjamin kehidupan mereka dan mengatur rezeki mereka. Ia telah menyediakan jalan bagi orang-orang yang berpaling kepada-Nya, dan orang orang yang mencari apa yang ada pada-Nya. Dia sama Pemurah tentang apa yang diminta dari-Nya maupun tentang apa yang tidak diminta pada-Nya.”

Keempat, tugas seorang alim yang cukup berat.
Amirul mukminin juga pernah menulis surat untuk putranya imam hasan as. Dan juga tercatat dalam Nahjul Balaghah bagian surat ke 31: “ketahuilah bahwa tidak ada kebaikan dalam pengetahuan yang tidak bermanfaat, dan apabila pengetahuan tidak digunakan, maka mendapatkannya tidak dibenarkan.”

Sebuah kalimat yang singkat, sarat makna, dan menusuk ke sanubari.

Kelima, dalam keadaan apapun, hendaknya selalu bersyukur kepada Tuhan.
Di bagian hikmah, yang lagi-lagi dalam kitab Nahjul Balaghah, Amirul Mukminin pernah berkata, “Bilamana Anda hanya mendapatkan nikmat yang kecil, janganlah Anda menolaknya dengan tidak bersyukur.”

Jika demikian, boleh dibilang bahkan tak ada nikmat yang kecil, karena setiap nikmat patut disyukuri, termasuk ucapan dan tindakan syukur itu sendiri.

Akhirnya, santri tadi benar-benar menjadi ustadz dan tokoh masyarakat, tapi justru kebahagiaannya tidak muncul dari hal yang ia bayangkan dahulu kala, kebahagiaannya lebih dikarenakan rasa syukur, tawakkal, dan penghambaannya pada Tuhan.

Singkat cerita, setiap profesi memiliki hak dan tanggung jawabnya masing masing, dan agak kurang pantas jika melebihkan atau dilebihkan satu sama lainnya tanpa suatu dasar yang benar. Selayaknya setiap profesi, dalam setiap waktu, dalam segala aspeknya berusahalah  semaksimal dan semampunya untuk menjalankan tugas yang telah kita miliki atau diberikan kepada kita, keutamaan akan datang dengan sendirinya jika telah berusaha atau diusahakan secara maksimal kepada siapa pun atau apapun itu, dan dari semua itu, Tuhanlah yang Mahatahu segala kebenaran.