Bisikan Wahyu atau Wahyu Bisikan [2]



Pada bagian pertama telah kita paparkan ihwal kritikan atas stetmen-stetmen Abdul Karim Soroush akhir-akhir ini. Nah, sekarang kami akan mengajak Anda untuk lebih menarik perhatian Anda pada tulisan kedua ini sebagai follow up dari tulisan kritikan pertama.

Yang terhormat Dr. Soroush! Anda menyatakan bahwa: “Rasulullah Saw itu lebih dekat kepada Allah Swt dibanding malaikat Jibril As”; konsekuensi dari stetmen ini adalah bahwa Nabi Saw seakan-akan tidak butuh pada Jibril As, dan hal ini merupakan sebuah interpretasi salah dan tidak bersandar pada burhan (argumen). Kalau misalnya ungkapan semacam ini benar adanya, maka tidaklah layak dan pantas Malaikat Izrail As bertugas untuk mencabut ruh mulia Nabi Muhammad Saw, tapi harus Rasulullah Saw sendirilah yang layak mencabut ruh dirinya dan dalam hal ini Nabi Saw telah melakukan tindakan bunuh diri, karena seperti yang Anda katakan bahwa Nabi Saw, selain sebagai yang mencabut ruh, juga sebagai yang dicabut ruhnya. Dan kalau ada seseorang yang mencoba menisbahkan bunuh diri tersebut kepada Nabi Saw, maka mau tidak mau secara spontanitas akan muncul pertanyaan dalam benak kita bahwa apakah orang yang berbicara seperti itu dalam kondisi sehat jasmani dan rohani?

Terbersit dalam pikiran bahwa Anda berbicara seperti ini seakan-akan anda menganggap diri lebih unggul dibanding dengan kaum ulama dan cendekiawan-cendekiawan Muslim, dan lebih berbahayanya lagi anda mencoba mengatakan bahwa riwayat-riwayat; yakni dari Imam Baqir As dan Imam Shadiq As; itu punya pandangan dan model pemikiran tersendiri dan saya juga –dengan gaya menentang– memiliki pandangan dan teori sendiri. Bukankah ini merupakan sebuah sikap congkak dan takabbur? Di sini saya teringat kisah Mr. Hamfer, seorang utusan dari Inggris, dimana di sini saya akan mencoba menceritakan sedikit dari kisah tentangnya. “Hamfer berkata: Saya adalah seorang utusan dari imperialis Inggris dan ditugaskan di negara-negara Islam. Saya bertemu dengan salah seorang pemuda yang sangat pandai berbicara, banyak menggunakan istilah-istilah dan tentunya sangat fasih, namanya Muhammad bin Abdulwahhab. Saya menjadi tertarik dengannya dan terlintas dipikiran bahwa apakah dia itu bisa berguna ataukah tidak? Akan tetapi dalam kondisi itu saya belum begitu mengenalnya dan hingga suatu ketika terjadi sebuah diskusi dan saya pun memutuskan untuk memilihnya, karena orang seperti dialah yang saya cari selama ini. Saya melihat dia dikalangan para pelajar termasuk orang yang sangat berbeda dari yang lain, pemberani dan memiliki pemikiran bebas dan sangat mudah mengucilkan dan menghina ulama-ulama besar dan juga para gurunya. Dan pada akhirnya saya pun bisa memanfaatkan dan memperalatnya.”

Anda Mr Soroush! Seorang pribadi yang harus konsisten dan istiqamah dalam menghadapi para imperialis dan musuh-musuh agama dan al-Qur’an. Akan tetapi sangat disayangkan dan sesuatu yang tidak dinanti-nantikan bahwa Anda malah mencoba memaparkan dan menjelaskan ihwal wahyu dan nubuwwah itu seakan-akan sejalan dengan selera dan keinginan musuh-musuh Islam, seperti halnya yang dilakukan oleh sebagian dari mufasir Mesir dimana mereka mencoba menginterpretasikan dan menjelaskan mukjizat-mukjizat Nabi Saw itu dalam bentuk materi dan pada akhirnya mereka pun mengingkari mukjizat tersebut dan baru kemudian mereka sadar kembali kalau apa yang dipahaminya itu adalah salah. Anda dan saya tidak dipaksa untuk membuat kalangan yang kontra itu puas dan takluk dengan cara mencaplok prinsip-prinsip dasar keagamaan, karena kekufuran dan keimanan itu bukanlah barang yang mudah diambil atau disimpan. Anda cukup mengatakan yang benar itu saja (wamaa ‘alarrasuuli illal balaagh) dan kalau mereka menghendaki, maka mereka akan beriman.

Anda mengatakan bahwa: “Rasulullah Saw sendirilah yang membuat wahyu dan al-Qur’an”. Dengan demikian, tak akan ada seorang pun yang akan menyatakan keimanannya kepada Nabi Saw. Sebab setiap orang akan mengingkari dan menyatakan: Ucapan-ucapan ini bersumber dari dirinya sendiri dan atas dasar inilah kita tidak beriman kepadanya, karena dia sendiri adalah pembuat dan sekaligus penerima wahyu (seperti ungkapan yang anda nyatakan tersebut) dan dalam kondisi seperti ini, kebenaran ada di pihak orang-orang yang dulunya tidak mengimani Nabi Saw.

Oleh karena itu, mereka, yang memahami hakikat sejati bahwa segala sesuatu yang diucapkan oleh Rasulullah Saw itu bersumber dari Allah Swt via malaikat Jibril As, rela mengorbankan harta dan nyawanya serta berhijrah dan menghabiskan hidupnya di dalam memperjuangkan Islam.

Dalam sebuah pertemuan, ada yang bertanya: Untuk apa al-Qur’an menceritakan peristiwa Samiri, padahal kisah semacam ini sudah terkubur di zamannya? Jawabnya: Tidak demikian halnya, al-Qur’an mengatakan bahwa barangsiapa yang mencoba membuat mazhab tandingan atas nabi Allah Swt yang ada di zamannya dan juga membuat aturan yang bertentangan dengan syariat, maka orang tersebut dianggap sebagai Samiri di eranya dan ungkapan al-Qur’an ini selalu berlaku dan mencakup orang-orang yang senang meciptakan agama-agama baru di sepanjang sejarah. “Hai Samiri, perbuatan apa yang kamu perbuat ini dan apa tujuan dan kepentingan kamu? (Qs. Thâhâ [2]: 95)”. Secara tekstual ayat ini tidak mencakup orang-orang kafir dan hanya berbicara ihwal orang-orang yang berada dalam ruang lingkup agama dan orang-orang yang sangat kreatif dalam menciptakan agama-agama baru.

Dalam tulisan Anda disebutkan bahwa: “Dalam beberapa riwayat ditemukan hal semacam ini”, namun menurut saya begini dan begitu.Yang Anda maksud riwayat di sini adalah ucapan-ucapan Imam Shadiq As, Imam Ali As, dan Rasulullah Saw. Akan tetapi, ketika mengucapkan ucapan-ucapan Jalaluddin Rumi, Anda seakan-akan hendak berlutut dan menampakkan ketakberdayaan Anda, padahal yang seharusnya tertanam dan mengakar di pikiran Anda adalah bahwa kita ini pelaksana dari ajaran-ajaran al-Qur’an, sunnah dan hadits-hadits para Maksumin As. Namun Anda justru memperkenalkan para penyair, filosof barat dan timur, selatan dan utara, Nasir Khusru dan para mufasir yang tidak dikenal sebagai orang-orang yang menjadi rujukan pemikiran Anda. Padahal kita seyogyanya mengambil ajaran dan menjadikan hadits-hadits dari para Maksumin As itu sebagai rujukan pertama yang mana tentunya tidak pernah bertentangan dengan al-Qur’an. Imam Baqir As pernah bersabda kepada murid-muridnya bahwa: “Jika saya mengeluarkan sebuah hukum maka hendaklah kalian menanyakannya seperti ini: Ucapan ini ada di surat mana dan ayat berapa?, karena kami tidak akan melontarkan atau mengeluarkan sebuah hukum yang bertentangan dengan al-Qur’an. Namun, ketika statmen-statmen anda bertentangan dengan al-Qur’an, Anda justru mendatangkan saksi-saksi dari para mufasir serta filosof yang mana anda tahu bahwa tidak ada satu pun di antara mereka itu pernah mengeluarkan pernyataan bahwa al-Qur’an itu merupakan hasil dari rekayasa dan produk Nabi Muhammad Saw. Dalam al-Qur’an surat alHâqah ayat 44 Allah Swt berfirman:

“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan perkataan dan perkataan tersebut dia nisbahkan kepada Kami, maka Kami akan mengelurkannya dari risalah dan Kami akan membinasakannya”. (Qs. al-Hâqah [69]: 44)

Kaum Yahudi di era Nabi Musa As pernah berkata: “Musa menyampaikan hasil pemikiran-pemikirannya kepada kita sebagai sebuah syariat dan Taurat Tuhan”; yakni sama seperti ungkapan yang anda katakan bahwa Nabi Musa As itu adalah sebagai agen sekaligus sebagai marketingnya. Dalam bentuk mukjizat Allah Swt meletakkan gunung Thur di atas kepala mereka dan menahannya, kemudian berfirman:” Khuzuu maa atainaakum bi quwwah“; ambillah dengan sungguh-sungguh apa yang telah kami anugerahkan (Taurat) pada kalian. Di sini tidak dikatakan bahwa ambillah apa yang telah Musa berikan pada kalian, akan tetapi dikatakan ambillah apa yang telah kami berikan. Kamilah yang memproduksi Taurat tersebut. (al-Baqarah [2]: 63).

Seseorang yang berpikir tentang ucapan Anda maka dia akan duduk dengan kaki bergetar. Kalau memang pemikiran Anda itu ada benarnya, maka Nabi Saw (nauzubillah) itu adalah seorang pembohong dan suka mengelabui orang. Karena, dia telah menisbahkan pemikirannya itu kepada Allah Swt dan mengatakan bahwa: Allah berkata: katakanlah (Muhammad): Wahyu telah turun kepadaku, katakan wahai (Muhammad): Saya tidak mengatakan sesuatu yang datang dari diri saya sendiri, segala apa yang saya ucapkan itu adalah semata-mata bersumber dari Allah Swt. Di sini beliau Saw mencoba untuk menghindarkan diri dari adanya intervensi pemikiran murni dirinya. Al-Qur’an menyatakan bahwa: “Katakanlah bahwa al-Qur’an itu dibawa oleh malaikat Jibril As dari sisi Allah Swt.” (Qs. an-Nah [16]l: 102).

Al-Qur’an menyatakan bahwa: Nabi Muhammad Saw dengan mata kepalanya sendiri telah melihat dan menyaksikan malaikat Jibril As (maa kaziba al fuadu maa raa); yakni hatinya tidak bisa mengingkari apa yang telah beliau Saw saksikan dan lihat sendiri. Misalnya anda memandang ke matahari dan menyaksikannya dalam bentuk yang sangat kecil sebesar lingkaran tablet, namun hati anda tidak mempercayai apa yang telah disaksikan oleh mata anda, karena matahari tersebut jutaan kali lebih besar dari pada bumi, akan tetapi ketika saya menyaksikan dan melihat Mr. Soroush di depan saya, hati dan mata saya akan mengatakan benar apa yang saya saksikan. Contohnya anda pergi membeli kulkas dan anda melihatnya di depan anda sendiri dan hati anda juga tidak memungkiri penyaksian ini, karena Anda melihat kulkas tersebut dan sekarang Anda tidak bisa mengatakan saya sedang berpikir kalau Saya sedang menyaksikan dan menonton Jendral Dougle. Anda tidak sedang melihat kulkas tersebut. Al-Qur’an menyatakan bahwa: “Nabi Muhammad Saw menyaksikan dan melihat dengan betul-betul malaikat Jibril As”. Nah, sekarang Anda mengatakan sesuatu hal yang jelas-jelas bertentangan dengan al-Qur’an: “Nabi itu menyaksikan dengan khayalan dan dhamirnya (hati) dan dia telah memproduksi al-Qur’an”, bukankah hal ini merupakan statmen yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip yang telah tertetapkan itu?

Solusi untuk Sebuah Ambiguitas

Ayatullah Ja’far Subhani sangat menghormati Anda karena telah banyak menyumbangkan tulisan-tulisan termasuk di antaranya adalah buku filsafat Nahâd-e Nâ Arâm, lalu kenapa Anda menjaga jarak dan bahkan meninggalkan Islam dan al-Qur’an. Saya hendak menyampaikan suatu hal bahwa gelar filosof, penguasaan atas syair-syair Maulawi dan menulis buku filsafat Nahâd-e Nâ Arâm tidak bisa menjadi dalil bahwa manusia itu juga pasti mampu menafsirkan al-Qur’an.

Tafsir merupakan sebuah disiplin ilmu tersendiri. Al-Qur’an memiliki bahasa tersendiri yang mana dimulai dari penerjemahan dan pengenalan dengan baik atas bahasa-bahasa dan kaidah-kaidah yang digunakannya. Saya melihat salah satu rekan sepemikiran anda melontarkan statmen-statmen –untuk mendukung anda– yang substansinya sama seperti statmen anda dan itu semua merupakan konklusi-konklusi yang salah dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an. Dan menjawab syubhat-syubhat semacam ini merupakan hal yang sia-sia dan tidak berguna. Karena, dia atau setiap orang yang tidak memiliki informasi dan pengetahuan atas bahasa al-Qur’an harus menelaah sebuah tafsir secara sempurna dan konprehensip dan kemudian dia juga hendaknya mendatangi serta belajar dari seorang ulama dan pakar dalam bidang tafsir al-Qur’an, supaya syubhat-syubhat hasil interpretasinya bisa terfilterisasi dan dia akan lebih berhati-hati dalam melontarkan teori-teorinya atas al-Qur’an. Karena, filsafat, sya’ir, ilmu kimia itu berbeda dengan ma’arif al-Qur’an. Akan tetapi, untuk memahami al-Qur’an dibutuhkan kesucian hati dan cahaya iman dan barangsiapa yang sukses dalam kedua aspek ini, maka dia akan bisa lebih banyak mengambil manfaat darinya (al-Qur’an). Allah Swt tidak pernah menyatakan dalam al-Qur’an bahwa barangsiapa yang mengetahui ilmu dan filsafat maka saya akan menghidayahinya. Pada prinsipnya, hidayah Ilahi itu tertanam dan tumbuh di dalam hati, jiwa dan kecenderungan insan dan itu semua hanya berada di tangan Allah Swt. Allah Swt berfirman: Aku hanya menghidayahi orang-orang yang memiliki ketawadhuan dan penghambaan; “Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (Qs. al-Baqarah [2]: 21). Dan juga dalam surat al-Hujurat ayat 7 –berkaitan dengan hal ini– dinyatakan bahwa: “Dan ketahuilah olehmu bahwa dikalangan kamu ada Rasulullah Saw. Kalau ia menuruti kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan, tetapi Allah Swt menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus”.

Memperoleh hidayah Tuhan itu sangatlah mudah dan setiap saat semua orang bisa mendapatkannya dan hal itu bermakna bahwa anda harus memasrahkan diri untuk berada dalam rangkulan Allah Swt dan mengatakan: Wahai Tuhanku! Aku sedang mencari ridha-Mu, maka ketika itu juga anda akan menyaksikan bahwa Allah Swt akan mengabulkan taubatmu dan segera cahaya akan menerangi jiwamu dan Anda akan tenggelam dalam kenikmatan memerangi hawa nafsu, rasa sombong dan lain sebagainya. Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa: “Allah Swt akan menghidayahi dengan al-Qur’an seseorang yang memerangi hawa nafsunya dan mencari ridha Allah Swt semata dan Allah Swt akan mengeluarkan mereka itu dari kegelapan (kesesatan)” (Qs. al-Maidah [5]: 16). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ada dua unsur penting, pertama yaitu ilmu dan pengetahuan terhadap al-Qur’an (Ilmu Tafsir), kedua adalah tazkiyah nafs (penyucian hati) dan mencari ridha dan penghambaan diri kepada Allah Swt dan hal yang sangat berpengaruh dan mencipatakan perubahan besar atas unsur internal manusia adalah bagian yang kedua tersebut. Al-Qur’an menyatakan bahwa:“…dan bertaqwalah kepada Allah Swt dan Allah Swt akan mengajarmu…” (Qs. al-Baqarah [2]: 282).

Hendaklah saya dan Anda mendidik nafsu dan jiwa dari menjauhi kesombongan dan kedurhakaan. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ilmu itu ada dan terwujud setelah ketaqwaan itu ada, ilmu dan taqwa akan menjadi stimulasi bagi munculnya hidayah tersebut.