Perintah untuk Menjadi Pribadi ‘Egois’ Demi Keselamatan Diri

Mengesampingkan mereka yang memprioritaskan viewer
Dalam lini masa media sosial Indonesia ketika ada artis non muslim hijrah menjadi seorang muslim maka dengan cepat akan menjadi viral. Semua serentak membicarakan bahwa si A sudah memeluk agama Islam. Berita viral yang diiringi pujian oleh kalangan umat islam dan bisa juga disertai cercaan kawan-kawan penganut agama sebelumnya. Ada juga pihak-pihak yang bersikap netral, tidak memuji tidak juga mencaci.
Berbagai sudut dikupas tuntas pagi siang dan sore, dari mengapa pindah agama, bagaimana prosesnya, apa yang membuatnya tertarik, siapa yang mengajari dan lain-lain. Menjadi menu pro kontra dalam satu dua hari kehidupan dunia maya.
Ketika ada artis memakai kerudung, lini masa pun sama, serentak mengangkat berita itu guna mengumpulkan lebih banyak viewer. Menaikkan rating media sosial mereka. Terlalu memperdulikan masalah-masalah seperti ini tidak terlalu membawa manfaat, bahkan cenderung membuang-buang waktu kita yang sangat berharga.
Hidayah itu bertingkat-tingkat sebagaimana keislaman dan juga keimanan
Sebenarnya hidayah bertingkat-tingkat. Kita tidak terlalu perlu heboh ketika ada artis masuk islam atau memakai hijab. Hidayah itu bertingkat-tingkat inilah mengapa dalam shalat masing-masing dari kita berulang-ulang membaca ihdinas shirathal mustaqiim. Ya Allah beri hidayahlah kami sehingga kami mendapat kesempatan berada di shirathal mustaqim, jalan yang engkau ridhai. Artis masuk islam atau memakai hijab belum tentu dalam lingkup hidayah yang dimaksud dalam ihdinas shirathal mustaqim. Terlalu tergesa-gesa kalau kita menghukumi seperti itu. Biarkan saja mereka berubah sacara natural, ada hal yang jauh lebih penting dalam masalah hidayah, yaitu naik turunnya kedudukan hidayah yang dimiliki pribadi kita.
Belajar dari Orang-orang besar
Ihdinas shirathal mustaqiim juga merupakan doa dari ayat dalam surat fatihah yang dibaca Nabi Muhammad saw, Imam dan para ulama setiap menjalankan shalat. Mereka senantiasa berdoa meminta hidayah padahal kedudukan mereka sangat tinggi.
Ketika para nabi juga senantiasa berdoa meminta hidayah hal ini menjelaskan kepada kita bahwa hidayah itu bertingkat-tingkat. Nabi Muhammad Saw memiliki kedudukan keimanan dan keislaman paling tinggi, dengan doa ini bisa kita terjemahkan bahwa beliau meminta agar beliau tetap dalam posisi itu, posisi tertinggi karena beliau tuntas dan paling sempurna dalam menghamba kepada Allah Swt. Kita pun ketika berdoa andai kita sudah ada di shirathal mustaqim maka minimal kita tetap berada disana, tidak kemudian dibuang dan disingkirkan karena khilaf yang kita lakukan. Harapan asli adalah agar keimanan, keislaman kita meningkat. Memiliki pribadi dengan kedudukan yang lebih tinggi dan lebih dekat kepada Allah Swt.
Lebih mengutamakan perhatian pada perkembangan kedudukan diri
Jadi kita semestinya lebih fokus pada diri kita, melihat kedudukan kita dihadapan Allah sudah sampai mana, prestasi kita sebagai hamba Allah sudah seperti apa, hal ini jauh lebih bermanfaat dibanding mengurusi keluar masuknya islam orang lain, memakai atau lepasnya hijab seorang artis, sebuah sekolah mewajibkan siswi-siswinya memakaji hijab dan semacamnya.
Alquran pun mengisyaratkan agar pertama kita mengurusi diri kita. Allah Swt memerintahkan Ku anfussakum jagalah diri kalian. Baru kemudian disuruh mengurusi keluarga kita, yaitu setelah tuntas dengan diri kita baru kita diberi perintah wa ahlikum naro.
Sebenarnya perintah ini yang sangat tepat. Salah satu Imam menasihati kita untuk mengajak orang lain dalam kebaikan bukan dengan ajakan lisan (atau tulisan) tapi mengajak dengan memberikan contoh riil perbuatan. Hal ini juga dapat kita lihat dalam kejadian dimana Imam Ali as dan keluarga beliau yakni Fatimah binti Nabi, Hasan bin Ali, dan Husain bin Ali tiga hari berpuasa dan hanya berbuka dan sahur dengan air putih, dalam kejadian ini tidak ada kata perintah dari Imam Ali kepada istrinya untuk memberikan roti, ataupun perintah yang sama kepada dua putra beliau. Beliau cukup memberi contoh dengan memberikan roti jatah beliau kepada pengemis, tahanan dan faqir yang datang kerumah. Masing-masing dari anggota keluarga yakni istri dan anak beliau secara mandiri memberikan juga jatah roti mereka. Ini adalah contoh nyata dari berdakwah dengan perbuatan secara langsung bukan berupa ajakan untuk berbuat baik dengan ajakan kata-kata semata, apalagi dengan memberi perintah. Imam Ali menuntaskan taklif beliau sebagai pribadi, keluarga beliau mencontoh akhlak beliau dan turut menuntaskan taklif masing-masing.
Mengurus diri sendiri juga senada dengan masa-masa ketika kita sudah meninggal nanti, semua harus kita hadapi sendirian, kita hadapi dengan amal perbuatan yang sudah kita lakukan. Walau disebutkan bahwa amalan baik akan membantu dan menolong kita, dan amalan buruk akan merepotkan dan mengganggu, kita harus ingat, itu semua adalah amal perbuatan kita yang dihitung secara personal, secara mandiri kita lakukan. Bukan perbuatan yang dilakukan orang tua kita, adik kakak kita, atau istri dan anak kita. Semua adalah yang secara sendiri sudah kita lakukan semasa menjalani kehidupan di dunia fana.