Kesucian Para Nabi


Pembahasan kesucian para nabi termasuk pembahasan utama dalam kajian teologis setelah pembahasan tauhid, keadilan Ilahi. Konsekuensi dari keadilan Tuhan, di samping menurunkan kitab adalah mengutus para nabi yang mengawal dan memapaparkan (tabyin) kandungan kitab tersebut serta menjadi pelaku operasional-visual ajaran-ajaran kitab samawi tersebut. Kajian kita kali ini adalah membahasa masalah ishmah (kesucian, terbebas dari kesalahan dalam ilmu dan amal) para nabi. Serentetan pertanyaan-pertanyaan berikut ini segera muncul di kepala, Apakah kesucian itu? Apakah kesucian para nabi itu memiliki ragam dan tingkatan? Apakah akal menghukumi bahwa di samping kitab-kitab suci harus kudus dan suci, demikian juga para pembawanya? Apakah setelah membuktikan bahwa para nabi itu suci , apakah kesucian yang dimiliki itu dapat diperoleh oleh manusia selainnya? Apakah ishmah atau kesucian itu merupakan sesuatu anugerah Tuhan yang bersifat determinis atau ikhtiari? Dengan menelaah tulisan ini dengan baik, Anda akan memperoleh jawaban yang memuaskan akal dan jiwa Anda.

Pertama-tama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial di atas, terlebih dahulu mari kita bedah makna leksikal dari redaksi ishmah (kesucian) ini. Ishmah (infallibel) dalam kamus bahasa Arab bermakna kesucian, tak terkotori dengan dosa, dan terpelihara dari perbuatan dosa dari awal keberadaannya hingga diakhir usianya. Ishmah para nabi dalam peristilahan al-Qur’an ibaratnya adalah memiliki kekhususan-kekhususan berikut ini:

Terjaga dan terpelihara dari dimensi kebersihan substansi dan dzat.

1. Memiliki keutamaan-keutamaan yang istimewa dari segi kejiwaan dan fisik jasmani.
2. Diperkuat dengan pertolongan dan kemantapan langkah dalam mencapai tujuan.
3. Diturunkan kepada mereka ketenangan dan sakinah.
4. Terjaga dari distorsi dan khilaf.
5. Diberi taufik untuk merealisasikan tugas dan risalah kenabian.[1]

Untuk memenuhi kesempurnaan pembahasan tentang masalah ishmah ini maka kami akan berusaha meninjaunya dalam berbagai sisi dan dimensi yang berkenaan dengannya:



Definisi Ishmah

Ishmah secara teknis bermakna malakah nafsâni yang sangat kuat yang senantiasa hadir dan memanifestasi dalam wujud manusia maksum dan tak satupun potensi (kekuatan) -seperti marah, syahwat dan lainnya- yang dapat menjadi penyebab hilangnya. Ishmah tidak seperti adâlah (keadilan) dan keduanya minimal berbeda dalam beberapa hal:

Pertama: Secara gradasi eksistensi; tingkatan wujud adâlah adalah lebih lemah dan lebih rendah dari tingkatan wujud ishmah. Orang-orang adil, terkadang (meskipun dengan susah) terjebak melakukan dosa dan jatuh dalam jeratan setan -dimana orang-orang yang tidak adil dengan mudahnya melakukan dosa-, akan tetapi ishmah adalah malakah wujud yang berintensitas tinggi yang selamanya tak akan terkalahkan oleh cengkeraman syahwat dan gadhab serta setan tak akan mendekat pada wilayah penjagaannya.

Kedua: Lupa dan lalai tidak bertentangan dengan adâlah (keadilan). Berdasarkan ini, terkadang seorang yang adil dikarenakan kesalahan atau kelalaian, dia menggunakan harta seseorang; akan tetapi perkara yang disebutkan itu bertentangan dengan malakah (kepemilikan, penguasaan inheren) ishmah, dan seorang yang maksum tidak akan pernah terpeleset pada kealpaan, kelupaan, dan kelalaian.

Ketiga: Adâlah tergolong dari tipe malakah amal, bukan dari tipe malakah ilmu. Secara asas adâlah tidak mempunyai jalan dalam malakah-malakah ilmu dan seorang yang adil belum tentu mengetahui semua perkara, karena itu bisa saja ia salah dalam pengetahuan dan makrifatnya; misalnya dua marja taqlid adil adalah mungkin mengeluarkan fatwa dalam suatu masalah dengan dua fatwa yang saling bertentangan satu dengan lainnya dan kita mengetahui bahwa pasti salah satu dari dua fatwa itu adalah salah; akan tetapi kesalahan ini tidak berdampak terhadap keadilannya.

Namun demikian, keadilan tentu saja seperti ketakwaan dan keutamaan-keutamaan amali lainnya tidak berarti tanpa efek dan pengaruh dalam wilayah pemikiran yang benar dan sahih, akan tetapi malakah ishmah melebihi semua mereka itu, karena dia ini hadir baik dalam akal teoritis maupun dalam akal praktis; hal ini dikarenakan ilmu seorang yang maksum adalah syuhudi serta huduri, bukan komprehensi serta husuli. Yakni seorang maksum akan senantiasa terjaga dari kesalahan baik dalam wilayah ilmu dan pengetahuan maupun dalam wilayah amal dan kecenderungan; sebagaimana hal ini akan dikupas lebih jauh nantinya.



Ragam dan Macam Ishmah

Terdapat dua macam ishmah; ishmah ilmu dan ishmah amal. Kedua macam ishmah ini secara dzat dan hakikat menerima pemisahan satu dengan lainnya. Mungkin saja seseorang adalah maksum dalam malakah ilmu, tetapi dalam malakah amal dia tidak maksum dan sebaliknya. Akan tetapi ishmah para nabi As meliputi kedua macam ishmah tersebut dan mereka adalah maksum dalam ilmu dan amal. Yakni, baik amal dan perbuatan mereka adalah saleh dan sesuai dengan realitas maupun ilmu dan makrifat mereka sahih dan bersumber dari suatu mabda yang sama sekali tidak dapat dimasuki kesalahan, kealpaan, dan kelupaan terhadapnya.

Yakni sebagaimana manusia dalam wilayah penginderaan mempunyai dua potensi persepsi dan gerak, dalam wilayah nafs (jiwa) juga seperti itu. Sebagian dari dimensi nafs bertugas dalam ruang lingkup ilmu dan sebagian lainnya bertugas dalam ruang lingkup amal. Misalnya dalam wilayah indera, mata dan telinga yang dengannya kita melihat dan mendengar, keduanya merupakan alat dan media paham, tetapi tangan dan kaki merupakan alat-alat penggerak; yakni tangan dan kaki tidak menjadi alat untuk memahami sesuatu. Oleh karena itu, dalam pembagian awal akan terkonsepsi empat macam kondisi; potensi persepsi dan gerak dimana setiap keduanya adalah kuat atau keduanya adalah lemah, atau potensi persepsi kuat dan potensi gerak lemah atau sebaliknya.

Nafs juga seperti itu; yakni pertama, sebagian dari dimensi nafs bertugas dalam aspek pemahaman dan persepsi dan sebagian lainnya bertugas dalam pengambilan keputusan, azm, iradah, dan amal. Kedua, sebagaimana empat kondisi sebelumnya di atas terkonsepsi (dalam wilayah indera) maka di sini juga (wilayah jiwa) berlaku demikian.

Sekelompok orang dalam dimensi persepsi dan konsepsi (ilmu dan makrifat) sangat tajam pikirannya, kuat pemahamannya, dan mempunyai potensi yang sangat bagus, dan pada dimensi amal juga ahli dalam mengambil keputusan, ber-iradah kuat, serta pemilik azm (dalam ilmu fiqih dan akhlak, terkadang pembicaraan tentang niat, iman, dan ikhlas, dan terkadang juga tentang ijtihad, istinbath, dan daya tangkap serta paham yang bagus, ini semua menunjukkan aspek amal dan ilmu dari nafs). Sebagian orang juga dalam bagian ilmu, punya daya tangkap yang sangat lamban dan dalam bagian amal, ber-iradah lemah dan tidak punya azm. Kelompok ketiga orang-orang yang dalam dimensi ilmu adalah kuat, tetapi dalam maqam amal mudah terpeleset dan tergelincir. Kelompok terakhir orang-orang yang dalam dimensi ilmu mempunyai daya paham yang lemah, tetapi dalam aspek amal sangat konsisten dan serius; seperti orang-orang jahil yang sangat mementingkan pengamalan dan setiap apa yang dikatakan pada mereka, mereka mengamalkannya tanpa mengetahui apa (natijah dan resiko) yang dilakukannya; sebagaimana kaum Khawarij yang nampak bekas sujud di dahinya (karena banyak melakukan amalan shalat), tetapi mereka bangkit memerangi al-Qur’an Natiq (Amirul Mukminin Ali As).

Setiap orang yang sampai pada maqam ishmah ilmu maka ia telah menemukan jalan kepada tingkatan akal mujarrad, syuhud murni, dan kasyf sahih (penyingkapan benar) dimana dalam tahap ini, ilusi dan khayal keduanya mengikuti akal dan mereka bekerja berdasarkan kepemimpinan akal. Karena itu, dalam tahap ini was-was setan sama sekali tidak punya jalan; sebab tingkatan iblis hanya sampai pada tajarrud (ke-non-materian) wahm (ilusi) dan khayâl (imajinasi), yakni tingkatan yang lebih rendah daripada tingkatan akal murni. Tingkatan akal murni, adalah maqam ikhlas ilmu dan syuhud. Seorang yang sampai pada kedudukan ini, dia tergolong dari orang-orang mukhlas dan setan tidak akan bisa menjangkau pemikirannya, mengganggu pandangan dunianya, dan memasukkan padanya mugâlatah dan fallacy.

Orang yang sampai pada tingkatan ikhlas sempurna dan akal mujarrad, pengajarnya adalah Tuhan dan dia telah mendapatkan ilmu sejati yang mana di dalamnya tak tercampuri dengan kebatilan serta tidak akan didatangi kealpaan dan kelupaan : “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali atas perintah Tuhanmu. Milik-Nya segala yang ada di hadapan kita, yang ada di belakang kita, dan segala yang ada di antara keduanya, dan Tuhanmu tidak lupa.” (Q.S. Maryam [19] : 64)

Berdasarkan ini maka tipuan dan jebakan setan tidak akan berefek dan berpengaruh terhadap temuan-temuan rasional, nurani, syuhud, dan kasyf orang-orang yang maksum.

Demikian pula orang yang sampai pada tonggak kemaksuman amal, dia tidak akan mungkin secara sengaja melakukan kesalahan (khilaf dari taklif) dan tidak akan mengarah dan menuju padanya dikarenakan ketidaktahuan, sahwan, dan kelupaan. Maqam tinggi ini diperuntukkan bagi orang yang telah sampai dan berhasil meraih puncak keagungan dan kebesaran ikhlas. Dan orang-orang seperti ini tidak akan tersentuh lagi oleh dua kekuatan membakar syahwat dan ghadhab (marah); sebab seluruh kekuatan penggerak dan amalnya telah distabilkan di bawah kontrol hidayah serta perlindungan akal amalinya.

Ishmah para nabi As, adalah puncak tertinggi daripada takwa dan ishmah ini bergantung atas ishmah amal dan ishmah ilmu atau nazhari; tetapi ishmah nazhari dan ilmu mereka tidak bergantung atas ishmah amal; yakni secara afirmatif dimungkinkan terpisahkan. Misalnya mungkin saja seseorang yang memiliki keadilan –dimana dalam hal perujukan fatwa-fatwa adalah muktabar- juga telah sampai pada malakah ishmah ilmu. Akan tetapi dalam masalah pencapaian ishmah kubrâ yang merupakan saham bagi para nabi As, tidak mungkin tanpa disertai ishmah amal.

Oleh karena itu, para nabi As dan para imam As dalam perkara iradah, niat, pengambilan keputusan, azm, ikhlas, takwa, loyalitas, dan non-loyalitas adalah maksum dan mereka tidak akan mungkin melakukan perbuatan khilaf. Mereka tidak akan terjebak kepada perbuatan khilaf, mereka juga tidak akan didatangi lalai dan lupa. Mereka tidak pernah takut serta gentar dan mereka tidak akan pernah mengitari kemaksiatan. Oleh karena itu, mereka baik dalam keyakinan ilmu dan teoritis terjaga dari terpaan kebodohan, kelupaan, kelalaian, dan mughalatah (fallacy), maupun dalam keputusan amal terpelihara dari godaan syahwat dan dorongan marah.



Kemungkinan Mendapatkan Ishmah

Sebagian beranggapan bahwa ishmah hanya merupakan maqam khusus para malaikat, dan manusia dikarenakan mempunyai syahwat dan ghadhab serta senantiasa berada dalam kisaran lalai, alpa, dan lupa maka tidak akan mampu mendapatkan kemaksuman. Menurut perkataan Ahmad Amin: Ishmah dengan tabiat manusia tidaklah singkron; sebab manusia mempunyai kekuatan syahwat dan marah, dan jika kecenderungan kejiwaan itu diambil dari mereka maka sama saja kita telah mengambil insaniyah (kemanusiaan) dari mereka serta kita telah mengganti tabiat mereka dengan tabiat yang lain.[2]

Oleh karena itu, bagaimana mungkin manusia mampu sampai pada basis malakah ilmu dan amal dimana mereka akan terjaga dari sifat-sifat buruk?

Akan tetapi anggapan ini tidak sesuai dengan realitas, sebab pada dasarnya substansi manusia dan jiwa natiqnya sedemikian rupa diciptakan dimana mempunyai kemampuan mikraj sampai pada puncak tertinggi ishmah. Lantaran nafs insan dalam qaus shu’ud (gerak menaik, busur atas), dengan perantaraan gerak substansial akan menemukan kesempurnaan dan dari kondisi potensial akan berubah menjadi kondisi aktual. Yakni nafs manusia mempunyai kemampuan untuk menemukan kondisi dimana dia akan terjaga dari berbagai terpaan kelalaian, kejahilan, kealpaan, dan kelupaan. Sebab pada dasarnya penyemi daripada kejahilan, ilusinasi, dan imajinasi negatif hanya dikarenakan faktor potensi wahm (imajinasi) dan khiyâl (khayal) dan ruang lingkup dari kedua potensi ini tidak lain hanyalah kebergantungan terhadap alam tabiat. Adapun ruang lingkup akal murni yang merupakan sumber makrifat sejati tidak akan tersentuh oleh setan wahm dan khiyâl. Oleh karena itu, apa saja yang mengalir dari akal murni dan menghasilkan makrifat, semuanya adalah hak dan benar, sehingga tidak ada tersisa sama sekali ruangan untuk keraguan, kelupaan, dan kejahilan.

Merupakan hal yang jelas bahwa keraguan itu sendiri muncul dikarenakan adanya minimal dua persepsi dan konsepsi dan seseorang dalam menentukan salah satu dari mereka berada dalam kondisi ketidak pastian. Jika kita memasuki sebuah perpustakaan dan di situ terdapat kitab al-Qur’an dan bukan al-Qur’an dan kita menengok dari jauh pada salah satu dari kedua kitab itu dan kita tidak dapat membedakan mana di antara keduanya adalah kitab al-Qur’an maka kita saat itu masuk dalam pusaran keraguan. Akan tetapi jika kita memasuki sebuah perpustakaan dimana seluruh kitab-kitab yang dimilikinya adalah al-Qur’an dan kita memandang dari jauh terhadap mereka, apa saja yang kita saksikan, kita yakin bahwa itu adalah al-Qur’an. Karena itu, keraguan dalam konteks ini tidak tersisa tempat baginya.

Berdasarkan ini, pada sebagian dari atmosfir alam kewujudan, terdapat hak dan batil. Dalam alam materi dan ruang lingkup indra, khiyal dan wahm, apa saja yang dilihat, didengar, dan dirasakan manusia terbuka ruang keraguan atasnya dan bisa dipertanyakan: apakah hak atau benar yang didengar, dilihat, dan dirasakan ataukah batil dan tidak benar. Adapun jika nafs naik melampaui wahm dan khiyal serta berada di atas alam keduanya dan menemukan jalan masuk pada istana suci akal murni dan syuhud sempurna serta kasyf sahih maka apa saja yang terlihat dan terdengar di situ, semuanya adalah hak, nyata, hakikat, dan benar. Lantaran di situ bukan lagi medan wujud batil dan ketidakbenaran.

Jika seseorang dari jalan ‘illah qâbily (faktor penerima) berada dalam kapasitas melampaui alam materi, imajinasi, dan khayal dan sampai pada sumber segala hakikat dan realitas maka ishmah terbuka baginya dan nafs natiqiahnya dikarenakan mencapai kekuatan dan keluasan eksistensial maka dia akan berada setingkat dengan para malaikat, dan bahkan terkadang malaikat muqarrib sendiri berhenti menyertai kenaikannya.

Sekelompok dari ulama –seperti para teolog- berdasarkan illah fâ’ily (sebab pelaku) mengkonstruksi burhan untuk ishmah. Menurut mereka: Tuhan yang Maha Bijak, berdasarkan hikmah dan kebijaksanaan-Nya dalam menghidayahi spesis (umat) manusia mengutus nabi-nabi dan Dia menegaskan dan menguatkan mereka dengan mukjizat, serta niscaya Dia membekali mereka ishmah sehingga dalam menjalankan tugas berat menyampaikan risalah, tidak menemukan kelalaian, kelupaan, sahwan, dan kegentaran. Karena apabila mereka tidak maksum dalam menghadapi sifat-sifat tersebut maka masyarakat tidak bersandar pada mereka dan akan memungkinkan terjadinya kesalahan dan kelalaian dalam penyampaian pesan Tuhan. Natijahnya adalah timbul naqdh gharadh (Kontra dari maksud atau lawan dan kebalikan dari tujuan).

Pembahasan tentang ishmah dan pengkajian atasnya dari tinjauan illah qâbily dan illah fâ’ily (efficient cause) dari satu sisi, serta kaum sosiolog dari sisi lainnya, masih berkelanjutan dan mudah-mudahan kita berkesempatan untuk membahasnya secara lebih luas pada topik bahasan akan datang.



Kemungkinan Pembuktian Ishmah Para Nabi As

Kemungkinan penetapan ishmah para nabi As –disamping matlab-matlab yang diuraikan di atas- membutuhkan beberapa perkara mendasar, dan berikut ini kami akan menjelaskan hal itu:

a. Tauhid; Dalam pembahasan yang berkenaan dengannya telah ditetapkan secara argumentatif bahwa Tuhan adalah eksistensi murni, Dia dalam maqam dzat lepas dari setiap bentuk tasybih dan tanzih, dan di situ tidak ada sama sekali jalan bagi nama, konsepsi, dan sifat; sagaimana penamaan dengan maqam dzat itu sendiri juga dikarenakan ketiadaan lafazh yang sesuai.

Dalam maqam tersebut, konsepsi sekutu dan setara sama sekali adalah mustahil; sebab keluasan absolut eksistensial-Nya tidak akan menyisakan lagi ruang dan tempat bagi yang lain dan Dia memiliki seluruh kesempurnaan-kesempurnaan dan Dia adalah seluruh kesempurnaan. Seluruh wujud dari-Nya dan Dia adalah wujud murni serta basith al-hakikah, dan seluruh kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial itu sendiri merupakan dzat-Nya itu sendiri.

Kendatipun mengenal kunh (hakikat) dari wujud demikian ini adalah mustahil, akan tetapi dengan kadar kapasitas eksistensi dan akal, Dia dapat dikenali sekadarnya; sebab seluruh maujud-maujud kontingen bergantung kepada-Nya dan tegak atas-Nya, sementara pengenalan terhadap maujud-maujud kontingen meniscayakan penyertaan pengenalan terhadap penegaknya (muqawwim). Yakni dari aspek pengenalan yang ditegakkan oleh penegaknya, sebagaimana dalam analisa komprehensi dan mahiyah sesuatu, pengenalan setiap sesuatu dengan perantara pengenalan pada penegak komprehensi atau mahiyah sesuatu tersebut (genus dan difrensia) maka pengenalan huduri setiap sesuatu juga dengan perantara makrifat pada penegak (constituent) eksistensialnya.

Kadar pengenalan ini tidak hanya mungkin, tetapi bahkan daruri. Yakni sesuatu yang sangat jelas bahwa maujud-maujud kontingen mempunyai hubungan eksistensial dengan eksistensi murni.

Berasaskan ini, apa yang menyampaikan manusia pada kadar pengetahuan ini, baik itu burhan ataukah syuhud, mempunyai nilai validitas dan kesahihan; sebab jika tidak maka dalam menghadapi ayat-ayat al-Qur’an seperti; “(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy” (Q.S. Taha [20] : 5) niscaya akan menjatuhkannya pada lembah kejumudan dan pemikiran antrophormisme, sedangkan bentuk pemikiran seperti ini sangat jelas bertentangan dengan argumen rasional dan kasyf irfani.

b. Pengenalan manusia tentang dirinya; Dalam masalah pengenalan manusia terhadap hakikat dirinya terdapat beberapa poin yang urgen dan perlu diketahui:

- Manusia adalah suatu maujud kontingen yang mempunyai esensi dan eksistensi.

- Masing-masing dari mahiyah dan wujud manusia mempunyai sifat mungkin khusus sendiri-sendiri.

- Kehakikian manusia terbangun dari ruh mujarrad.

- Ruh manusia disifati dengan imkan faqri dan wujudi, bahkan ia faqr (kefakiran) dan rabt (kebergantungan) itu sendiri.

- Kendatipun ruh mujarrad manusia –yakni dimensi eksistensialnya- tidak terbungkus mahiyah, akan tetapi dalam nisbahnya dengan dzat Hak Ta’ala mempunyai jarak yang tidak terbatas; sebagai permisalan dari hal yang rasional kepada hal yang terinderai, ibarat bayang matahari dengan matahari itu sendiri betapa keduanya mempunyai jarak yang sangat jauh. Kebayangan ini adalah esensialitas daripada ruh manusia.

Pada hakikatnya segala sesuatu secara dzat adalah zhill (bayangan) Ilahi dan mereka ini juga mempunyai tingkatan-tingkatan. Mahiyah dengan perantara wujud menjadi zhill Tuhan dan badan dengan perntara ruh menjadi zhill-Nya. Pembagian hijab-hijab dengan gelap dan terang timbul dikarenakan perbedaan bayang-bayang kematerian dan ke-non-materian. Kekhususan materi badan dari segi kemampuan menerima dan mendapatkan emanasi ruh bukannya tidak berperan (dalam terbentuknya badan); sebagaimana seluruh kesempurnaan-kesempurnaan aktual badan dari segi ia menjadi sumber aktivitas dikarenakan kedekatannya dengan ruh. Sebagian dari ruh jatuh ke arah naqsh (kekurangan) dan sebagian lainnya juga memperoleh saham dari kenaikan serta menyempurna.

Ruh mujarrad yang merupakan sisi asli daripada manusia memiliki dimensi keeksistensian, sementara prinsip kehakikian eksistensi menyatakan bahwa eksistensi bukanlah dari tipe kuiditas; bahkan ia berhadapan dengan kuiditas serta mempunyai tingkatan-tingkatan (bergradasi) dalam intensitas kuat dan lemah. Jadi dalam hal ini ruh manusia menjadi salah satu (tingkatan) dari tingkatan-tingkatan eksistensi tersebut. Berasaskan gerak substansial, wujud berintensitas lemah mengarah pada perolehan intensitas kuat hingga sampai pada ke-non-materian sempurna dan menjadi tetap. Dengan demikian memungkinkan kenaikan sebagian dari ruh hingga mencapai puncak tertinggi kesempurnaan eksistensial. Dan seseorang yang mencapai puncak tinggi wilayah, ishmah, kenabian, dan khilafah, hakikatnya ia telah mencapai ke-non-materian sempurna dan orang yang berada dalam maqam tinggi ini, tidak ada jalan kelalaian, kelupaan, kealpaan, dan ketergelinciran baginya. Dengan demikian para nabi yang niscaya telah mencapai maqam tinggi ini tidak mungkin dimasuki oleh kesalahan, kelalaian, dan kealpaan.



Tingkatan-tingkatan Ishmah

Sebelumnya telah diisyaratkan bahwa malakah ishmah, ketika telah sampai pada batas perhitungan yang mesti –yakni telah mendapatkan kesempurnaan akal teoritis dan praktis- maka ia akan mencegah jiwa manusia dari segala bentuk kecenderungan-kecenderungan yang tercela, tak terpuji, tak layak, dan tak berharga.

Malakah ishmah mempunya derajat dan tingkatan, sebagaimana nubuwah, imamah, risalah, dan khilafah memiliki tingkatan-tingkatan. Al-Qur’an dalam hal ini menyatakan: “Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka dari sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang (langsung) Allah berfirman dengannya dan sebagian lagi ada yang ditinggikan-Nya beberapa derajat” (Q.S. al-Baqarah [2] : 253) dan di tempat lain menyatakan: “Dan sungguh, Kami telah memberikan kelebihan kepada sebagian nabi-nabi atas sebagian (yang lain), dan Kami berikan Zabur kepada Dawud”. (Q.S. al-Isra’ [17] : 55)

Oleh karena itu, sebagaimana nubuwah dan risalah mempunyai derajat dan tingkatan, derajat ishmah para nabi juga memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda; meskipun semua mereka adalah maksum.

Para nabi ulul azmi berada dalam derajat yang lebih tinggi dari ishmah nabi lainnya. Derajat nabi yang lebih tinggi akan menyebabkan orang yang dalam derajat lebih rendah darinya memandang dirinya pendosa dibandingkan dengannya; padahal dia pada hakikatnya tidak pernah sedikitpun mengerjakan dosa hatta dosa kecil; sebagaimana diriwayatkan: kebaikan abrâr adalah keburukan muqarrabîn[3]. Yakni seorang nabi yang melihat dirinya dalam suatu tingkatan dimana dibanding dengan tingkatan para nabi ulul azmi adalah kurang, tentu saja dia mengukur mereka itu sempurna dibandingkan dengan dirinya. Berdasarkan ini, dia meratap dan berkata: Rahmatilah hamba-Mu yang jahil (ini)[4]; padahal dia sendiri sebenarnya adalah manusia besar dan maksum.

Manusia biasa (maksudnya bukan nabi dan wali Tuhan), ketika dalam munajat mengatakan: Rahmatilah hamba-Mu yang jahil, kenyataan dia adalah jahil dan sangat banyak makrifat yang tidak diketahuinya, akan tetapi ketika nabi agung Islam Saw yang merupakan pribadi sempurna dan paling utamanya manusia –yang di sisi Tuhan telah sampai pada maqam …dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui… Q.S. an-Nisa [45] : 113- mempunyai munajat seperti ini, maka jelas bahwasanya dia melihat dirinya di sisi Dzat maha Suci Tuhan dan dalam berhadapan dengan-Nya memandang dirinya adalah jahil dan pendosa; sebab segala bentuk aib dan kekurangan dari sudut pandang ini akan terhitung sebagai dzunub.



Ketakterbatasan Ishmah (Ishmah tidak dibatasi bagi orang-orang tertentu saja)

Malakah ishmah bukanlah sesuatu yang dzati dan terbatas untuk orang-orang tertentu saja; akan tetapi ia adalah sesuatu yang ikhtiari. Dan selain para nabi serta para imam maksum, orang-orang lain juga terbuka untuk dapat meraih malakah nafsâni ini; sebab jalan riyadah, mujahadah, dan upaya keras membersihkan jiwa bagi semua orang adalah terbuka: “…Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu…” Q.S. al-Anfal [8] : 29.

Dengan tahdzib nafs (pensucian jiwa), memelihara takwa, mengendalikan anggota-anggota badan lahiriah, menjaga imajinasi dan ingatan nafsani serta syaitani, mengkonsumsi makanan dan minuman halal, muraqabah, dan muhasabah akan memungkinkan seseorang dalam ilmu dan amal sampai pada malakah ishmah dan meraih pertahanan baja iradah.

Oleh karana itu, setiap nabi dan imam adalah maksum, namun tidak sebaliknya, yakni bisa saja seseorang itu maksum tapi ia bukanlah seorang nabi atau imam. Sebab malakah ishmah, sebagaimana kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial lainnya mempunyai tingkatan-tingkatan dan bergradasi.

Adapun maqam kenabian, risalah, dan imamah, terbatas jumlah misdaknya: “…Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya…” Q.S. al-An’am [6] : 124.



Ishmah, Sesuatu Yang Dapat Dicapai

Sebagaimana diisyaratkan sebelumnya bahwa ishmah para nabi dan para imam bukanlah sesuatu yang dzati, karena itu shudur-nya (keluarnya) perbuatan dosa dari mereka bukan pula hal yang mustahil dzati. Sebab jika ia adalah mustahil dzati maka ia adalah susuatu yang di luar kemampuan dan sesuatu yang di luar kemampuan tidak akan pernah berada dalam wilayah taklif.

Jika dosa dan maksiat secara dzat adalah mustahil maka perintah dan ketaatan kehilangan nilai urgensinya dan ketaatan juga tidak proporsional menjadi sesuatu yang ditaklifkan. Dengan itu maka tidak tersisa lagi medan bagi ancaman, berita gembira, janji surga, dan janji neraka. Oleh karena itu, berasaskan ini malaikat yang mempunyai ishmah dzati, bukan ishmah ikhtiari, tidak diberikan taklif oleh Tuhan.

Adapun dalam malakah ishmah iktishabi (perolehan) dan bukan dzati, di dalamnya terdapat ikhtiar dan dimensi “mengamalkan” atau “meninggalkan” suatu perbuatan sebelum ia teraktual dapat dipredikasikan dalam bentuk qadiyah mumkinah (proposisi mungkin, possible) terhadap orang-orang maksum; tetapi setelah terjadi dan teraktual (baik itu mengamalkan atau meninggalkan) maka nisbah pengamalannya terhadap maksum adalah niscaya (dharuri) dan ketiadaannya adalah mumtani’ (impossible). Bentuk imtina’ (kemustahilan) ini adalah imtina’ ikhtiar (kemustahilan ikhtiar)yang tidak berlawanan dengan adanya ikhtiar.

Pada hakikatnya seorang maksum ketika berhadapan dengan suatu pekerjaan ia melihat di dalam batin suatu perbuatan (dosa), api yang menyala dan akan membakar pelakunya, karena itu sedikitpun ia tidak lengah, lupa, dan berminat terhadapnya, kendati pun ia berada dalam keadaan tidur; sebagaimana Nabi mulia Islam sabdakan: “Kedua mata saya terpejam dan tidur tapi hati saya tidak pernah tidur”. Dan jika maksum (Nabi Islam) tidak mempunyai kemampuan maksiat (ishmahnya adalah dzati seperti malaikat) maka Tuhan tidak berfirman: “…Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi” (Q.S. az-Zumar [39]: 65).

Meskipun potensi ini ada padanya, ia adalah maksum dan memori-memorinya semuanya adalah rahmâni, tidak ada yang nafsâni dan syaitâni.

Oleh karena itu, pada dasarnya malakah ishmah, seperti halnya malakah-malakah ilmu dan amal lainnya, ia adalah sesuatu yang diperoleh dengan ikhtiar dan bisa saja dengan ikhtiar malakah itu akan lenyap dari diri seseorang.



Perbedaan Ishmah Orang Biasa dan Ishmah Para Nabi

Telah diisyaratkan bahwa orang-orang biasa juga dapat mencapai malakah ishmah dengan jalan tahdzib dan pensucian jiwa. Ishmah ini terdiri dari tiga bentuk:

1. Dikarenakan ketiadaan kedekatan terhadap dosa yang disertai ketiadaan kecenderungan hati terhadapnya.
2. Dikarenakan menjauh dari dosa kendatipun disertai dengan kecondongan hati terhadapnya.
3. Dikarenakan menjauh dari dosa, ketika merasakan mara bahayanya, yang disertai dengan kecondongan hati terhadapnya.

Adapun tentang para nabi, khususnya Nabi mulia Islam Saw, dimensi afirmatif dari ketiga bentuk di atas semuanya adalah tetap, dan dimensi negativnya adalah ternegasikan. Tuhan secara khusus dalam hal ini berfirman: “Dan sekiranya Kami tidak memperteguh (hati)mu, niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada mereka” (Q.S. al-Isra’ [17]: 74), yakni nabi tidak hanya tidak melakukan campur tangan terhadap ayat-ayat, bahkan ia tidak juga mendekati kecondongan, dan jika tidak ada peneguhan Tuhan (pada hatinya) maka dia hampir saja menemukan kecondongan sedikit padanya; akan tetapi karena adanya ishmah Ilahi dia tercegah dari pekerjaan ini.

Demikian pula dari ayat: “…Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian…” (Q.S. Yusuf [12]: 24) diperoleh pengertian bahwasanya selamanya kecondongan kepada dosa tidak pernah mendekati nabi Yusuf As dan Tuhan telah memalingkan keburukan dan kekejian daripadanya; bukannya bahwa Tuhan membuat berpaling dia dari keburukan dan kemungkaran setelah adanya kecondongan padanya sebelumnya. Yakni pada hakikatnya Tuhan telah menjauhkan maksiat yang merupakan was-was syaitani dari wilayah kehidupan nurani hadhrat Yusuf As, para nabi As, dan para imam suci As; dalam bentuk bahwa dosa dan kecondongan terhadapnya, tidak diberi jalan sedikitpun untuk mendekat kepada mereka.

Oleh karena itu, dalam masalah ishmah para nabi dari dosa dapat ditarik kesimpulan berikut ini:

- Para nabi tidak pernah melakukan dosa dan tidak akan melakukan dosa.

- Para nabi tidak akan mendekati dosa yang merupakan mukadimah dari perbuatan dosa.

- Para nabi tidak mempunyai kecondongan hati kepada dosa.

- Para nabi dalam atmosfir ruh dan wilayah hati bahkan tidak juga mendekat kepada kecondongan dosa.

- Dekat kepada kecondongan hati terhadap dosa juga tidak pernah hadir dalam wilayah hati para nabi; sebab hati yang mempunyai makrifat sempurna pada tauhid dan dipenuhi oleh cinta Ilahi, tidak akan memberikan tempat bagi kecondongan pada dosa dan juga tidak ada medan untuk dekat terhadap kecondongan padanya serta begitu pula tidak ada kelengahan untuk dapat diserang kecondongan atau mendekat pada kecondongan terhadapnya.

Dengan demikian ishmah para nabi dibandingkan ishmah dengan orang biasa adalah berbeda. Apa yang para nabi persepsi semuanya adalah hak dan benar, kendatipun relasi dari persepsi mereka itu adalah berhubungan dengan inderawi, takhayyul, dan tawahhum, sebagaimana relasi persepsi orang-orang biasa. Tuhan dalam menegaskan masalah ini berfirman: “ Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berdasarkan persepsi hak dan sahih mengambil al-Qur’an dari sisi (Allah) Yang Mahabijaksana, Maha Mengetahui” (Q.S. an-Naml [27]: 6). Tuhan juga berfirman: “Yang dibawa turun oleh Ruhul Amin (Jibril), ke dalam hatimu agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan” (Q.S. asy-Syu’ara [26]: 193-194). Yakni malaikat dalam seluruh tahap turunnya al-Qur’an menyertai dan mengawal penurunannya sehingga tidak ada jalan sedikitpun bagi masuknya pengaruh setan kepadanya.

Setelah tahap turunnya al-Qur’an, seluruh manusia dengan dasar ikhtiar mereka beriman kepadanya atau kufur terhadapnya, firman Tuhan: “Dan katakanlah (Muhammad): “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menghendaki beriman hendaklah dia beriman , dan barang siapa menghendaki kafir biarlah dia kafir” (Q.S. al-Kahfi [18]: 29).

Natijah dari apa yang telah kami paparkan di atas bahwa dalam tempat suci aman para nabi Tuhan, kebatilan dan dosa, bahkan kecondongan kepadanya sama sekali tidak memiliki ruang dan jalan. Juga kemaksuman mereka tidak mempunya sisi keterpaksaan, akan tetapi terbangun atas dasar pilihan dan ikhtiar yang sempurna.


Catatan Kaki:

[1]. Mufradât Râgib.

[2] . Dhuha al-Islam, Jld. 3, Hal. 230.

[3] . Bihârul Anwâr, Jld. 25, Hal. 204.

[4] . Mafâtih al-jinân, do’a iftitah.