Belajar Azm dari Sosok Abbas bin Ali

Pentingnya Azm
Semua manusia memiliki ujian sesuai kadar masing-masing. Kadar ujian ini semakin lama jika manusia berhasil melewatinya maka akan semakin tinggi dan semakin berat. Setelah manusia berhasil mempelajari ilmu, selanjutnya untuk mendapatkan kemajuan ruhaniahnya maka dia harus memiliki Azm, Azm adalah sebuah motor penggerak yang membuat manusia penuh gigih dalam menjalankan ilmu yang sudah dimiliki. Jadi tepat sekali ketika beberapa ulama berpendapat bahwa Azm adalah esensi kemanusiaan dan dasar kebebasan manusia. Jadi perbedaan derajat manusia sesungguhnya bergantung kepada tingkat Azm yang dimiliki.
Azm yang pertama adalah dalam melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang dilarang Allah Swt. Mengganti hari-hari yang telah hilang dan rugi karena telah habis dalam genangan kekeliruan dan dosa, baik dosa kecil maupun besar. Mengganti hari yang hilang karena dilalui dalam kelalaian dan ketidakpastian dengan mengerjakan qadha shalat maupun puasa, mengerjakan hal-hal yang sunah dan dicintai Allah Swt.
Manusia-manusia mulia sebagai panutan dalam mempraktikkan Azm
Untuk bisa memiliki Azm yang kuat manusia perlu mendekati manusia-manusia yang merupakan quran natiq, quran yang dapat berbicara atau kita kenal juga dengan manusia-manusia suci dari dosa, orang-orang yang secara estafet menjaga ilmu Quran dan seluruh ilmu dari Nabi Muhammad saw dari generasi ke generasi. Jadi sebagai rujukan kita bisa mendapatkan manfaat dari buku insane divis panjah sale, manusia dua ratus lima puluh tahun. Sebuah buku yang memuat sejarah dan kehidupan dari manusia-manusia agung dalam uraian yang disampaikan oleh Rahbar ayatullah Ali Khamenei dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Sebuah buku renyah untuk dikonsumsi sebagai penyemangat untuk lebih mengenal manusia-manusia suci, mengenal praktik dalam kehidupan sosial masyarakat. Bentuk riil setelah menjalankan Azm secara personal.
Pribadi Abbas bin Ali
Selain manusia-manusia suci, ada juga sosok-sosok mulia yang bisa dijadikan teladan dalam menjalankan Azm. Salah satu contoh orang yang konsisten dalam Azm-nya adalah Abbas bin Ali bin Abi Thalib. Dia adalah manusia besar dijamannya, dia adalah manusia yang memberikan pelajaran kepada orang-orang yang hidup setelahnya termasuk kita. Abbas qamar bani hasyim, sosok rupawan dari sisik fisik tapi juga memiliki prilaku yang sangat menawan, sosok yang sangat dekat dengan anak-anak kecil terutama anak dari kakaknya Husain bin Ali as.
Selama hidupnya Abbas hidup bersama beberapa Imam, semasa ayahnya sendiri yakni Ali bin Abi Thalib sebagai Imam pertama setelah Nabi Muhammad saw, kakaknya yang berbeda ibu yakni Hasan bin Ali (putra Ali dengan Fatimah binti Nabi) sebagai Imam ke dua, dan juga kakak yang merupakan adik kandung dari Hasan bin Ali yang bernama Husain as. Tiga Imam ini turut memberikan warna pada perkembangan pendidikan Abbas bin Ali. Imam Ali as terkait dengan kesempurnaan dan kedinamisan putranya berkata, “Sesungguhnya putraku Abbas telah belajar semenjak usia kanak-kanak. Ia belajar dariku sebagaimana bayi burung merpati mengambil makanan dan minuman dari induknya.”
Abbas adalah putra pertama Ali as dengan Fatimah binti Hizam, sebagaimana ayahnya yang terkenal sebagai sosok pemberani, Abbas pun tidak jauh berbeda, bahkan dia adalah anak dari ibu yang merupakan keturunan kabilah pemberani, Imam Ali menikahi bunda Abbas memang bercita-cita untuk memiliki anak pemberani. Bunda dari Abbas adalah Fatimah binti Hizam yang lebih dikenal dengan Ummul Banin. Seorang wanita yang juga piawai memainkan panah dan pedang. Dari sinilah Abbas lahir, dari seorang bapak jawara tidak pernah terkalahkan di medan laga, dari bunda yang piawai memanah dan memainkan pedang sebagaimana wanita-wanita dari kabilahnya.
Abbas pun ketika ke medan laga dia juga tumbuh sebagai jawara seperti harapan ayahnya, Abbas pertama kali menjadi prajurit dalam Pertempuran pada saat perang Siffin, salah satu perang akibat konflik utama antara Imam Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan gubernur Suriah, pada 657 Masehi.
Abbas diberi amanat ayahnya yakni Ali as dan merupakan Imamnya untuk kembali dari perang Siffin, dia disuruh untuk menemani peperangan Husain bin Ali as di perang tidak seimbang di Karbala.  Abbas pun menggenggam amanat ini, dia setia menemai Saudara dan merupakan Imamnya sampai saat hari Asyura tiba.
Belajar Azm dari Abbas
Abbas dengan Azm-nya telah setia menjaga wasiat dari ayahnya, dia taat pada Imam zamannya waktu itu, dia pada saat Imam Husain as pergi dari madinah tidak ada catatan sejarah yang membahas keragu-raguan Abbas untuk turut serta pergi bersama Imamnya itu. Dia mengikuti ajakan Husain bin Ali, pertama- karena itu adalah perintah Imam pertama yakni Ali bin Abi Thalib, kedua- itu juga ajakan Imam Zamannya.
Dia adalah pengayom anak-anak kecil yang turut serta dalam rombongan, anak-anak kecil putra putri Husain juga sangat akrab dengan Abbas, karena itu ketika anak-anak kecil itu kehausan, Abbas mengambil inisiatif untuk menerobos benteng pasukan musuh yang mengepung dengan jumlah berkali-kali lipat. Abbas dengan senjata apa adanya pergi dengan dengan beberapa pasukan berkuda menuju sungai eufrat. Dengan kepiawaiannya dia berhasil menerobos benteng musuh dan sampai ke sungai eufrat. Disinilah contoh nyata bagaimana Azm Abbas sangat berperan, pada saat dia berada ditengah-tengah air sungai, dia sudah hampir meminum air dengan tangannya tapi dia tidak melakukannya, dia teringat dengan anak-anak kecil yang merintih kehausan, dia teringat imamnya juga sudah beberapa hari tidak meminum setetes air pun. Dia pun membuang air dari genggaman tangannya, dia hanya mengambil air dengan girbah lalu segera pulang menuju perkemahan.
Kita tidak bisa melihat itu hanya masalah minum dan tidak minum, sebab kita tahu pada waktu itu Abbas juga dalam kondisi kehausan, dia juga tidak minum air seperti keluarga dan sahabat-sahabatnya, dengan hitungan duniawi kita akan berpikir bahwa kita bisa minum seteguk untuk menyegarkan diri sehingga punya kekuatan untuk berperang, dengan Azm dan tekad yang kuat inilah Abbas menaikkan kedudukan ruhaniahnya, dia buktikan bahwa dia bisa mengalahkan hawa nafsunya dan mengutamakan nilai-nilai mulia, wujud empati dan kepedulian terhadap anak-anak kecil dan orang-orang yang sedang menjerit kehausan.
Pada saat detik-detik akan menghembuskan nafas yang terakhir dia meminta ijin kepada Imamnya, untuk setidaknya sekali dalam hidupnya bisa memanggil abangnya dengan akhi, jadi selama ini dia memanggilnya dengan sebutan Imam, karena saudaranya itu adalah imamnya. Dia tidak mendahulukan egonya dengan memanggil sebagaimana saudara kepada saudara yang lain, kadang mengejek demi bergurau. Kita ambil pelajaran disini bagaimana Abbas begitu tuntas dalam menempatkan sosok Imam dalam hidupnya, dia Azamkan untuk taat mengikuti perintah Imamnya. Dia benamkan egonya sebagai saudara dari Husain bin Ali, dia posisikan diri sebagai pengikut seorang Imam, pengikut yang taat kepada Imamnya. Hal yang jauh lebih sulit dilakukan dibanding dengan orang-orang lain yang memang bukan saudara apalagi saudara kandung.