Bagaimana Alquran mendudukkan posisi kedua istitusi ini?

Keberasalan kenabian dan kekuasaan
Alquran menghubungkan kenabian (N) dan kekuasaan (K) kepada Allah. Hubungan itu berupa keberasalan, yakni nabi dan penguasa [ideal] itu berasal dari Tuhan, dari sumber yang sama. Dalam Alquran baik untuk kenabian maupun kekuasaan, Alquran menggunakan kata mengutus (ba’atsa). Selain mengutus nabi yakni Nabi Samuel dan Nabi Daud, Allah juga mengutus dan memilih raja [penguasa] yakni Thalut bagi Bani Israil.
Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudahNabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab: “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. Mereka menjawab: “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim.[Qs Al Baqarah(2): 246].
Keberasalan kekuasaan, sama dengan kenabian, menguatkan keberasalan legitimasi penguasa juga berasal dari Allah. Selama keberasalan dan keterpilihan (kriteria-kriteria ilahi) ada pada penguasa, ia berlegitimasi untuk terus berkuasa. Kapan saja kriteria itu hilang, Allah mencabut legitimasi dan kekuasaan darinya. Dengan begitu, ayat “Dia memberi kekuasaan kepada siapa yang Dia kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Dia kehendaki”.
Dalam hal ini perlu kita melihat pemberian anugrah kekuasaan dari Allah kepada Nabi Ibrahim as. “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”. [Albaqarah [02]:124]
dan sungguh Kami telah memilihnya(sebagai Imam) di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.[albaqarah[02]:130]
Semua keturunan Nabi Ibrahim memiliki hak dan kesempatan untuk berkuasa yakni menjadi Imam, tapi hak dan kesempatan ini akan dicabut ketika ternyata kuturunan Nabi Ibrahim berbuat dzalim. Ayat yang berbunyi “tidak mengenai orang yang zalim” menegaskan bahwa yang menjadi Imam tidak boleh pernah berbuat dzalim, jadi dia harus dari orang yang maksum, mampu menjaga diri untuk tidak berbuat dosa.
Kekuasaan itu bersifat Takwini atau tasyri’i
Apakah kekuasaan ini bersifat taqdir takwini atau tasyri’i, ketika kita melihat ayat “tidak mengenai orang yang zalim” ini menunjukkan bahwa orang itu dengan ikhtiar yang dimiliki telah meninggalkan perbuatan dzalim, jadi sebenarnya jika berkehendak dia juga bisa berbuat dzalim namun kenyataannya dia tidak melakukannya. Dia mampu sekuat tenaga mengontrol diri dan berbuat sesuai keridhaan Allah Swt.
Bagaimana dengan Imam yang maksum sejak bayi, Nabi Isa sudah menjadi Nabi sejak lahir, bagaimana konteks taqdir takwini atau tasyri’i ini bisa diuraikan. Menurut hemat penulis, seorang bayi mendapatkan pengaruh besar dari orang tua sebagai faktor penyiap dan juga faktor lingkungan, ketika sebab dan akibat seputar para imam sudah jelas, yakni memiliki orang tua maksum dan juga lingkungan yang mendukung untuk menjadi manusia baik maka ketika Nabi mengatakan para Imam itu dari keturunan fulan bin fulan bin fulan bukan menunjukkan bahwa itu takwini. Tetapi tetap pada hukum tasyri’i. Yang tidak keluar dari konsep sebab akibat secara natural. Jika kemaksuman itu bersifat takwini maka kemaksuman bukan sebuah kelebihan dan kedudukan berharga, seperti halnya malaikat. Sementara kita disuruh untuk meneladani maksumin, meneladani bagaimana mereka menggunakan ikhtiar mereka untuk menjadi manusia berharga dan mulia.
Nabi dan Kekuasaan
Dalam Quran bisa kita temukan bahwa beberapa Nabi selain menjadi seorang Nabi mereka juga menjadi seorang raja, memiliki pemerintahan, dan memiliki wilayah. Diantara Nabi-nabi itu adalah Nabi Zulkifli as, Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as, ada juga yang menjadi seorang bendahara, dia memiliki wewenang dan menjadi pengambil keputusan dalam pemerintahan tapi masih sebagai bawahan dari seorang raja. Sosok ini adalah sosok Nabi Yusuf as.
Apakah mereka sengaja diutus menjadi seorang Nabi dan juga sebagai seorang Raja, atau mereka menjadi raja bukan sebagai anugrah, mengingat untuk sampai kesana mereka harus melakukan perjuangan berat. Seperti Nabi Daud yang harus menjadi tentara bawahan lalu akhirnya bisa naik pangkat dan bahkan menjadi seorang raja. Menurtu hemat penulis, mereka menjadi Raja bukan atas dasar utusan Ilahi tapi karena kondisi yang mendukung mereka untuk menjadi raja. Khususnya penerimaan masyarakat atas kepemimpinan mereka.
Menurut hemat penulis ketika ada nabi menjadi seorang raja itu bukanlah sebuah keistimewaan bahkan lebih sebagai sebuah ujian yang lebih besar. Tanggungjawab yang dipikul pun semakin berat ketika seorang Nabi menjadi seorang raja.
Mereka menjadi raja atau pemimpin pun atas kesepakatan rakyat, mereka yang awalnya rakyat biasa diangkat menjadi seorang raja.
Keberkuasaan seorang Nabi sebagai raja juga Nabi Muhammad saw terjadi dengan penerimaan masyarakat atas kepemimpinan mereka. Imam Ali bin Abi Thalib sebagai Imam yang berkuasa, beliau memerintah juga setelah dipilih secara defacto.
Kepemimpinan dan kekuasaan Thalut
Terkait kepemimpinan dan kekuasaan Thalut. Dari ayat yang menyebutkan dialog Bani Israil dengan seorang Nabi dapat diketahui bahwa penunjukkan Thalut itu atas permintaan dari bawah, jadi bukan murni pengutusan sebagaimana pengutusan seorang Nabi. Thalut memang menjadi raja atas pilihan Allah Swt. Namun perlu ditekankan disini bahwa Thalut tidak akan bisa menjadi raja jika masyarakat tidak menghendakinya secara sepakat, seperti kasus Imam Hasan as, Imam Husain as dan seterusnya, masyarakat belum menerima kepemimpinan mereka sebagai seorang Imam, akhirnya mereka tidak memiliki pemerintahan, tidak memiliki wilayah yang diakui masyarakat secara umum.