KARBALAISME DAN SPIRIT KAUM PINGGIRAN

Karbala setiap zaman mencuatkan generasi aneh pengikut paradigma kebenaran yang pahit dari orbit paradigma kenyaman yang manis.
Disebut aneh karena pilihan utama bahkan tunggal manusia pada umumnya adalah keuntungan dengan semua derivatnya, keamanan, keselamatan, kenyamanan, kemudahan, kebebasan, kenikmatan dan semua yang kuantitatif dan konkret.
Terlihat aneh karena Karbalaisme justru menghadirkan opsi kontradiktifnya, kebenaran dengan semua risikonya, keteraniayaan, kesulitan, keterikatan, kegetiran, pengorbanan dan semua yang kualitatif dan abstrak.
Umumnya orang-orang berduyun-duyun berebut berdesak-desakan untuk berkumpul dan berjingkrak-jingkrak berbahak menikmati sukaria dan pesta. Karbalaisme malah menyedot jiwa sekelompok orang lalu mengayunkan langkah mengabaikan sorak sorai cemooh dan caci menuju magma duka berkumpul dalam himpunan hitam pekat menguras tangis meratapi kemuliaan yang diinjak kerakusan, menepuk dada mengungkap empati dan cinta.
Logika kebenaran inilah yang membuat banyak orang di luar sana menganggap perjalanan Al-Husain bersama keluarga dan pengikutnya sebagai kekonyolan. Bagi penganut pragmatisme, kenyamanan, keamanan dan kesejahteraan adalah pilihan utama dan tunggal.
Pragmatisme adalah buah materialisme yang mendasari pikiran dan tindakan sebagian besar manusia. Inilah arus besar yang dilawan oleh Al-Husain dan sekelompok orang rela keluar dari antrian mengais hidup aman tanpa kehormatan. Mereka memilih jadi buron, marjinal menaburkan darah demi menyuburkan bumi dengan kemuliaan.
Laga antara logika kebenaran versus logika keuntungan terus berlangsung dalam ragam episode dulu, kini dan mendatang. Inilah kemenangan kekuatan kualitatif atas kekuatan kuantitatif. Inilah logika Darah Mengalahkan Pedang.