Persembahan (untuk) Cinta

Allahumma ya Rabbana, demikianlah seorang pecinta. Bekerja seharian setahun lamanya, hanya agar ia pulang dan menyiapkan bekal untuk sebuah persembahan cinta. Semua hidupnya ia tujukan untuk membahagiakan Mawlanya.

Allahumma ya Rabbana, Muharram tak hanya menyingkapkan bagi kami tirai duka. Di atas semuanya, ia hamparkan altar cinta. Kapan lagi cinta hadirkan wujud terbaiknya, kecuali pada saat persembahannya. Lagu bukankah lagu sebelum dinyanyikan. Melodi bukanlah senandung sebelum dilantunkan. Cinta bukanlah cinta sebelum dikorbankan.

Adalah Syaikh Hisam al-Isfahani, seorang arif sufi, mubaligh dan khatib majelis-majelis Husaini di kotanya, Isfahan yang terkenal itu. Di zaman keemasannya, penduduk kota membanggakan diri dengan kalimat Isfahan nisfhe Jahan. Isfahan adalah setengah dunia.

Maka siapa tidak mengenal Syaikh Hisam. Setiap majelis rindu kehadirannya. Untaian kalimatnya mengantarkan hadirin pada kerinduan Husaini, pada semangat akan teladan dan perjuangan kafilah Asyura. Mendengarkan khotbahnya, percik cinta berkobar dalam dada.

Satu malam, pada saat yang tidak akan pernah ia lupakan, ia bermimpi. Imam Mahdi afs hadir menyapanya. Takzim dan jutaan rindu, ia duduk tepekur haru. Lalu keberanian mengantarkannya pada tanya, "Mawlaku, izinkan aku. Adakah setiap majelis Husaini beroleh kemuliaanmu?"

Imam menjawab, "Kemuliaan bagiku. Aku menghadiri setiap di antaranya. Semuanya dalam pandanganku. Tapi ada satu majelis yang paling aku cintai. Aku sangat mencintai hadir di dalamnya. Majelis itu di kotamu."

"Mawlaku, di manakah gerangan?"

"Rumah seorang perempuan haji, di sebuah gang..." Mawla menyampaikan pada Syaikh siapa dan di mana rumah perempuan haji itu.

Esok hari, Syaikh Hisam bergegas pagi sekali. Mimpi yang tak pernah dilupakannya mengantarkan kakinya tanpa lelah untuk mencari. Ah, andai saja ia tak terbangun dari mimpi itu.

Di sebuah tempat yang dimaksud, seorang perempuan tua berjalan ke arahnya. Usai salam dan jawaban, Syaikh bertanya tentang rumah Hajjah Fulanah. Perempuan itu menjawab ialah dirinya.

"Aku dikabari bahwa engkau punya Majelis Husaini di rumahmu?"
"Benar."
"Bolehkah aku menghadirinya?"
"Tidak."
"Tahukah engkau siapa aku?"
"Engkau Syaikh Hisam. Semua Isfahan mengenalmu. Tapi majelisku ini, ia hanya untuk para perempuan."
"Adakah cara aku bisa menghadirinya?"
"Kau bisa mendengarkan di balik pintu di depan rumah."

Maka untuk hari-hari itu, Syaikh Hisam mengisi begitu banyak majelis, dan setiap sore ia akan duduk menjadi pendengar yang baik. Hingga sepuluh hari lamanya.

Usai hari yang kesepuluh, Syaikh Hisam berterima kasih. Ia berkata kepada Hajjah, "Sekarang perkenankan aku untuk mengganti seluruh biaya yang telah kaukeluarkan untuk majelis-majelis ini."

"Ya Syaikh...," jawab perempuan itu menahan kata. "Kau tidak menghargai kebaikanku. Aku sudah izinkan kau untuk mendengarkan majelisku. Sekarang kau ingin ambil satu-satunya kesempatanku."

"Ada apa gerangan ya Hajjah?" Dan ketika jawaban disampaikan, terdiamlah Syaikh. Jawaban yang membuatnya memahami mengapa Imam bahagia hadir di majelisnya. Perempuan itu berkata, "Sesungguhnya aku bekerja di rumah fulanah agar dapat aku kumpulkan tabunganku, dan setahun sekali kusiapkan ia untuk majelis Imam Husain as. Tolong Syaikh, jangan kau ambil kesempatanku ini."

Allahumma ya Rabbana, demikianlah seorang pecinta. Bekerja seharian setahun lamanya, hanya agar ia pulang dan menyiapkan bekal untuk sebuah persembahan cinta. Semua hidupnya ia tujukan untuk membahagiakan Mawlanya.

Ia hanya ingin senyuman Baginda Nabi Saw. Ia hanya ingin senyuman Azzahra sa. Ia hanya ingin senyuman Al-Murtadha dan Al-Mujtaba...

Adakah majelis kita akan didatangi tumpuan cinta? Sudahkah kita siapkan persembahan kita?