Amal Menaikkan Iman

Syariat-syariat Ulul ‘Azmi tak berbeda satu dengan lainnya dalam iman kepada Allah, para rasul-Nya dan hari akhir. Hanya satu agama di dalam syariat-syariat mereka dari nabi Nuh as sampai Nabi Penutup saw, dengan tiga rukun iman yang sama kepada:

1-Allah; mengenai-Nya bagian terpenting yang dikaji ialah tauhid setelah wujud-Nya dikukuhkan.

2-Kenabian; yang umum ataupun yang khusus. Kenabian umum sebagai prinsip pertama bahwa Allah swt mengutus para nabi. Setelah itu sebagai prinsip kedua, mengenai siapakah mereka termasuk kenabian khusus bahwa mereka adalah nabi Adam sampai Nabi Penutup saw.

3-Hari akhir.

Prinsip-prinsip lainnya antara lain ‘adl (keadilan ilahi), imamah, malaikat dan kitab-kitab samawi, merupakan cabang dari tiga dasar tersebut. ‘Adl –salah satu sifat Allah- adalah cabang terpenting rukun yang pertama, sedangkan imamah cabang terpenting rukun yang kedua terkait kenabian khusus. Dari sini jelas pentingnya mengkaji Rasulullah saw atau kenabian khusus setelah tauhid yang harus diimani.

Iman berbeda dengan bagian-bagiannya yang lazim, salah satunya adalah taat. Sekiranya menaati Rasulullah saw tapi tidak mengimani beliau sebagai seorang nabi, manfaatkah, atau adakah nilainya sementara iman lah yang mendasari ketaatan dan amal? Ini poin pertama.

Poin kedua, iman adalah bagian makrifat. Mungkinkah seseorang mengimani Rasulullah saw tetapi tidak mengenal beliau? Sebuah riwayat dari Imam Sajjad mengenai ayat “wa mâ khalaqtul jinna illâ li ya’budûn”, beliau ditanya, “Mengapa Anda menafsirkan ibadah dengan makrifat?”

Beliau menjawab, “Sekiranya tanpa makrifat tak mungkin ibadah terwujud.”

Di dalam Alquran terdapat banyak sekali ayat yang mengisyaratkan pada dua macam makrifat:

Yang pertama, makrifat keimanan yang dijelaskan di dalam Alquran untuk diimani sebagai tujuan utama, dan yang mendasari amal sebagai tujuan kedua. Makrifat keimanan ini harus dicapai, dirajut dan mengikat hati sehingga menjadi yaqin.

Yang kedua, makrifat amal yang dijelaskan untuk diamalkan –sebagai tujuannya. Sekiranya seseorang mengimani atau mempercayainya tetapi tidak mengamalkannya, misal percaya kewajiban shalat tetapi tidak melaksanakannya, adakah nilai bagi imannya itu? Tidak. Mengapa? Karena tujuan dari pensyariatan atau makrifat ini adalah amal.

Jadi, makrifat keagamaan terbagi pada: makrifat ‘aqdiyah (keyakinan) dan makrifat ‘amaliyah. Yang pertama, yang tak diperselisihkan dari perkara-perkaranya ialah iman kepada Rasulullah saw. Masalah yang diperselisihkan ialah soal imamah, apakah bagian dari perkara-perkara keimanan (‘aqdiyah) ataukah ‘amaliyah?

Imamah bagian dari makrifat, makrifat manakah di antara dua macamnya yang sebagai dasar? Apakah keduanya merupakan dasar, ataukah salah satunya, dan yang lainnya merupakan cabang dalam arti kokoh dan tidaknya yang satu berefek pada yang lain?

Mengikuti sebuah ungkapan yang dinisbatkan kepada Imam Ali: “Ambillah isi dari semua ilmu dan abaikan kulitnya.”, maka yang patut diambil dan dikaji adalah isi yang merupakan dasar untuk dikukuhkan.

Kebalikan sebagian orang yang berpegangan pada cabang, sampai batas menekankan pada “kulit” cabang sedemikian rupa, sehingga jauh dari pengetahuan dasar atau isi. Mereka sebagaimana teori “Cukuplah Kitabullah”, menganut mujasimah (teori penjisiman Tuhan) ketika memaknakan ayat: “Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik..”, bahwa Allah di atas, dan “kita naik kepada-Nya.”

 

Tafsir QS.Fathir 10

Di dalam pembahasan tauhid dikatakan bahwa tiada arah, ruang, waktu dan dimensi-dimensi lainnya -yang merupakan sifat-sifat makhluk- bagi Allah. Lantas, apa makna “shu’ûd” (naik) dalam QS.Fathir 10; اليه يصعد الكلم الطيب?:

1-Shu’ûd bermakna qurb ilahi (kedekatan dengan Tuhan) dan kehadiran di hadapan Allah. Semisal bila melaksanakan suatu amal qurbatan ilallâh (dalam mendekatkan diri kepada Allah). Artinya, hadir. Hamba merasa keluar dari kelalaian dan di alam kehadiran.

2-Qurb adalah kehadiran hamba di hadapan Allah dalam arti taat kepada-Nya dan tidak lalai dari-Nya. Berbeda dengan hal seseorang yang lalai dari Allah, ia jauh dari-Nya.

Kemudian “al-kalimu ath-thayib” yang dimaksud ialah:

1-Yang mendekatkan hamba kepada Allah dan mengeluarkan dia dari alam kelalaian menuju alam kehadiran.

2-Akidah yang benar; ia lah yang mendekatkan hamba kepada Allah.

Mengapa “al-kalimu ath-thayib” ditafsirkan dengan akidah yang benar? Dua indikasi menunjukkan padanya:

1-Ayat tersebut lalu mengatakan, “wal ‘amal ash-shâlih yarfa’uh” (dan amal yang saleh dinaikkan-Nya). Apa yang diangkat (marfu’) adalah sesuatu selain amal saleh (rafi’) yang mengangkatnya.

2-Sesuatu yang diangkat adalah iman. Bahwasannya Alquran tak menyebut amal saleh kecuali disertai oleh iman. Di dalam banyak ayat terdapat pasangan antara iman dan amal, ketika mengatakan, amal shaleh mengangkatnya (sesuatu), yaitu “al-kalimu ath-thayib”.

Jadi, maksud dari “al-kalimu ath-thayib” adalah iman dan akidah yang benar.

 

Referensi:

http://alhaydari.com/ar/2012/09/39179/