Tentang (Teman) Sefrekuensi

Saya memiliki seorang sahabat perempuan. Berhubung saya agak sulit akrab dengan perempuan, sahabat perempuan saya bisa dihitung jari. Entahlah, meski saya seorang perempuan, bagi saya menjalin hubungan dengan perempuan sama sulitnya dengan belajar bahasa Prancis. Terlalu banyak hal yang harus dipahami dan dibedakan. Tak jarang, apa yang tertulis tidak sama dengan yang dibaca, bahkan jauh sekali dari tulisannya. Begitulah perempuan. Terlalu banyak kode yang harus dipecahkan. Apa yang tampak terkadang tidak merepresentasikan apa yang sebenarnya diinginkannya. Rumit kan?

Ya, semua perempuan memang tercipta rumit, tak terkecuali saya dan sahabat saya ini. Kami berdua sama rumitnya. Tak jarang, kami terlibat perselisihan, perang dingin, adu argumen, tak memberi kabar dalam jangka waktu yang lama, dan perselisihan klasik khas persahabatan lainnya. Tetapi, selalu ada fase di mana kami bisa saling mencari dan kembali ke titik temu.

Jika orang-orang bijak berkata ‘temukanlah seseorang yang sefrekuensi denganmu’ tatkala kamu bertanya bagaimana kiat mencari pasangan, saya pikir tips itu tidak hanya berlaku dalam hubungan percintaan semata. Hubungan apapun, jika ingin langgeng sampai ladang gandum berubah jadi choco crunch, harus dijalani dengan orang yang sefrekuensi dengan kita.

Sebelumnya, saya pikir, definisi ‘sefrekuensi’ mestilah berawal dari titik yang benar-benar sama, seperti memiliki hobi yang sama, bidang studi yang sama, passion yang sama, atau karakter yang sama. Rupanya, ‘sefrekuensi’ memiliki pengertian yang sangat luas. Apapun itu, asalkan memiliki tujuan yang sama, meski berawal dari sumber yang berbeda, akan menjadi kunci fundamental dalam sebuah hubungan. Sebagaimana yang saya alami dengan sahabat yang satu ini.

Kami adalah dua orang yang benar-benar berbeda. Dia anak sains, saya anak soshum. Dia sangat feminin, saya pakai lipstik saja masih sering kurang presisi. Dia suka science fiction, saya suka drama. Dia suka makanan manis, saya suka makanan asin dan gurih. Dia suka minuman hits, saya suka teh melati. Dia shopaholic, saya belanja seperlunya. Dia agak cuek, saya overthinking.

Belum selesai perbedaan kami. Dia pemberani dalam beberapa hal yang saya takuti. Dia lebih tenang, saya panikan. Dia tidak banyak bicara, saya bawel sekali. Dia bermain angka, saya bermain kata. Lihatlah, dengan sekelumit perbedaan ini, bagaimana bisa kami mempertahankan hubungan persahabatan sampai sekarang?

Jawabannya sederhana dan (dan terdengar klise), karena kami saling ‘melengkapi’. Mengapa?

Karena kami satu ‘frekuensi’. Loh, se-frekuensi dari mana? Bukannya perbedaan kami banyak? Ya, kami berada di frekuensi yang sama, tujuan dan pola pikir yang sama, yaitu mempertahankan hubungan persahabatan ini. Kami sama-sama menganggap hubungan ini berharga, sebagaimana kami menghargai eksistensi masing-masing. Kami sama-sama saling membutuhkan, sebab ada hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh masing-masing dari kami. Itulah, ‘se-frekuensi’ versi kami.

Karenanya, kami berusaha menahan ego dan memilih untuk saling memahami satu sama lain. Kami tahu kapan harus diam dan bicara. “We know how to treat each other,” kata anak Jakarta Selatan. Tatkala dia berbagi cerita tentang tugas kuliahnya, rumus-rumus, kegiatan di laboratorium, dan teori-teori astral itu, saya berusaha mendengarkan, memahami dan merespon dengan baik. Begitu pula dengan dirinya. Ketika saya mengeluh tentang tesis, teori-teori linguistik, dan sejumlah fenomena sosial yang jauh sekali dengan kehidupannya, dia terus mendengarkan saya tanpa lelah. Dia memberikan 100 % perhatiannya. Dia merespon dengan tulus saat dimintai pendapat.

Kami adalah dua orang yang benar-benar berbeda. Dia anak sains, saya anak soshum. Dia sangat feminin, saya pakai lipstik saja masih sering kurang presisi. Dia suka science fiction, saya suka drama. Dia suka makanan manis, saya suka makanan asin dan gurih. Dia suka minuman hits, saya suka teh melati. Dia shopaholic, saya belanja seperlunya. Dia agak cuek, saya overthinking.

Belum selesai perbedaan kami. Dia pemberani dalam beberapa hal yang saya takuti. Dia lebih tenang, saya panikan. Dia tidak banyak bicara, saya bawel sekali. Dia bermain angka, saya bermain kata. Lihatlah, dengan sekelumit perbedaan ini, bagaimana bisa kami mempertahankan hubungan persahabatan sampai sekarang?

Jawabannya sederhana dan (dan terdengar klise), karena kami saling ‘melengkapi’. Mengapa?

Karena kami satu ‘frekuensi’. Loh, se-frekuensi dari mana? Bukannya perbedaan kami banyak? Ya, kami berada di frekuensi yang sama, tujuan dan pola pikir yang sama, yaitu mempertahankan hubungan persahabatan ini. Kami sama-sama menganggap hubungan ini berharga, sebagaimana kami menghargai eksistensi masing-masing. Kami sama-sama saling membutuhkan, sebab ada hal-hal yang hanya bisa dilakukan oleh masing-masing dari kami. Itulah, ‘se-frekuensi’ versi kami.

Karenanya, kami berusaha menahan ego dan memilih untuk saling memahami satu sama lain. Kami tahu kapan harus diam dan bicara. “We know how to treat each other,” kata anak Jakarta Selatan. Tatkala dia berbagi cerita tentang tugas kuliahnya, rumus-rumus, kegiatan di laboratorium, dan teori-teori astral itu, saya berusaha mendengarkan, memahami dan merespon dengan baik. Begitu pula dengan dirinya. Ketika saya mengeluh tentang tesis, teori-teori linguistik, dan sejumlah fenomena sosial yang jauh sekali dengan kehidupannya, dia terus mendengarkan saya tanpa lelah. Dia memberikan 100 % perhatiannya. Dia merespon dengan tulus saat dimintai pendapat.

Ya, rupanya tips yang juga dipaparkan eyang Habibie dalam film Habibie-Ainun 3 benar adanya. Frekuensi yang sama adalah pondasi awal untuk mempertahankan hubungan, baik hubungan pertemanan, persahabatan, termasuk pernikahan. Sayang sekali, sahabat saya ini adalah perempuan. Andai dia laki-laki, mungkin saya akan bermunajat kepada sang Maha Pengabul Doa, agar bisa menghabiskan sisa hidup dengannya saja. Sebab, kami sudah terbiasa dengan perbedaan, dan kami bahagia menjadi pribadi yang benar-benar berbeda. Karena dengan perbedaan itu, cerita persahabatan kami menjadi berwarna. Cara pandang kami terhadap dunia menjadi lebih kaya. Darinya, saya belajar lebih mendengarkan diri sendiri. Dari saya, dia belajar lebih bersimpati. Percayalah, saling melengkapi itu indah sekali.

Jadi, apakah kalian sudah memiliki definisi tentang ‘se-frekuensi’? Jika sudah, pertahankan. Jika belum, renungi kembali dan carilah segera. Definisikan frekuensi yang sama sesuai dengan ritme hubungan kalian. Tak penting dari titik mana kalian beranjak. Yang penting, pada akhirnya kalian bertemu di titik yang sama. Sebab, meski semua orang diciptakan berbeda-beda, namun, semua orang menginginkan akhir cerita yang sama, yakni: bahagia.