Mengenal Sosok Ayatullah Hairi (bagian 2)

Ayatullah Hairi dan Konsep Wilayatul Faqih

Ayatullah Hairi termasuk sosok pendukung konsep Wilayatul Faqih dan berupaya menjabarkannya dengan serius dalam ranah keilmuan dan teoritis. Menurut beliau ada dua penafsiran tentang Wilayatul Faqih. Pertama, Wilayatul Faqih dipahami dari ayat yang berbunyi, “ Nabi saw lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka.” Artinya Nabi lebih berhak atas apa yang dimiliki orang-orang  mukmin dari diri mereka. Oleh karena itu, Nabi saw tidak hanya berhak atas harta orang-orang mukmin bahkan beliau berhak atas nyawa mereka sekalipun, meski bukan untuk maslahat umum.

Meski penjelasan ayat di atas demikian, namun kita mengetahui bahwa Nabi saw sama sekali tidak pernah dan tidak akan melakukan atau menggunakan haknya sebagaimana penjelasan ayat tersebut. Bahkan beliau melarang hal ini lantaran beliau senantiasa mendahulukan kepentingan umum atau hak-hak orang lain dari pada dirinya. Terkait penafsiran pertama tentang Wilayatul Faqih sebagian ulama meyakini keistimewaan Nabi saw bahwa beliau lebih berhak atas harta dan nyawa orang-orang mukmin dari diri mereka berlaku juga kepada seorang faqih. Namun sosok seperti Nabi saw tidak akan memberlakukan hak istimewa ini kepada umatnya. Bolehkah seorang faqih menggunakan hak istimewa ini pada ranah pribadi seseorang?. Dalam pandangan imam Khomaini hak istimewa yang dimiliki Nabi saw tidak bisa berlaku pada seorang yang non maksum. Untuk itu, imam Khomaini menolak pandangan pertama tentang Wilayatul Faqih ini.

Pandangan kedua tentang Wilayatul Faqih ialah bahwa Wilayatul Faqih itu mutlak. Tidak terikat dengan syarat-syarat apapun dan wewenang mutlaknya harus digunakan untuk maslahat umum. Absolusitas wewenangnya tidak bisa dinegasi hukum sebelumnya. Sebagai contoh, seorang wali faqih tidak bisa merubah hukum kewajiban haji, tetapi bisa melarang pelaksanaan haji berdasarkan maslahat umum. Menurut Imam Khomaini, penentuan maslahat umum berada di tangan seorang wali faqih. Bila penentuan maslahat umum tidak dipegang seorang wali faqih, prinsip-prinsip wilayatul faqih akan hancur. Seorang wali faqih tidak bisa sekehendak hatinya melakukan segala hal, lantaran keputusan terakhir ada padanya. Namun, Wali faqih perlu bermusyawarah dengan para Dewan Ahli, meskipun keputusan terakhir berada di tangannya. Saya rasa ayat al Quran terkait Nabi saw yang berbunyi: “Jika tekadmu sudah bulat maka bertawakal lah kepada Allah swt.” bisa berlaku juga untuk seorang wali faqih.