Ibnu Khaldun dan Puing-puing Alcazar

Suatu hari pada 1364, seorang diplomat muda muncul di Istana Raja Kastilia (raja yang dikenang sebagai “Peter yang Kejam” bagi orang-orang yang menulis tentang sejarah lawan-lawannya dan keturunan mereka).

Diplomat muda itu, yang bernama Ibnu Khaldun (27 Mei 1332-19 Maret 1406), baru saja tiba dari Granada untuk mengunjungi Raja Peter di Sevilla, sebuah kota di negeri kekuasaannya dan juga kota tempat dia menyelesaikan pembangunan Alcazar yang baru. Kata Arab kuno untuk istana, yakni al-qasr, dipakai oleh orang Kastilia untuk menyebut tempat kediaman kerajaan yang baru dan melewah.

Pengerjaan plester dinding yang cermat dan canggih pada hampir setiap inci interior Alcazar belum lagi benar-benar kering, tetapi muslim utusan dari Granada ini telah merasa dirinya berada dalam ruangan yang dari segala segi penampilan bentuk istana-istana di kota Islam yang baru saja dia tinggalkan. Peter, salah seorang anak Alfonso XI dan keturunan dari Alfonso X “si Terpelajar”, yaitu kakek dari kakek Peter yang juga meninggal di kota ini, memang pantas membanggakan contoh kekayaan, selera, dan visinya tersebut. Ketiga orang inilah yang dipamerkan dalam karya kehormatan rakyat Seville dengan gaya arsitektur Spanyol paling mutakhir itu.

Ibnu Khaldun pasti tidak dapat menghindari kenyataan, bahwa istana-istana Peter yang baru, bagian pelengkung dengan kisi-kisi berbentuk cuping, ditambah ornamen Arab yang berwarna putih bersih di setiap sela-selanya, mencerminkan penghormatan besar terhadap corak gaya Kerajaan Nasr, saat itu Ibnu Khaldun adalah utusannya.

Di sana, di atas dataran terbuka yang langsung tersiram sinar matahari, yang terletak bersebelahan dengan Masjid al-Muwahhid lama nan megah di Sevilla –masjid ini lebih dari seratus tahun lalu telah dialihfungsikan menjadi gereja Katedral di ibu kota kerajaan Kristen –dapat dirasakan nuansa istana-istana yang mirip benteng, yang berdiri di daerah terpencil puncak pegunungan bebatuan di Granada, yang merupakan kerajaan Islam terakhir dan menyendiri di wilayah Semenanjung Iberia.

Ibnu Khaldun bukanlah warga Andalusia, meskipun sebenarnya dia memiliki darah keturunan Andalusia. Syahdan, nama Arab dengan akhiran un (seperti Ibnu Khaldun) merupakan ciri khas nama penduduk semenanjung yang paling awal memeluk Islam. Keluarga Ibnu Khaldun yang kaya dan terkemuka melarikan diri dari wilayah Sevilla, kampung asal mereka, pada tahun-tahun terakhir kekuasaan rezim al-Muwahhid yang sarat dengan kecabuhan, dan kemudian keluarganya menetap di Tunisia. Ibnu Khaldun muda yang sedang berada di puncak karier berkesempatan mengunjungi Granada ketika dia ditugaskan ke Sevilla (Khaldun 1969).

Kita jelas dapat membayangkan pengaruh perjalanan ini pada pembentukan jiwa sejarawan muda nan brilian itu, yang mengetahui sejarah Andalusia dari pelbagai bacaannya, dan dari cerita-cerita keluarganya. Ibnu Khaldun tiba di tanah kelahiran nenek moyangnya itu lebih dari satu abad pasca kemenangan kerajaan-kerajaan Kristen, di bawah kepemimpinan Kerajaan Kastilia, atas Kerajaan Almohads dan berhasil menguasai seluruh kota besar di Andalusia kecuali satu, yakni kota yang terletak di pegunungan terjal yang terpencil, Granada, tempat Ibnu Ahmar, yang bersekutu dengan Ferdinand III –raja yang dibantunya merebut Kordoba dari kaum al-Muwahhid–menahbiskan dirinya sebagai raja.

Pemandangan yang dilihat Ibnu Khaldun di Sevilla kemungkinan besar tidak seperti yang dia harapkan, dan bisa jadi tak seluruhnya sama dengan apa yang diajarkan di tanah kelahirannya, Tunisia.

Di Granada, tempat yang agak terasing dan jenjam, keturunan Ibnu Ahmar, keluarga Nasr, memiliki kesempatan, uang, dan ambisi untuk membangun rumah kediaman yang sani memikat di puncak pegunungan milik mereka, yakni istana-istana yang berdinding mutiara putih di bagian dalam dan tembok bata merah di bagian luar. Hal ihwal ini adalah kemenangan mereka di tempat pengepungan yang mirip Iliad, “Alhambra”, yang memantulkan corak perpaduan warna merah putih bangunan Masjid Raya Kordoba, dan menjadi saksi akan visi kesendirian mereka sebagai pemerintahan Islam terakhir dari Kekhalifahan Umayyah yang pernah sangat jaya (Enan 2013).

Di Sevilla yang dahulunya menjadi ibu kota pemerintahan al-Muwahhid, Alcazar (istana) Peter berdiri berdampingan dengan masjid yang dahulunya didirikan Dinasti al-Muwahhid dan telah diubah menjadi Katedral, yang di sana juga menjadi tempat makam Santa Ferdinand dan juga anaknya yang meninggal di kota ini. Puing-puing kekaisaran yang pernah sangat masyhur ini telah membangkitkan secara luas visi-visi sejarah yang dahsyat dan menggerakkan orang untuk merenungi persoalan sejarah itu sendiri.

Sejarawan Edward Gibbon menganggit momen inspirasi dan kebangkitan jiwanya secara puitis, “Adalah tatkala di Roma, pada 15 Oktober 1764, saat aku duduk merenung di tengah-tengah reruntuhan kota itu, sementara rahib-rahib bertelanjang kaki menyanyikan lagu-lagu kebaktian malam di Kuil Yupiter, muncul perdana dalam benakku ide untuk menulis kemunduran dan kejatuhan kota tersebut” (Roberts 2014).

Apa yang ada dilihat Gibbon pada puing-pung kebinasaan hampir seluruh negeri Andalusia pada pertengahan abad ke-14 pada saat rahib-rahib melantunkan lagu-lagu kebaktian mereka di masjid-masjid (yang sudah diubah menjadi gereja), reruntuhan yang mengingatkan visi Piranesi yang memenuhi pemandangan Roma semasa hidup Gibbon dan telah mendorong lahirnya enam jilid kitab berjudul The History of the Decline and Fall of the Roman Empire (Gibbon 2001).

Ibn Khaldun tidak meninggalkan satu karya pun yang melukiskan momen dramatis terjadinya perubahan Andalusia seperti halnya Gibbon, tetapi hampir dapat dipastikan bahwa perjalanannya pada 1364-1365 di negeri Andalusia ini telah membantu membentuk kepekaan sejarah yang luar biasa bagi filsuf sejarah yang paling berpengaruh itu, yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Arab. Lelaki ini –yang menuliskan dengan fasih bahwa tugas seorang sejarawan bukan hanya memafhumi fakta-fakta, melainkan juga bentuk-bentuk sejarah dan politik–mengamati secara langsung pelbagai peristiwa perang sipil yang berlangsung tragis dan tiada habis-habisnya di seluruh tempat di sekitarnya, yang sebagian baru saja berakhir, sedangkan sebagian lain baru mulai meletus.

Tidak seperti Romawi yang digambarkan Gibbon, Andalusia yang telah menjadi puing-puing, yang dilihat Ibn Khaldun ialah sebuah tempat yang tidak hanya disarati rumah-rumah ibadah terlantar yang kemudian diambil alih oleh rahib-rahib bertelanjang kaki, tetapi selain itu, tempat ini juga sarat dengan rumah-rumah ibadah model anyar yang mencontoh gaya dan budaya lama yang dikalahkan, dan tempat-tempat yang tidak terbayangkan sebelumnya, seperti Alcazar di Sevilla.

Kini kita bertanya: momen sejarah apakah, dan bayangan masa lalu dan masa depan apa yang berkelebat di benak Ibn Khaldun di Granada, dan kemudian di Sevilla pada pertengahan abad ke-14?

Charlotte Roberts, Edward Gibbon and the Shape of History (Oxford: Oxford University Press, 2014).

Edward Gibbons, The History of the Decline and Fall of the Roman Empire, 6 Jilid (Penguin, 2001).

Ibn Khaldun, The Muqaddimah: An Introduction to History, Terjemahan [dari bahasa Arab]: Franz Rosenthal (Princeton: Princeton University Press, 1969).

Muhammad Abdullah Enan, Biografi Ibnu Khaldun: Kehidupan dan Karya Bapak Sosiologi Dunia, Terjemahan [dari bahasa Inggris]: Machnun Husein, (Jakarta: Zaman, 2013).