Al-Ghazali: Sang Pembaharu Islam

Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, lahir 19 desember 1111.  Ia adalah guru besar umat Islam dari dahulu hingga sekarang dengan gelar Hujatul Islam karena menulis karya-karya yang berkualitas, mendalam, dan paparan tajam yang bisa dinikmati oleh pelbagai kalangan umat dan mazhab, bahkan para ilmuwan dari Barat. Tidak sedikit orang-orang barat yang terpengaruh al-Ghazali seperti Margaret Smith yang sengaja menuliskan tentang kehidupan pribadi dan kehidupan intelektualnya. Margareth Smith melihat bahwa kehidupan Ghazali sangat menarik untuk menyegarkan kehidupan materialisme barat.

Orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya adalah adiknya sendiri, Ahmad al-Ghaz ali seorang pengamal sufi. Metode keraguannya yang sangat menarik bagi siapapun dan itulah yang telah mengubah kehidupan intelektual dan spiritualnya, dan ia menggambarkan proses keraguan itu dalam kitab al-Munqid min Dhalal.

Hal lain yang membuatnya terkenal adalah sikap kritis dan kritikan yang keras terhadap filsafat. Menurutnya dalam tiga hal, Ibnu Sina bisa menjadi kafir. Dan ia bukan sembarang pengkritik tapi benar-benar seorang pengkritik yang telah mempersiapkan diri dengan penguasaan yang mendalam terhadap filsafat. Ia menulis kitab al-Maqashid falasifah sebagai basis pemikiran filsafatnya. Ghazali memanfatkan filsafat untuk mengkritik filsafat. Ia hanya anti dengan filsafat, tidak anti logika berbeda dengan Ibnu Taymiyah yang anti logika dan juga anti filsafat.

Namun menurut Mulla Sadra, Ghazali sedang melakukan takiyah mengingat di zaman itu suhu keilmuan sedang memusuhi para filsuf. Mulla Sadra adalah  pengagumnya, karena sering sekali mengutip secara verbatim teks al-Ghazali dalam kitabnya. Guru-guru Mulla Sadra yang sering dikutip selain Ibnu Arabi adalah Al-Ghazali.

Mulla Sadra mengatakan: “Yang hak dan verifikasi yang tepat adalah bahwa al-Ghazali  dalam sebagian besar prinsip agama dan prinsip imannya selalu mengikuti para filsuf  dan banyak mengambil manfaat dari keyakinan-keyakinan para filsuf tentang hal ihwal eskatologi dan menganggapnya sebagai pendapat yang paling otoritatif dan lebih kuat diterima akal dan juga lebih bersih dari keragu-raguan. [1]

Setelah lama tinggal di Bagdad, Al-Ghazali  pergi ke Damaskus dan tinggal di kota itu selama dua tahun. Kemudian ia melakukan i’tikaf di (masjid) Jami Damaskus dan melakukan riyadhah di menara barat Masjid.  Dari Syam melanjutkan perjalanannya menuju  Baytul Maqdis  dan untuk selang beberapa lama ia menyendiri (khalwat) melakukan riyadhah di tempat tersebut.   Dan juga melakukan ziyarah ke turbat al-Khalil (Ibrahim) as. Dan di depannya ia berjanji bahwa ia tidak akan lagi mendatangi sultan atau tidak akan lagi menemui raja-raja.  Tapi tampaknya janji ini tidak ditepati, karena ia kemudian datang ke sultan Sanjar atas undangan Sultan tersebut.  Ghazali diminta kembali mengajar di Naysabur  dan mengajar di Nizamiyah untuk kedua kalinya  dan terus menerus melakukan  perdebatan kalam.

Ghazali dekat dengan sultan-sultan karena selain ia memang orang pintar yang menakjubkan semua orang dan juga karena Ghazali punya pandangan bahwa negeri-negeri Islam lebih baik dipimpin dan memiliki sistem daripada tidak sama sekali. Dalam kitab Politiknya Ghazali, dijelaskan: “Seandainya Ghazali bersikap lembut terhadap para Sultan, itu dikarenakan ia ingin mengkritik sultan sebagai bagian dari kewajiban agama. Ghazali berpandangan bahwa khilafah adalah keniscayaan  meskipun begitu bisa saja seorang khalifah tidak memenuhi syarat. Tapi sebagian mengatakan bahwa sikap toleran Ghazali kepada Sultan justru untuk memperlihatkan ketidaklayakan Sultan  al-Mustadhir. “[2]

Al-Gazali mengklasifikasikan kitabnya menjadi beberapa bagian.  Pertama, kitab yang khusus untuk orang awam. Kedua, kitab yang ditujukan untuk orang-orang khas dan kitab jenis kedua ini tidak boleh diajarkan kepada yang bukan ahlinya.  Ketiga, yang bahkan orang khas pun tidak boleh mengaksesnya, kitab-kitab jenis ketiga ini yang tidak sampai ke tangan kita, namun al-Ghazali menyebutkan dalam fehrest-nya. Sebagian mengatakan bahwa Ghazali adalah Rumi yang tidak pernah sampai pada Syam Tabrizi. Syam Tabrizi adalah guru penting  Rumi. (SN)

CATATAN:

[1]Mulla Sadra, Mabda wal Ma’ad , 297 dikutip dari karya Ibrahim Dinani tentang Mantiq Makrifat al-Ghazali.

[2]Lous, Kitab Siyasat wa Ghazali, juz 1, h. 169 dikutip dari buku Mantiq Makrifat Ghazali, karya Ghulam Muhsin