Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Gus Baha' dan Persiapan Bulan Puasa di Tengah Virus Corona

1 Pendapat 05.0 / 5

Nisfu Sya’ban di depan mata. Ini artinya, Ramadan atau bulan puasa sudah hampir tiba. Tidak seperti biasanya, yang selalu ramai dan hiruk pikuk menyambut Ramadan dengan nyadran, doa bersama, ziarah, hingga padusan, bulan Sya’ban atau Ruwah kali ini, alam dan takdir meminta kita diam dan menyepi. Mengapa?

Tak lain jawabnya karena virus Corona atau Covid-19 yang masih enggan meninggalkan Indonesia dan dunia ini secara umum. Bahkan saat Ramadan nanti masih jika virus ini masih “betah”, otoritas pemerintah, ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah sudah mengeluarkan imbauan untuk salat Tarawih dan salat Idul Fitri di rumah masing masing.

Lebih dari itu, sebagai upaya pencegahan penularan-nya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan bahwa petugas medis boleh tidak berpuasa Ramadan karena beban pelayanan yang tinggi, seiring terus meningkatnya jumlah pasien Covid-19. Pemerintah dan juga beberapa ormas Islam juga membuka  Call Center Peduli Covid-19 yang berguna menampung dan berbagi informasi informasi penting terkait Covid-19.

Sayangnya saat petugas medis, dokter, dan perawat mengabdi total untuk masyarakat Indonesia, tidak sedikit orang yang menganggap sepele virus mematikan ini dengan mengatakan begini, “Sekarang itu ya, orang orang tidak mau bersalaman tidak mau salat berjamaah di masjid, banyak orang Islam  lupa dengan Islamnya.”

“Dari dulu itu ada yang namanya pagebluk (wabah), pemerintah, dan media sekarang ini banyak yang membesar besarkan padahal sebenarnya juga biasa saja, nanti juga kalau sudah waktunya hilang, ya hilang sendiri, “ sebagian yang lain membandel dengan mendengung begitu.

“Ini bisa dikategorikan apa ya? Nekat, bodoh, pasrah, bregudul, karepe dewe, koplak, sontoloyo, sombong atau apa?” saya membatin saja.

Entahlah yang jelas ngomong tidak didasarkan data dan memang sudah karakternya mungkin selalu membuat pembenaran sendiri. Sangat jelas media menginformasikan fakta bahwa sampai saat ini (tanggal 5 April dini hari WIB) angka kematian disebabkan Covid-19 mencapai 198 orang di Indonesia dan di Italia lebih dari angka 15.000 untuk korban meninggal. Sementara total korban di dunia sudah mencapai 64.804 dari satu juta dua ratus lebih kasus positif seluruh dunia (Sumber: CNN Indonesia). Inilah data yang riil yang harusnya menjadi kewaspadaan dini bagi masyarakat Indonesia tentang memang sangat berbahayanya virus Covid-19. Jangan lagi ada yang bilang, “Di sini tidak ada kok!”.
-------

-------
Orang Bregudul (Bandel)

Ngomongin orang yang bregudul (bandel) ini pernah dibahas oleh Gus Baha’ saat ngaji Tafsir Jalalain, di mana orang bregudul (bandel) selalu mutanganud (mempersulit perkara), semaunya sendiri selalu membuat ukuran-ukuran yang sulit, berbeda, bahkan bertentangan dan melawan. Oleh karenanya Gus Baha’ memberi resep untuk berdialog dengan orang bregudul kita harus pandai berhujah (alasan, argumentasi, jawaban, bukti).

Gus Baha’ mencontohkan jika ada teman yang bilang “Kalau kamu benar benar sahabatku, pinjami aku uang”, maka jawabnya mudah, ”Jika kamu yang membuat ukuran persahabatan dinilai dari kedermawanan maka harusnya sebaliknya, kamu yang memberi saya uang”. Karena konsekuensi membuat ukuran adalah memberi contoh kebaikan yang bersambung.

Ada juga cerita saat Nabi ditanya orang bregudul, “ Mad, agamamu itu aneh, hewan yang mati langsung dibunuh Tuhanmu (bangkai), kamu haramkan, sedangkan yang kamu sembelih sendiri kamu halalkan. Agamamu itu sangat aneh.”

Akhirnya dijawab sahabat, “Ya sudah kalau menurut kamu bangkai itu halal, kamu makan sendiri.”

Termasuk dalam hal kiamat orang bregudul sering bertanya, “Katanya Nabi Muhammad kiamat sudah dekat, tetapi sampai sekarang belum juga kiamat.” Maka hujah yang dibangun harusnya kecerdasan statistik, karena seperti yang disampaikan Gus Baha’ bahwa kehidupan di dunia dari awal sampai akhir dibandingkan dengan keabadian akhirat hanya delapan menit. Artinya di dunia hanya sementara dan singkat maka jelaslah kiamat hanya menunggu hitungan waktu sedangkan kehidupan yang abadi ada di alam akhirat.

Orang bregudul selalu melihat kebenaran dengan cara pandang sendiri dengan ukuran kebenaran-nya sendiri maka kita harus pandai berhujah, apalagi di tengah pandemi ini yang terus bertambah penyebarannya, maka kita harus taat pada aturan pemerintah, bekerjasama dengan baik, berbagi hal hal yang positif dan tetap di rumah jika tidak ada hal darurat yang memaksa diri harus keluar rumah.

Ikatlah untamu kemudian bertawakkallah ( إِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ ) Ini merupakan bagian dari ikhtiar, ikhtiar melawan Covid-19 dengan jaga jarak, di rumah saja, dan menghindari kerumunan, maka saat ada orang bregudul menganggap remeh virus Covid-19 hujahnya sederhana, “Kamu memang kebal pada virus tetapi kamu juga punya Tuhan yang bisa menakdirkan apapun pada kesehatanmu, kamu memang kebal tetapi minimal jangan membantu mempermudah tertularnya virus ke orangtua dan balita yang ujung ujungnya merepotkan tenaga medis, masyarakat dan negara.”

Kemudian fokuslah pada masyarakat dan keluarga di sekitar kita untuk berperilaku hidup sehat karena menuruti orang bregudul tidak akan ada ujungnya.
--------

--------
Hikmah Covid-19

Menyiapkan diri, Ramadan dan Idul Fitri bersama Covid-19? Tidak cukup hanya dengan hujah yang kuat melawan kebandelan sebagian orang, tetapi juga mengambil hikmah dengan adanya Covid-19. Hikmah pertama, kita menyadari bahwa kita makhluk yang lemah (insan dhoif), hanya dengan bersin dan batuk saja kita bisa meninggal.

Hikmah yang kedua, memahami hakikat manusia tidak bisa hidup sendiri, kita menjaga kesehatan tetapi saat orang lain tidak menjaga kesehatan maka kita pun bisa tertular penyakit.

Hikmah yang ketiga adalah manusia bukan makhluk yang paling kuat ini terbukti hanya dengan virus kecil Covid-19 sudah puluhan ribu nyawa begitu mudah melayang. Sudah saatnya makhluk Tuhan yang kecil ini mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Hikmah keempat, sebagai hikmah yang terakhir (Anda bisa meneruskan hikmah-hikmah yang lain), adalah Covid-19 sebagai pemanasan kita menjelang datangnya puasa di bulan Ramadan dengan diterapkannya isolasi diri, jaga jarak, dan di rumah aja, ini semacam puasa yang tetap makan dan minum. Nah! Ini secara tidak langsung memberi hikmah luar biasa di mana ternyata puasa bukan seremonial menahan lapar dan haus saja tetapi hakekatnya juga menahan diri dari lidah dan fisik yang menyakiti orang lain, menjaga jarak dari semua kemaksiatan kemaksiatan dunia dan menghindari memakan makanan yang haram juga menjauhi sifat rakus, sombong dan kufur terhadap nikmat Allah.

Mari bersiap diri menyambut Ramadan bersama Covid-19, di tengah lantunan doa yang yang tiada henti semoga segera hilang musibah ini dan umat manusia selalu dalam rida-Nya. Harapan besar Covid-19 hilang detik ini, tetapi jikapun masih membersamai sampai di bulan Ramadan dan Idul fitri, semoga isolasi diri bisa membantu memaknai arti puasa yang sebenarnya. Semoga rahmat dan maghfirah Allah untuk kita semua.