Pesan Agar Tidak Takut Pada Kematian

Sebentar lagi bulan ramadhan, agen-agen perjalanan seperti pesawat, kereta api, bis sudah satu dua bulan lalu menawarkan penjualan tiket untuk pulang lebaran. Ini tidak aneh sebab dari tahun ke tahun acap kali sebelum masuk bulan puasa tiket pun sudah habis. Masyarakat sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri sehingga bisa merayakan idul fitri di kampung halaman.

Sebelum melakukan bepergian, pulang kampung setahun sekali, atau perjalanan panjang lainnya, seseorang sangat dianjurkan untuk melakukan persiapan. Melakukan persiapan adalah tindakan sesuai aqal sehat, jadi sebenarnya tanpa diberikan anjuran pun, semua orang mengetahui pentingnya bersiap-siap sebelum pulang. Sebagian orang melakukan persiapan sebaik mungkin, detail perjalanan dia pelajari, kebutuhan tiket, ongkos selama perjalanan, baju yang harus dibawa, baju untuk anak-anak, untuk dirinya sendiri, semua hal satu per satu ia persiapkan dengan baik, berusaha maksimal agar tidak ada yang terlupakan, dimana jika masih ada yang tertinggal, maka akan sangat mengganggu dan menyiksa. Hal ini dilakukan sebagai persiapan sehingga perjalanan akan lancar sampai tujuan.

Ketika perjalanan menggunakan mobil pribadi, bensin sudah ada, sopir pun siap sedia, ban dan semua kebutuhan jika tiba-tiba bocor sudah disiapkan oleh sopir, sopir juga ahli dibidang mesin mobil andai mobil mogok dijalan dan jauh dari tempat reparasi dia bisa mengatasinya. Dengan kondisi ini maka kita akan tenang menikmati perjalanan.[1]Kita merasa takut dan khawatir.

Orang mati juga sama, beberapa orang seperti Nabi, Ahlul bait beliau, para ulama yang menjaga diri, mereka sama sekali tidak takut dengan kematian. Bahkan merindukan kematian itu sendiri, dengan kematian menjadi lebih dekat dengan kekasih sejati. “Ma raitu illa jamila”, Kematian adalah sebuah keindahan, apalagi kamatian sebagai seorang syahid. Mati di jalan Allah Swt.

Mengapa orang-orang diatas tidak takut kematian, alasannya sama dengan kita yang ingin melakukan perjalanan dan sudah mempersiapkan segala hal yang kita butuhkan sebaik mungkin. Dalam kaca budaya kita sering kita dapati seseorang ayah yang hampir mati berkata, “Aku sudah lega menjemput maut karena engkau sudah menikah, anakku”, atau ada adegan lain dimana seseorang hampir mati dan dia sudah merasa lega karena sudah membalas dendam kematian orang tuanya, adegan-adegan semacam ini menurut hemat penulis adalah sebuah pendidikan tidak langsung yang kurang tepat terkait persiapan kematian.

Dalam sejarah kita juga membaca ribuan orang prajurit harus berkorban demi ambisi penguasa, berperang menyambut kematian tanpa membawa bekal yang cukup sebelum menyongsongnya. Berperang karena sebagai prajurit sudah mendapatkan gaji dari pemerintah, berperang demi membalaskan dendam saudara atau teman sebatalion, berperang dan mati demi tetap menjaga kekayaan para penguasa dan raja diraja yang memimpin kerajaan atau negara berkembang (Developed Countries), membawa bendera “demi mengurangi kemiskinan dan memajukan” Negara miskin (Less-Developed Countries), menjadi agen penyalur dana korporasi-korporasi raksasa, mati karena warga pribumi tidak ingin negaranya menjadi budak bank dunia lalu membunuhnya.

Di Indonesia kita juga memiliki catatan sejarah, kematian ribuan orang di tahun 1965, sejarah kelam bangsa yang hingga kini belum ada kejelasan didalamnya, dalam waktu beberapa hari, orang-orang yang bertanda tanggan digaruk malam dan dini hari, tanpa mengerti kesalahan apa yang sudah mereka lakukan. Mati berkalang tanah dan tidak ada yang menjadi saksi atas kepergian mereka.

Sekarang ini puluhan, ratusan atau bisa sampai ribuan orang mati[2] tanpa kesiapan menghadapi kematian itu sendiri, mereka berjuang keras untuk bertahan hidup namun garis kemiskinan tidak membiarkan mereka untuk terus bernafas. Mereka ingin hidup namun ebola, sars, hiv aids, corona merenggut hak hidup itu dari mereka, mereka pun tiba-tiba harus menghadapi kematian, kematian datang sebelum persiapan matang dilakukan.

Kematian adalah kesendirian, kematian adalah amal pribadi, kematian adalah antara seorang hamba dengan sembahannya. Orang tua, saudara, kawan, harta tidak bisa menolong seseorang apalagi dalam menghadapi siksa kubur. Satu-satunya penolong adalah bekal masing-masing pribadi.

Ulama besar Iran, tidak sedikit yang mengulang-ulang hadis tsaqalain, wasiat Nabi untuk berpegang kepada Quran dan Ahlul bait keluarga Nabi, diulang bukan agar hadirin hapal terhadap hadis itu semata, lebih dari itu agar menyadari betapa isi kandungan hadis ini sangatlah penting. Bahwa dengan berpegang teguh terhadap alquran dan ahlul baitlah setiap orang akan menjadi aman, tidak akan ketakutan menghadapi kematian, berpegang teguh dengan dua mutiara sangat bernilai ini bermakna memiliki amalan yang di ridoi Allah, bergabung kedalam barisan orang-orang yang mencintai dan dicintai Allah Swt.

CATATAN:

[1] Disarikan dari pesan akhlak yang disampaikan Syaikh Mohsen Qiroati.

[2] Penduduk Yaman akibat serangan beberapa tahun Kerajaan Arab Saudi menderita kemiskinan dan kekurangan pangan, anak-anak dan orang-orang tak bersalah terkena bom dari senjata mutakhir penjaga Haramain Makah dan Madinah ini. Rakyat miskin di Benua Afrika bahkan ada yang memakan tanah untuk mengelabui kebutuhan mereka pada pangan, warga Gaza setiap hari mendapat teror penjajah sadis Israel negara boneka Ameria dan berbagai titik lain di Dunia setiap hari harus berhadapan dengan ancaman kematian yang tak pernah berhenti mengintai.