Napak Tilas Jejak Sayidah Nargis, Ibunda Sang Juru Selamat, Al-Mahdi afs (Bag 2)

Artikel ini lanjutan dari bagian pertama mengenai “Napak Tilas Jejak Sayidah Nargis, Ibunda Sang Juru Selamat, Al-Mahdi afs”  dengan subtema; Silsilah Keturunan; Sang Putri Romawi dan Keturunan Syam’un, Washi Nabi Isa as, Pendidikan dan Perjodohan Sang Putri, Mimpi Sang Putri dan Ditawannya Sang Putri sebagai berikut;

Utusan dari Samara; Proses Pembebasan Sang Putri

Pada masa Mu’tashim Abbasi pusat pemerintahan dipindahkan dari Bagdad ke Samara, dan pada tahun 235 HQ Imam Ali al-Hadi as, dengan tekanan penguasa dipaksa untuk tinggal di Samara. Kota Samara juga menjadi markaz militer, semua gerak-gerik Imam Ali al-Hadi dipantau ketat oleh intel.

Imam Ali al-Hadi as bertetangga dengan Basyar bin Sulaiman yang merupakan keturunan dari Abu Ayyub al-Anshari sahabat Nabi saw. Basyar juga merupakan pecinta Imam Ali al-Hadi as dan kepercayaannya beliau. Ia bekerja sebagai penjual-beli budak, ia dipanggil oleh Imam Ali al-Hadi as bertugas untuk membeli Putri Malika yang saat itu berada di tempat penjualan budak.
Basyar menceritakan bahwa pada saat itu Imam as menulis surat dengan bahasa Romawi dan memberikannya stempel. Beliau menyerahkan surat itu sembari memberikan tempat uang yang berisikan 220 Dinar seraya berkata, “Ambilah surat dan uang ini, lalu berangkatlah ke Bagdad! Datanglah pada pagi hari ke tepian sungai Furat, pada saat itu akan terlihat perahu-perahu menepi di tepi Sungai Furat dan para budak akan diturunkan di sana… Diamlah di tempat yang tidak jauh dari sana, kemudian pantaulah seorang penjual budak yang bernama Umar bin Yazid, perhatikan ia dalam penjualannya, sampai ia menawarkan seorang budak perempuan yang mengenakan dua pakain sutra. Budak perempuan tersebut selalu berusaha menjauhkan dirinya dari para pembeli dan melarang mereka untuk memandangnya…”

Imam as menjelaskan semua yang akan terjadi di arena penjualan budak tersebut, beliau juga memberikan petunjuk dan arahan untuk membawa Putri Malika ke Samara, dan harus bergerak cepat. Basyar bin Sulaiman mendengarkan semua arahan dan petunjuk Imam as dengan seksama, kemudian dia pun memulai perjalanannya menuju Bagdad.

Sesampainya di dekat sungai Furat, ia menyaksikan semua kejadian yang telah diceritakan Imam Ali al-Hadi as kepadanya. Ia pun menemukan Umar bin Yazid, penjual budak dan budak perempuan (Putri Malika) yang ciri-cirinya telah disebutkan oleh Imam as.
Kharismatik dan kesucian Sayidah Nargis menarik perhatian para pembeli, namun Sayidah Nargis menolak mereka dengan menutup wajahnya. Umar bin Yazid dengan emosi dan kasar memintanya untuk membuka penutup wajahnya. Namun Sayidah Nargis menolaknya dan memohon kepadanya agar mengizinkannya untuk tidak membuka penutup wajahnya. Ia pun meminta agar memberikan waktu untuk menunggu pembeli yang diinginkannya. Umar bin Yazid pun akhirnya dengan berat hati menyetujuinya.

Salah seorang pembeli tertarik dengan kharisma Sayidah Nargis dan menawarnya membeli dengan harga tertingi, 300 Dinar.
Sayidah Nargis menoleh ke arah pembeli dan berkata dengan Bahasa Arab, “Jika pun engkau seperti Nabi Sulaiman dan memiliki kemegahan sepertinya, aku tidak akan tertarik denganmu, lihatlah hartamu, jangan kau keluarkan untuk hal ini!”
Penjual budak kecewa dengan jawaban Sayidah Nargis dan berkata, “Wahai gadis, apa solusimu, aku tetap harus menjualmu?”
“Sabarlah dan janganlah tergesa-gesa, aku harus memilih pembeli yang akan membuat hatiku tenang. Pembeli yang aku yakin akan keamanahannya dan agamanya.” Jawab Sayidah Nargis.

Pada saat terjadi perdebatan antara Sayidah Nargis dan Umar bin Yazid, Basyar bin Sulaiman pun berjalan mendekati Umar bin Yazid seraya berkata, “Aku membawa surat dari seorang pembesar yang ditulis dengan bahasa Romawi. Dalam surat tersebut ia menjelaskan tentang kemuliaan, kedermawanan, keutamaan dan keamanahannya dalam menepati anji. Ambilah surat ini, berikan kepadanya agar ia mengetahui akhlak dan kemulian penulisnya. Jika ia menerimanya, maka aku akan menjadi wakil dari pemilik surat ini untuk membelinya.”

Umar bin Yazid tidak punya lagi cara lain untuk dapat menjualnya kecuali ia harus menyetujuinya. Kemudian ia pun menyerahkan surat kepada Sayidah Nargis. Sayidah Nargis kemudian membuka dan membaca isi surat tersebut, beliau menangis bahagia saat membacanya, karena penantiannya akan berakhir. “Juallah aku ke pemilik surat ini!” pinta Sayidah Nargis.

Umar bin Yazid pun akhirnya menjual budaknya ke Basyar bin Sulaiman dengan harga yang telah ditentukan oleh Imam Ali al-Hadi as, 220 Dinar. Sayidah Nargis nampak sangat bahagia, kemudian beliau berangkat menuju Bagdad bersama utusan Imam Ali al-Hadi as tersebut. selama perjalanan Basyar bin Sulaiman menyaksikan Sayidah Nargis berkali-kali mengeluarkan surat Imam Ali al-Hadi as, menciumnya dan mengusap-ngusapkan ke tubuhnya untuk bertabarruk. Basyar bin Sulaiman heran menyaksikan hal tersebut dan berkata, “Aku heran, bagaimana engkau berkali-kali mencium surat ini padahal engkau tidak mengenal pemiliknya?”

“Wahai yang tidak mengenal kedudukan Kuturunan para nabi, dengarkan baik-baik, perhatikan kata-kataku, Aku adalah Putri Malika, putri Yusya’ yang merupakan putra Kaisar Romawi Timur… “ jawabnya sembari menceritakan tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di istana Romawi dan mimpi-mimpi benar yang dialaminya hingga akhirnya menjadi tawanan dan dijual di pasar budak.

Setelah mendengar semua cerita Sayidah Nargis, pandangan dan pemikiran utusan Imam as ini pun berubah. Ia sekarang dapat memahami tentang rahasia misi pentingnya ini. Ia memberikan perhatian lebih dan berusaha keras dalam menjaga amanahnya. Sampainya di kota Samara, ia pun bergegas cepat untuk menyampaikan amanat tersebut kepada pemiliknya, Imam Ali al-hadi as.[12]

Perkenalan dan KeIslaman Putri Malika

Imam Ali al-Hadi as menyambut kedatangan Sayidah Nargis dengan hangat. Kemudian beliau berdialog dengannya.
“Bagaimana Allah menunjukkan kepadamu keagungan Islam dan kemuliaan Ahlulbait Nabi Muhamad saw?” tanya Imam as.
“Wahai putra Rasul, bagaimana aku dapat menceritakannnya sedangkan engkau lebih tahu dariku.” Jawab Sayidah Nargis.
“Aku ingin berbuat baik kepadamu, pilihlah yang engkau sukai; 10.000 Dirham ataukah kabar gembira yang akan memberikan kemulian abadi kepadamu?” tanya Imam as lanjutnya.
“Aku memilih kabar gembira.” Jawab Sayidah Nargis.
“Aku memberikan kabar gembira kepadamu bahwa engkau akan memiliki seorang putra pemilik Timur dan Barat seluruh dunia. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan setelah sebelumnya bumi dipenuhi dengan kezaliman.” Lanjut Imam as.
“Siapakah ayah anak itu?” tanya Sayidah Nargis.
“Pada mimpi pertamamu, setelah peristiwa di istana, dari siapa engkau telah dilamar?” ucap Imam Ali al-Hadi as balik bertanya.
“Dilamar dari Nabi Isa dan washinya, Syam’un.” Jawab Sayidah Nargis.
“Nabi Isa dan Syam’un menyetujuimu untuk dinikahkan dengan siapa?” lanjut Imam as.
“Dengan putramu, Abu Muhamad.” Jawabnya.
“Apakah engkau telah mengenalnya?” tanya Imam as.
“Sejak pada suatu malam aku memeluk Islam melalui ibundanya, Sayidah Fathimah, aku mengenalnya dan ia mendatangiku dalam mimpi.” Jawabnya.

Setelah dialog, kemudian Imam Ali al-Hadi as menyuruh pelayannya untuk memanggil Sayidah Hakimah, saudarinya. Tidak lama kemudian Sayidah Hakimah datang menghadap saudaranya.

“Saudariku, perempuan ini adalah orang yang telah aku ceritakan kepadamu.” Ucap Imam Ali al-Hadi kepada Sayidah Hakimah.
Sayidah Hakimah kemudian memeluknya dengan penuh rindu dan bahagia, ia tak melepaskan pelukannya dengan cepat, telah beberapa lama ia menanti pertemuan ini. Imam Ali al-Hadi as pun kemudian memperkenalkan Sayidah Hakimah kepada Sayidah Nargis. Imam Ali al-Hadi as meminta Sayidah Hakimah untuk membimbing Sayidah Nargis.

“Saudariku, ajaklah ia ke rumahmu, ajarkan Islam kepadanya, ajarkan kewajiban, sunah dan adab Islam kepadanya, karena ia akan menjadi istri Abu Muhamad dan Ibu al-Mahdi.”[13]

Sayidah Hakimah wanita yang sangat agung, semua kemuliaan, keutamaan, ibadah, ketakwaan, keilmuan, hikmah berkumpul padanya. Beliau merupakan penjaga rahasia keimamahan[14].

Imam Ali al-Hadi as memberikan tanggungjawab kepada Sayidah Hakimah untuk membimbing dan mengajarkan ajaran Islam kepada Sayidah Nargis. Di samping mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam, Sayidah Nargis juga mengenal tentang keagungan dan kemuliaan Abu Muhamad dari Sayidah Hakimah.

Pernikahan Sayidah Nargis

Imam Ali al-Hadi hidup di bawah tekanan dan kontrol ketat penguasa. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan putranya dan keberlangsungkan garis keimamahan, beliau sangat jarang menunjukkan putranya, Abu Muhamad di hadapan umum.

Sejak Sayidah Nargis tinggal di Samara, beliau tinggal di rumah Sayidah Hakimah dan hidup di bawah bimbingannya. Namun, hingga saat itu Sayidah Nargis belum pernah bertemu dengan Abu Muhamad, putra Imam Ali al-Hadi as yang telah dikenalnya dalam mimpi. Hingga suatu saat Abu Muhamad datang ke rumah bibinya. Tak sengaja pandangannya jatuh ke Sayidah Nargis yang tinggal di rumah bibinya, beliau tampak takjub dan kemudian memalingkan pandangannya. Sayidah Hakimah menangkap suasana tersebut dan memiliki alasan untuk mempercepat menikahkan Sayidah Nargis dengan kemenakannya. Apalagi Sayidah Hakimah melihat bahwa Sayidah Nargis sudah menguasai ajaran Islam dengan bimbingannya dan siap untuk menjadi istri kemenakannya.

“Tuanku, apakah engkau merasa cocok dengannya?” tanya Sayidah Hakimah

“Kami pengganti Nabi saw tidak memandang seseorang karena syahwat, namun karena rasa takjub, takjub atas anak yang akan lahir dari perempuan mulia ini.” Jawab Abu Muhamad.”[15]

“Tuanku, apakah aku harus membawa dia untuk menikah denganmu?” tanya Sayidah Hakimah.

“Dalam hal ini engkau harus meminta ijin kepada ayahku.” Jawab Abu Muhamad.
Setelah selesai bicara dengan bibinya, kemudian Abu Muhamad pun pamit pulang.

Sayidah Hakimah bersiap-siap untuk pergi menghadap Imam Ali al-Hadi as dalam rangka membicarakan pernikahan Sayidah Nargis dan kemenakannya. Setibanya di rumah Imam Ali al-Hadi as beliau mengucapkan salam dan memulai perbincangannya. Sebelum mulai bicara, Imam Ali al-Hadi as berkata, “Hakimah, bawalah Nargis untuk dinikahkan dengan Abu Muhamad, putraku!”

“Tuanku, untuk urusan ini juga aku datang menghadapmu, ingin meminta ijin kepadamu.” Jawab Sayidah Hakimah.

“Wahai orang yang diberkahi, sesungguhnya Allah mencintaimu, engkau turut mendapatkan pahala ini dan Allah menetapkan kebaikan untukmu.” Lanjut Imam as.

Sayidah Hakimah dengan sangat bahagia keluar dari rumah Imam Ali al-Hadi as dan pamit pulang. Setibanya di rumahnya, beliau menyampaikan kabar baik tersebut kepada Sayidah Nargis. Sayidah Nargis tak mampu menyembunyikan kebahagiannya. Kemudian Sayidah Hakimah menyiapkan Sayidah Nargis untuk melakukan prosesi pernikahan dengan kemenakannya. Prosesi pernikahan Sayidah Nargis dan Imam Hasan al-Askari dilakukan dengan sangat sederhana di rumah Sayidah Hakimah[16]. Kemudian setelah itu beliau berdua tinggal di rumah Imam Ali al-Hadi as dan memulai kehidupan rumah tangganya di rumah yang penuh berkah tersebut[17].

Sayidah Hakimah berkata, “Setelah pernikahan Nargis, tiap kali aku datang menemuinya, maka ia kan mencium dahiku dan aku pun akan mencium kepalanya. Ia juga mencium tanganku… ia akan berusaha membukakan alas kakiku, namun aku tidak mengizinkannya untuk melakukan hal itu. Aku akan mencium tangannya karena kedudukan dan kemuliaan yang Allah berikan kepadanya. Aku sangat menghormati dan memuliakannya[18].”

Kehidupan rumah tangga Sayidah Nargis dan Imam Hasan al-Askari sangatlah indah dan romantis meskipun banyak diterpa kesulitan karena kondisi yang mencekam. Imam Hasan al-Askari as penerus Imam Ali al-Hadi as yang syahid karena diracuni. Imam Hasan al-Askari as menjadi imam pada usia 22 tahun yang akan membimbing umat setelah ayahnya. Sayidah Nargis pun sebagai istri berusaha mempersiapkan dirinya untuk berkorban dan menerima semua bahaya dan ancaman yang akan menimpa suaminya.
Dimulai dari awal masa keimamahannya, penguasa memerintahkan untuk mengontrol dan mengawasi gerak-gerik Imam as dengan ketat. Imam Hasan al-Askari pun disuruh datang ke istana untuk melaporkan diri pada tiap hari Senin dan Kamis. Tidak cukup sampai di situ, bahkan kemudian surat perintah untuk menahan dan memenjarakan beliau pun dikeluarkan oleh penguasa.
Sayidah Nargis menghadapi semua kesulitan ini dengan ketangguhan dan kesabaran. Pada masa Imam as dipenjara, beliau berusaha menjaga semua rahasia Imam Hasan al-Askari as dengan baik. Pada masa-masa sulit tersebut, Sayidah Hakimah sering datang menemui Sayidah Nargis untuk menghibur dan berusaha sedikit meringankan beban berat yang ditanggung istri kemenakannya itu.

(Bersambung ke bagian ketiga dengan subtema; Kelahiran Yang Dijanjikan dan Malam 15 Sya’ban, Kelahiran Sang Juru Selamat; Putra Sayidah Nargis)

CATATAN:

[12] Ibid, hal 622-623

[13] Ibid, hal 625.

[14] Muntahal Amal, jil 2, hal. 625; Safinatul Bihar, jil 1, hal 294; Riyahan asy-Syariah, jil 4, hal. 157; Tim Peneliti Baqirul-Ulum, Banwane Nemune, hal.625.

[15] Dalailul Imamah, hal 269; Tim Peneliti Baqirul-Ulum, Banwane Nemune, hal.628.

[16] Ibid, hal 629

[17] Kamaludin, jil 2, hal 426; Biharul Anwar, jil 51, hal 11; Tim Peneliti Baqirul-Ulum, Banwane Nemune, hal.628.

[18] Dalailul Imamah, hal 289; Tim Peneliti Baqirul-Ulum, Banwane Nemune, hal.629.