Sayidah Khadijah, Istri Tercinta dan Cinta Sejati Rasulullah saw Bag 1

Artikel ini dibagi menjadi tiga bagian

(Bag.1)

Rasulullah saw bersabda, “Empat wanita penghuni surga terbaik ialah; Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhamad, Maryam binti Imron, dan Asiyah binti Muzahim, istri Fir,aun.”[1]

Nasab dan Kemulian Sayidah Khadijah as

Baik dari pihak ibu maupun ayah, Sayidah Khadijah as berasal dari keturunan Quraisy. Ayahnya bernama Khuwailid bin Asad Abdul ‘Uzza. Beliau berasal dari keturunan Qusay bin Kilab, kakek keempat Rasulullah saw. Ibunya bernama Fathimah binti Zaidah bin Asham. Kakek Sayidah Khadijah as, Asad bin Abdul ‘Uzza merupakan salah satu anggota penggagas perjanjian Halful Fushul. Yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pembesar dan pembela keadilan yang telah sepakat berjanji untuk membela orang-orang yang tertindas dan bekerja keras untuk membantu kalangan kaum lemah.

Sementara itu, Khuwailid ayah Sayidah Khadijah as juga ialah orang yang telah mengorbankan jiwanya pada peristiwa rencana pemindahan Hajar Aswad ke Yaman yang dilakukan oleh Raja Yaman. Untuk menjaga Hajar Aswad, ia tak gentar menghadapi musuh yang banyak jumlahnya. Karena usahanya, akhirnya Raja Yaman pun mengurungkan niatnya untuk memindahkan Hajar Aswad. Sedangkan pamannya, Waraqah bin Naufal ialah seorang pendeta yang untuk mencari kebenaran ia senantiasa sibuk meneliti sumber-sumber dan kitab-kitab Yahudi dan Nasrani.

Kemuliaan Sayidah Khadijah as bukan hanya karena nasabnya saja, namun juga karena sifat-sifat terpujinya, dan itu dikenal sejak sebelum menikah dengan Rasulullah saw. Beliau digelari dengan berbagai julukan yang menunjukkan kemuliaannya seperti thahirah (perempuan suci), mubarakah (perempuan yang berkah), sayyidatu Quraisy (perempuan penghulu Quraiys), penghulu para perempuan Quraisy dan lainnya.[2]

Pembela Kaum Lemah

Kepedulian Sayidah Khadijah as terhadap orang-orang lemah sangat tinggi. Rumah beliau menjadi tempat bernaung dan tumpuan harapan para kaum lemah seperti orang miskin, anak-anak yatim dan para pengungsi. Sayidah khadijah as akan menjadi tumpuan harapan dan tempat berlindung setiap anak yatim yang tak memiliki tempat bersandar dalam hidupnya.  Beliau pun akan menjadi tumpuan harapan setiap ayah yang tak mampu memberi makan anak-anaknya, dan setiap janda yang terlunta-lunta karena ditinggal mati suaminya. Sayidah Khadijah as akan memberikan perlindungan dan membantu mereka dengan hartanya. Karena perbuatan mulianya ini, mereka memberikan gelar ‘ibu para yatim’ kepadanya.

Tempat tinggal Sayidah Khadijah as memiliki dua tanda; pertama, kubah hijau yang menghiasi atap rumahnya. Kedua, hilir-mudiknya orang-orang di sekitar rumahnya. Sayidah Khadijah as sangat senang membantu kaum yang lemah dari fakir miskin. Beliau menyambut mereka siang maupun malam dengan kasih sayang, berbincang-bincang dengan mereka dan mendengarkan keluhan-keluhan mereka, membelai anak-anak dari mereka dengan lembut dan kasih sayang, juga mengusap air mata kesedihan para ibu.  Setelah mendengarkan semua keluhan mereka, beliau akan memanggil Maisarah, pelayannya untuk memberikan bantuan kepada mereka sesuai kebutuhan masing-masing.[3]

Kekayaan Sayidah Khadijah

Sayidah Khadijah ialah seorang pebisnis dan saudagar kaya raya. Beliau merupakan salah satu perempuan terkaya di Mekah. Beliau memiliki kekayaan yang luar biasa banyak yang merupakan hasil dari perniagaannya. Unta dalam jumlah yang sangat banyak digunakan untuk berniaga di Mekah. Tempat tinggalnya merupakan salah satu gedung yang terbaik di Mekah yang bertingkat dua. Satu bagian rumahnya digunakan untuk tempat tinggalnya, dan bagian lainnya dimanfaatkan untuk menjamu para tamu dari semua kalangan.  Kepada para pekerjanya, selain memberikan gaji untuk semua kebutuhan selama satu tahun, juga memberikan dua unta untuk tiap tahunnya. [4]

Status Sayidah Khadijah as Sebelum Menikah dengan Nabi Muhamad saw

Berdasarkan pendapat masyhur, Sayidah Khadijah as adalah seorang janda sebelum menikah dengan Nabi Muhamad saw. Beliau telah menikah dua kali;

Pertama beliau menikah dengan Abu Halah Tamimi. Dari pernikahan pertama memiliki anak yang bernama Halah dan Hind. Saat usia Hind masih berusia tiga tahun, Abu Halah pun meninggal dunia. Berkaitan dengan Hind putra Sayidah Khadijah dari Abu Halah para perawi telah menukil sebuah riwayat dari Imam Hasan as bahwa Hind seperti ibunya, Khadijah telah mengorbankan jiwanya dalam semua peperangan dan dakwah bersama Rasulullah saw. Pasca wafat Rasulullah saw itu ia senantiasa berada bersama pasukan Imam Ali hingga ia syahid dalam perang Jamal.[5]

Kedua, pasca wafat suaminya, Sayidah Khadijah as menikah dengan Atiq bin A’id Mahzuni. Dari pernikahan dengannya, beliau memiliki seorang putri yang bernama Hind juga. Hind tinggal bersamanya, dan masuk Islam hingga ia termasuk sahabat Nabi saw yang besar dan ikhlas. [6]

Terdapat pendapat lain berkaitan dengan status Sayidah Khadijah as sebelum menikah dengan Nabi Muhamad saw, yang menjadi bahan renungan dan wawasan untuk kita. Seorang pakar sejarah Islam yang bernama Jakfar Murtadha dalam karyanya yang berjudul ‘Ash-shahih min Shirati an-Nabiyi’ menulis,

“Sebagian hadis menunjukkan bahwa Rasulullah tidak menikah dengan seorang gadis pun kecuali Aisyah. Dalam beberapa riwayat lain menjelaskan bahwa Sayidah Khadijah sebelum menikah dengan Nabi Muhamad saw telah menikah sebanyak dua kali. Namun kami meragukan keshahihan riwayat-riwayat tersebut. Karena pertama, Ibnu Syahr Asyub berkata, “Ahmad Biladzari, Abu al-Qasim Kufi, Sayyid Murtadha dalam Syafi dan Abu Jakfar dalam Talkhish meriwayatkan bahwa Nabi Muhamad saw telah menikah dengan Sayidah Khadijah sementara beliau dalam keadaan gadis. Kedua, tidak jauh kemungkinan pada jangka lama ini beliau tidak menikah dengan siapapun, karena ayahnya telah meninggal di perang Fijar. Dan wali beliau tidak memiliki kekuasaan dalam memaksa beliau untuk menikah. Beliau telah menolak lamaran beberapa pembesar, sampai akhirnya beliau menemukan suami yang diidamkannya yang memiliki sifat-sifat mulia dan kepribadian yang agung. Sayidah Khadijah as merupakan perempuan Quraisy terbaik, termulia, terkaya dan tercantik. Ia diberi gelar thahirah dan sayyidah (penghulu) Quraisy, semua para pembesar kabilah berkeinginan untuk menikah dengannya. Para pembesar Quraisy untuk melamarnya telah bersedia menyediakan harta yang banyak sebagai maharnya, namun Sayidah Khadijah telah menolak semua lamaran mereka. Beliau menerima lamaran Nabi Muhamad saw karena keluhuran budi pekerti dan kemuliaan jiwa yang dimiliki oleh Nabi Muhamad saw.[7]

Begitupula berkaitan dengan usia pernikahan Sayidah Khadijah terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Meskipun berdasarkan pendapat termasyhur menyatakan bahwa beliau menikah dengan Nabi Muhamad saw pada usia empat puluh tahun. Namun, sebagian mengatakan beliau menikah pada usia dua puluh lima, dua puluh delapan, tiga puluh, tiga puluh lima bahkan ada yang mengatakan pada usia empat puluh lima tahun…”[8]

Perkenalan Sayidah Khadijah as dengan Nabi Muhamad saw

Dalam mengendalikan bisnisnya, Sayidah Khadijah akan mengirim rombongan yang telah dibayar dengan bayaran tertentu, untuk membawa barang dagangannya ke Syam dan tempat-tempat lainnya. Rombongan dagang inilah yang akan melakukan transaksi jual beli untuk semua barang dagangannya. Sebelum diangkat menjadi nabi pun, kejujuran, tanggungjawab, dan amanah Nabi Muhamad saw sudah menjadi bahan pembicaraan dan buah bibir masyarakat Mekah. Nabi Muhamad saw terkenal jujur dan dan dapat dipercaya hingga digelari ‘al-amin’. Karena itu, Sayidah Khadijah as tertarik untuk memintanya pergi bersama rombongan dagangnya ke Syam dan tempat-tempat lainnya. Karena kejujuran dan amanahnya ini pula Sayidah Khadijah mengusulkan upah lipat ganda kepada Nabi Muhamad saw.

Setelah mendengar tawaran tersebut, Nabi Muhamad saw pun bermusyawarah dengan pamannya, Abu Thalib, dan ia pun menyetujuinya. Setelah mengadakan perjanjian, Nabi Muhamad saw pun diberi tugas meminpin salah satu rombongan dagang milik Sayidah Khadijah as. Dan, Sayidah Khadijah pun mengirim budaknya, Maisaroh untuk mengurusi semua keperluan Nabi Muhamad saw selama perjalanannya.

Rombongan dagang pun sampai di kota Syam. Semua barang dagangan terjual habis laris manis. Dan, sebelum kembali, mereka membeli barang-barang dagangan lainnya dan siap-siap untuk kembali ke Mekah.

Untuk pertama kalinya, rombongan dagang milik Sayidah Khadijah pun mendapatkan keuntungan yang sangat besar, yang tidak pernah dialami sebelumnya. Nabi Muhamad saw bersama rombongan dagangnya pun sangat bahagia karena keuntungan yang diraih dari perniagaan tersebut.

Rombongan dagang pun tiba di Mekah. Dengan penuh semangat, Maisaroh menceritakan semua keajaiban yang telah disaksikannya selama menemani Nabi Muhamad saw, yang menunjukkan kedudukan agung yang dimiliki oleh beliau. Maisaroh juga menceritakan tentang pertemuannya dengan seorang pendeta, lalu menyampaikan pesan pendeta tentang Nabi Muhamad saw kepadanya.

Kemudian Nabi Muhamad saw pun pergi menghadap Sayidah Khadijah as dan melaporkan dan menyerahkan hasil perdagangannya. Sayidah Khadijah as mengucapkan selamat atas keberhasilannya dalam perniagaan, begitu juga pamannya, Abu Thalib.

(Bersambung ke bagian kedua)

CATATAN:

[1] Naishaburi, Mustadrak ash-Shahihain, jil 2, hal 497; dinukil dari Fadhail Khamsah jil 3, hal 174

[2] Riyahin asy-Syari’ah, jil 2, hal 207

[3] Jam’i az Muallifan Pazuheshkade Baqirululum, Banwane Nemune, hal 334-335

[4] Riyahin asy-Syari’ah, jil 2, hal 202

[5]  Shiratul Aimah Itsna Asyar, jil 1, hal 47, ‘Alamun Nisa al-Mukminat, hal 317 dinukil dari Banwane Nemune, hal 335-336

[6] Safinatul Bihar, jil 1, hal 380 dinukil dari Banwane Nemune, hal 336

[7] Ash-shahih min Shirati an-Nabiyil A’dham, jil 2, hal 207-210

[8] Ash-shahih min Shirati an-Nabiyil A’dham, jil 2, hal 200-202