Norma Makan Dan Pemilihan Makanan Dalam Islam

Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung,

Dimana saja bepergian, maka kita menghormati ada budaya setempat. Dengan begitu kita mempraktikkan sikap saling menghormati dan menghargai.

Terkait menjaga dan mensinergikan norma makan dan makanan yang sudah digariskan dalam Islam dan bagaimana sikap menghormati dan menghargai atas budaya masing-masing daerah dan masing-masing bangsa maka perlu memperhatikan beberapa hal, melihat norma Islam sekaitan dengan aturan dalam makan dan makanan. Setelah itu baru dilakukan sinkronisasi dengan kebudayaan dan kebiasaan sesuai daerah dan bangsa yang dikunjungi. Tentu hal ini tetap dengan menjaga sikap saling menghormati dan saling menghargai. Menjalankan norma Islam tanpa merendahkan dan menghina adat budaya pihak lain. Menjalankan norma-norma Islam tetap dalam kemasan akhlakul karimah.[1]

Beberapa negara memiliki waktu makan berbeda-beda, di Iran misalnya, mereka ada tiga waktu makan, dimana masing-masing waktu memiliki takaran yang berbeda-beda, jumlah asupan makanan terbanyak adalah pada jatah makan siang. Berbeda dengan Indonesia, warga Indonesia pada umumnya memiliki tiga kali waktu makan, pagi, siang, dan malam. Namun kuantitas makanan tidak jauh berbeda, tidak ada pembedaan antara makan pagi, siang dan malam, walau pada kehidupan orang modern perkotaan, sebagian sudah menerapkan aturan dari luar, dengan makan pagi menggunakan roti dan selai bukan lagi mengkonsumsi nasi. Begitu juga dengan bangsa-bangsa yang lain yang pastinya memiliki norma tata cara makan dan jenis makanan yang berbeda.

Tata cara makan pun beragam, ada yang menilai bahwa memakan dengan lahap atas makanan yang disajikan pemilik rumah, memakan sampai mengeluarkan suara dinilai sebagai sebuah penghormatan kepada pemiliki rumah yang sudah berjerihpayah menyiapkan hidangan. Sementara di daerah lain makan dengan bersuara dianggap tidak beradab. Dalam budaya Jepang, sebelum makan mereka juga bersama-sama vokal menyampaikan rasa syukur kepada yang sudah masak, berterimakasih sudah meluangkan waktu dan tenaga.

Dalam ranah kesehatan, ada yang menerapkan berbagai aturan makan, ada yang melarang makan nasi atau berbagai jenis karbohidrat atau setidaknya menganjurkan untuk mengkonsumsi karbohidrat dalam jumlah yang sangat sedikit, makanan hanya yang berprotein saja yang diutamakan, baik protein nabati maupun hewani, serta makanan-makanan dari sayur-sayuran dan buah-buahan saja.

Ada juga yang menggunakan aturan makan dimana pada siang hari tidak boleh mengkonsumsi karbohidrat, karbohidrat hanya dikonsumsi pada pagi dan malam hari saja, siang hari untuk menutupi rasa lapar diganti dengan makanan dari buah-buahan semata, jadi mengkonsumsi buah sampai kenyang sebagai pengganti karbohidrat dari nasi.

Ada juga yang melarang mengkonsumsi teh, kopi dan minuman tambahan lainnya, termasuk melarang atau setidaknya menilai merugikan jika mengkonsumsi cabai. Rangkaian aturan yang konon disebut sebagai pengobatan Thebbe nabawi (kedokteran sesuai sunah nabawi), thebbe sunnati (Kedokteran tradisional). Bagaimana penilaian Islam atas semua aturan dan kebiasaan ini apakah Islam juga memberikan rekomendasi atau tidak. Atau malah melarangnya.

Islam sebagai agama terakhir dan mengikrarkan diri sebagai agama paling sempurna dan penyempurna, tentu juga menggariskan aturan dan norma terkait masalah makan dan makanan. Sebab makan dan makanan adalah hal primer dalam kehidupan manusia[2].

وَما أَرْسَلْنا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلينَ إِلاَّ إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعامَ وَ يَمْشُونَ فِي الْأَسْواقِ وَ جَعَلْنا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَ كانَ رَبُّكَ بَصيراً

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar (menanggung cobaan itu)? Dan Tuhan-mu adalah Maha Melihat.

Norma yang mengikat dalam memilih makanan yang dikonsumsi serta tatacara mengkonsumsi makanan itu. Maka muncul pertanyaan terkait apa saja aturan dan norma yang digariskan dalam ajaran paripurna Islam. Apakah norma itu memang layak dan paling terbaik untuk dijalankan di jaman ini dan juga di jaman-jaman yang akan datang. Jadi ada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang harus dijawab Islam seputar norma-norma makan dan makanan.

Pertanyaan pertama adalah sekaitan dengan apa saja makanan yang boleh dikonsumsi? Kemudian dari sisi kuantitas, seberapa besar jumlah makanan yang dibolehkan itu untuk dikonsumsi manusia[3] pada takaran waktu tertentu. Takarannya apakah pada siddah (banyak sedikit kualitas makanan) atau pada jumlah volume dari makanan yang diperbolehkan itu. Berlebih-lebihan dalam makan minum apakah pada takaran jumlah atau pada takaran kualitas.

Jelas bahwa makanan yang dikonsumsi adalah makanan yang halal, bukan hasil curian dan juga bukan makanan yang diharamkan Allah SWT. Sebagaimana tergambarkan dalam beberapa ayat berikut.

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَ طَعامُهُ مَتاعاً لَكُمْ وَ لِلسَّيَّارَةِ وَ حُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ ما دُمْتُمْ حُرُماً وَ اتَّقُوا اللهَ الَّذي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ

Dihalalkan bagimu binatang buruan laut  dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu[4].

CATATAN:

[1] Disarikan lalu dikembangkan dari kajian memilih makanan sesuai syariat oleh Ust Zahir Yahya, MA.

[2] Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar (Qs Furqan:20). Baik nabi maupun manusia biasa semua butuh kepada makanan. Namun jelas ada yang membedakan antara cara Nabi makan dengan orang biasa makan, kualitas masing-masing orang berpengaruh dalam memilih makanan, serta bagaimana cara mereka mengkonsumi makanan. Nabi memang makan tapi bukan berarti Nabi adalah manusia biasa sebagaimana sering disalahpahami ketika Nabi berkata ana basyarun mitslukum. Lalu mengklaim bahwa nabi juga manusia yang berbuat salah dan dosa.

[3] Kajian memilih makanan sesuai syariat Islam.

[4] Qs Almaidah: 96.