Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Mengenal Perempuan Dalam Al-Quran (14)

1 Pendapat 05.0 / 5

Salah satu pribadi perempuan yang berpengaruh dalam kehidupan Nabi Musa as adalah Shafura, putri Nabi Syu'aib as. Pada kesempatan ini kita akan mengulas kisah kehidupan Shafura, istri Nabi Musa as.

Nabi Musa as setelah pertumbuhan dan kedewasaan fisik, ia menjadi pria yang kuat. Suatu hari, tiba-tiba, ia mendengar seseorang berteriak minta tolong. Ia kemudian pergi mencari sumber suara dan melihat salah satu petugas Firaun sedang mengintimidasi manusia yang tidak punya tempat berlindung. Musa terlibat konflik ketika berusaha mendukung orang yang tertindas dengan petugas tiran itu dan memukul dengan tinjunya. Terkena pukulan Musa, orang itu mati seketika.

Setelah kejadian tersebut, banyak peristiwa yang terjadi pada Musa. Seperti ada seseorang dari titik terjauh dari kota mendatanginya dengan tergesa-tesa dan berkata bahwa kepala-kepala suku sedang bermusyawarah dan mereka ingin membunuhmu. Karenanya, engkau harus segera keluar dari kota. Musa yang menanti bakal terjadi hal yang seperti ini, merasa khawatir dan takut, sehingga ia terpaksa meninggal Mesir lalu pergi ke arah Madyan yang terletak di barat laut Arab Saudi.

Ketika Musa melihat bayangan kota dan pemandangan sekitar kota tersebut, ia mulai berharap dengan pertolongan Allah dapat menyiapkan kehidupan yang lebih aman buat dirinya. Al-Quran surat al-Qashash ayat 22 menyebutkan, "Dan tatkala ia menghadap kejurusan negeri Mad-yan ia berdoa (lagi), "Mudah-mudahan Tuhanku memimpinku ke jalan yang benar."

Di sekitar kota, ada sebuah sumur atau sumber air, dimana beberapa gembala tengah sibum memberi minum kepada domba mereka, sementara di sisi lain, ia melihat dua anak perempuan gembala sedang menunggu sampai sumur itu sepi dari para gembala. Musa menemui keduanya dan dalam percakapan singkat ia memahami bahwa mereka adalah putri seorang tua bernama Syu'aib yang harus menunggu gembala terakhir menyelesaikan pekerjaannya karena ketidaktahuan mereka atau rasa malu pada gembala lainnya. Mendengar situasi yang dihadapi kedua gadis itu, Musa membawa kawanan domba mereka ke sumur dan membantu mereka memberi air domba mereka tanpa takut diganggu oleh para lelaki. Pekerjaan memberi minum kawanan domba telah selesai dan para gadis kembali ke rumah dengan gembira, sementara Musa beristirahat di bawah naungan pohon.

Al-Quran dalam ayat 23-24 surat al-Qashash menjelaskan peristiwa itu demikian, "Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata, "Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?" Kedua wanita itu menjawab, "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya." Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, "Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku."

Ketika ayah melihat dua anak gadisnya dengan penuh takjub bertanya, "Mengapa hari ini kalian cepat kembali?" Mereka menjawab, "Ada pria baik di dekat sumur yang membantu kami memberi minum domba-domba." Syu'aib as segera meminta Shafura, salah satu putrinya untuk pergi menemui Musa dan mengajaknya ke rumah. Allah dalam ayat 25 surat al-Qashash menjelaskan kejadian ini, "Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata, "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami." Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata, "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu."

Waktu itu, seorang dari anak gadisnya (Shafura) berkata, "Wahai ayah! Pekerjakan orang ini untuk pekerjaan Anda karena dia adalah orang terbaik yang dapat Anda pilih untuk melakukan pekerjaan ini. Karena ia adalah orang yang cakap dan dapat dipercaya." Syu'aib kemudian berkata kepada Musa, "Saya ingin menikahkan kamu dengan salah satu dari dua putri saya, asalkan Anda bekerja untuk saya selama delapan tahun, dan jika Anda memperpanjang waktu itu menjadi sepuluh tahun, itu menunjukkan kebaikan Anda. Saya tidak ingin menyusahkan Anda."

Musa akhirnya menerima tawaran tersebut dan hidup dalam lingkungan spiritual yang sederhana dan penuh dengan spiritual sekaligu menjadi menantu Nabi Syu'aibas. Bukan saja ia memiliki seorang istri yang setia, dimana tetap bersama utusan Allah, ia juga belajar banyak hal dari Nabi Syu'aib as. Shafura bersama Musa ketika memutuskan untuk kembali ke Mesir dan sampai diangkat sebagai nabi. Ia selalu membantu suarinya dalam kondisi paling sulit sekalipun dan berhasil membuktikan perannya sebagai perempuan teladan dan sangat berperan.

Kisah ini menggambarkan kehadiran wanita yang berguna di luar rumah dan dalam konteks menjaga kehormatan dan berhijab. Para cendekiawan dan psikolog berpendapat bahwa sepanjang sejarah -seorang perempuan berdasarkan inspirasi bawaan untuk mempertahankan posisinya- ia telah berusaha menjauhkan diri dari jangkauan pria. Jilbab dan rasa malu, yang merupakan salah satu ciri alami perempuan telah menjadi cara penciptaan untuk melindungi esensi batin perempuan dan untuk mempertahankan statusnya dihadapan pria. Seorang perempuan terhormat dan bermartabat tidak akan memperlihatkan anggota tubuhnya kepada orang lain demi meningkatkan penghormatan kepadanya.

Pada prinsipnya, kesucian dan kehormatan adalah instrumen yang selalu digunakan oleh perempuan untuk mempertahankan status dan nilai mereka di depan pria. Jenis perilaku dan cara bersikap antara perempuan dan laki-laki di tengah masyarakat sangat penting. Rasa malu dalam berucap merupakan penekanan oleh Allah kepada istri-sitri Nabi Muhammad Saw, ketika berfirman, "... Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik."

Meskipun yang disebutkan langsung oleh ayat ini adalah istri Nabi, itu tidak bisa dikatakan eksklusif bagi mereka, tetapi untuk semua perempuan Muslim. Rasa malu menuntut agar kualitas bicara sedemikian rupa sehingga tidak merangsang pria yang bukan muhrim. Oleh karena itu, para ahli hukum dan otoritas agama tidak mengizinkan perempuan berbicara kepada non muhrim atau menyampaikan suaranya sehingga merangsang non muhrim.

Di sisi lain, perilaku dua putri Syu'aib menunjukkan bahwa interaksi sosial antara anak laki dan perempuan, perilaku, cara pandang, berpakaian dan percakapan mereka harus berlandaskan "rasa malu". Sebagaimana Allah ketika mendeskripsikan cara berjalan putri Syu'aib bagaimana ia berjalan dengan penuh martabat dan rasa malu. Karena cara bergerak, berbicara dan bagaimana berpakaian memiliki pesannya sendiri-sendiri. Dengan menjadikan kisah ini sebagai teladan, anak gadis hendaknya dalam berinteraksi dengan jenis kelamin berbeda, bila ia kemudian merasa menyukainya, hendaknya menyampaikannya kepada orang tuanya atau kepada konsultan yang dapat dipercaya, sehingga dapat memanfaatkan pengalaman ilmiah dan nyata mereka. Dengan begitu, sebelum melangkah ia dapat mengambil keputusan yang rasional.

Jika anak laki-laki dan perempuan mengajukan masalah ini dengan orang-orang yang berpengalaman, keluarga atau konsultan, dapat diharapkan untuk menghindari banyak hubungan yang tidak sehat. Poin lain adalah bahwa dalam hubungan dengan lawan jenis seseorang harus menghindari mata keranjang yang diungkapan dalam al-Quran dengan "Ghadd al-Bashar" yang berarti menundukkan pandangan.

Teladan yang disampaikan oleh al-Quran adalah anak laki-laki dan perempuan tidak memandang dengan cara pandang mata keranjang, penuh syahwat dan tidak terkontrol. Sebagaimana Nabi Musa as ketika bergerak menuju rumah Nabi Syu'aib berkata kepada putri Syu'aib, "Saya berjalan di depan dan engkau berjalan di belakang sambil memberi petunjuk." Shafura, putri Nabi Syu'aib yang kemudian menjadi istri Nabi Musa as menjadi teladan rasa malu dan bagaimana memilih suami yang baik. Al-Quran dalam kisah itu juga menyinggung tentang rasa malu. Pada hakikatnya, rasa malu dan menjaga kehormatan, khususnya bagi perempuan merupakan tanda iman, kesempurnaan dan kezaliman semangat menyembah Allah.