Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Mengenal Perempuan Dalam Al-Quran (16)

0 Pendapat 00.0 / 5

Dalam artikel sebelumnya, kita telah membicarakan tentang pribadi Sayidah Khadijah as dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw. Pada kesempatan kali ini, kita akan memasuki pembahasan tentang istri-istri Nabi Saw. Mereka yang disebutkan dalam al-Quran bahwa mereka tidak seperti perempuan lain dan memiliki kondisi dan hukum yang khusus. Tentu harus diingat bawa Nabi Saw tidak melakukan perbuatan ekstrim kiri dan kanan atau penyimpangan. Pernikahan yang dilakukannya atas perintah Allah.

Setelah kematian istrinya yang terhormat dan penuh pengorbanan, Sayidah Khadijah, Nabi Saw kemudian menikahi Saudah. Saudah pertama kali menikah dengan sepupunya, Sakran, dan bepergian bersamanya bersama dengan Muslim lainnya yang bermigrasi ke Habasyah untuk kedua kalinya. Sakran meninggal setelah kembali dari Habasyah di Mekah, meninggalkan Saudah yang sendirian dan tidak memiliki rumah. Setelah Sayidah Khadijah wafat, Rasulullah Saw kemudian menikahi Saudah. Saat itu, sesuai yang disebutkan dalam riwayat, Saudah berusia 50 tahun dan ia lebih banyak mengurusi anak-anak Nabi Muhammad Saw, sekalian mengurusi rumah.

Salah satu istri Nabi Saw yang lain adalah Zainab, putri Jahsy. Kebiasaan pada waktu itu adalah bahwa para bangsawan dan pejabat tidak akan menikahi orang-orang yang "budak" atau "dibebaskan". Zainab adalah anak bibi atau sepupu Nabi Saw dan cucu Abdul Mutthalib. Gadis-gadis seperti itu adalah bangsawan, dan Zaid bin Harithah adalah budak yang telah dibebaskan dan putra angkat Nabi. Adat istiadat pada waktu itu tidak mengizinkan pemuda seperti itu untuk menikah.

Misi utama Nabi adalah untuk membimbing orang-orang ke jalan Tuhan dan untuk menghapus tradisi dan adat istiadat Jahiliah pada waktu itu. Nabi Muhammad secara pribadi pergi ke rumah putri bibinya dan memintanya untuk menikahi Zaid. Ketika Nabi menyampaikan masalah lamaran, pada mulanya Zainab dan saudara lelakinya berpikir bahwa Nabi menginginkannya sendiri dan mereka berdua puas, tetapi ketika mereka mengetahui bahwa beliau sedang meminta untuk Zaid bin Harithah, mereka dengan setuju dengan tidak suka hanya untuk tidak menolak upaya Nabi Saw yang berusaha menengahi pernikahan ini.

Dengan demikian, salah satu tradisi Jahiliah dan batil pada masa itu dibantah oleh pernikahan ini, dan orang-orang menyadari bahwa tidaklah salah bagi Islam untuk seorang bangsawan menikah dengan budak yang telah dibebaskan. Namun pernikahan itu tidak berlangsung lama dan berujung perceraian. Nabi Saw berulang kali melarang Zaid untuk menceraikan istrinya, tetapi keduanya gagal hidup bersama dan akhirnya berpisah. Perpisahan ini sangat berat bagi putri bibi Nabi karena lelaki yang diceraikannya itu tampaknya adalah budak yang dibebaskan, bukan lelaki yang mulia, meskipun secara spiritual Zaid memiliki derajat yang tinggi, tetapi secara lahiriah ia tampaknya adalah budak yang dibebaskan.

Di sisi lain, salah satu tradisi yang masih diwarisi dari masa Jahiliah adalah bahwa tidak ada yang berhak menikahi perempuan yang pernah menjadi istri dari putra angkatnya. Mereka menganggap anak angkat sama seperti putra asli. Sekarang Nabi Muhammad Saw harus menghapuskan kebiasaan ini juga. Beliau ditugaskan oleh Allah untuk membawa Zainab, sepupunya, dan istri yang telah diceraikan oleh putra angkatnya untuk menghapus kebiasaan palsu itu. Dengan perintah Allah, Nabi Saw kemudian menikahi Zainab dan dengan demikian kebiasaan itu untuk selamanya dibatalkan.

Al-Quran dalam surat al-Ahzab ayat 37 menyebutkan, "Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya."

Istri-istri Nabi diberi status khusus setelah menikah dengan utusan Allah, sehingga ketika Allah memberi kabar gembira bahwa masing-masing dari mereka yang tunduk kepada Tuhan dan utusan-Nya serta berbuat baik, ia akan menerima ganjaran ganda dan setiap orang yang melakukan tindakan buruk akan mendapat hukuman dua kali lipat juga. Al-Quran dalam ayat-ayat surat al-Tahrim menyebutkan para istri Nabi Saw dan menyalahkan dua dari mereka karena mengungkapkan rahasia yang telah dibagikan Nabi kepada mereka. Dalam ayat-ayat ini mengetengahkan pentingnya kerahasiaan dengan pasangan dan menjelaskan sifat-sifat yang layak dimiliki seorang perempuan muslim.

Nabi memperlakukan keluarga dan istri-istrinya sedemikian rupa sehingga mereka kadang-kadang berani terhadap beliau dan begitu congkak, sehingga mengungkapkan rahasia batinnya. Karena alasan ini, ayat-ayat al-Quran diturunkan dalam mengancam dan menegur mereka. (Surat al-Tahrim ayat 3 sampai 5) Setelah perang dengan suku Bani Quraizhah, dimana pasukan Islam mendapat banyak harta rampasan perang, Hafshah dan dan Aisyah mengolah gagasan kehidupan aristokrat dan mewah dan menuntut perhiasan dari Nabi.

Nabi Saw menolak dan berkata, "Saya adalah pemimpin Islam dan Muslimin. Hidup saya sangat sederhana dan biasa sehingga orang miskin dan orang yang tidak memiliki apa-apa tidak merasa rendah diri." Tetapi keduanya bersikeras pada keinginan mereka dan membuat Nabi memikirkan masalah ini. Nabi Saw menahan diri untuk tidak merespons dengan keras. Umar bin Khattab, ayah Hafshah dan Abu Bakar, ayah Aisyah, dengan keras mencela putri mereka.

Nabi tidak senang dengan perilaku ayah mereka dan meninggalkan tempat pertemuan. Setelah beberapa saat, Allah mewahyukan kepada Nabi Saw dalam ayat 28 dan 29 dari surat al-Ahzab, "

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar."

Dalam pandangan Nabi, keluarga adalah lembaga suci yang memberi empati pada pasangan. Dalam wahyunya, Nabi meminta laki-laki dan perempuan untuk berbuat seperti pakaian dan saling menutupi ketidaksempurnaan yang lain. Rasulullah juga merupakan contoh yang baik dalam tingkah lakunya dalam hal ini. Nabi, dengan keyakinan pada istrinya, mengungkapkan rahasia kepada salah satu dari mereka. Tetapi dengan terungkapnya rahasia itu lewat kerja sama dengan salah satu istri beliau yang lain, perbuatan itu sangat mengganggu jiwa Nabi.

Peristiwa ini memiliki efek negatif pada hati Nabi Saw) dan semangatnya yang besar bahwa Allah membelanya dan, meskipun cukup dalam kekuatannya, perlu ada pernyataan dukungan dari Jibril dan orang-orang beriman yang saleh serta para malaikat lainnya. Ceritanya adalah bahwa Nabi Saw mengatakan rahasia kepada salah satu istrinya (Hafshah) dan memerintahkan dia untuk tidak memberi tahu siapa pun. Tetapi Hafshah, bertentangan dengan perintah Nabi, mengatakan rahasia itu kepada yang lain dan mengungkapkan sebagian darinya.

"Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang isterinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal"." (QS. Al-Tahrim: 3)

Pada ayat selanjutnya Allah berfirman, "Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula."

Menjaga rahasia bukan hanya salah satu sifat dari orang mukmin sejati, dimana setiap orang dengan kepribadian harus menjaga rahasia. Ini bahkan lebih penting dalam kehidupan keluarga, karena pasangan adalah pendukung pasangan lainnya dalam semua tahap kehidupan mereka, dan kepercayaan satu sama lain dapat menyelamatkan kapal kehidupan yang ramai hingga selamat ke pantai.

Namun, kedua perempuan itu mengabaikan status Nabi yang tinggi dan keagungan spiritualnya. Allah meminta mereka untuk bertobat dan mereka diingatkan bahwa jika mereka mau, mereka dapat dipisahkan dari utusan Tuhan. Karena sangat layak dalam privadi suci dan spiritual Nabi ada istri-istri yang memiliki keutamaan. Istri yang diperkenalkan Allah sebagai perempuan muslim, mukmin, taat, bertaubat, ahli ibadah dan berpuasa.

Bahkan, pada hakikatnya Allah di sini menggambarkan sifat-sifat perempuan yang layak agar perempuan dapat menghiasi dirinya dengan keutamaan-keutamaan ini, sehingga meraih kebahagiaan dan keselamatan.