Ahlul Bait Nabi Penjaga Ajaran Ilahi

Dalam Al-Ziyarah Al-Jâmi’ah disebutkan,

“Assalamu alaikum ……al-dzâdatu wa al-humât: salam atasmu …. wahai para pelindung dan penjaga”.

Kalimat ini mengacu beberapa keterangan Nabi saw. dan para Imam Ahlul Bait tentang peran dan fungsi mereka sebagai manusia-manusia pilihan Allah swt.

Nabi Muhammad saw., selain menerima wahyu dari Allah swt. dan membawa syariat baru, juga menjaga (muhaymin) kemurnian ajaran nabi-nabi sebelumnya (lih. QS. Al-Maidah: 48). Ajaran para nabi telah diselewengkan oleh umat mereka sendiri, sementara ajaran mereka yang murni telah terintegrasikan dalam ajaran Nabi saw. Oleh karena itu, ajaran mereka yang masih murni hanya terdapat dalam ajaran yang disampaikan oleh beliau. Ajaran para nabi dan ajaran Nabi Muhammad saw. itu tidak lain adalah Islam.

Islam yang diajarkan Nabi saw. juga tidak luput dari upaya-upaya penyelewengan yang dilakukan oleh umatnya sendiri, sebagaimana ajaran para nabi sebelumnya. Di sinilah peran dan fungsi Ahlul Bait a.s. sebagai penjaga (muhaymin) kemurnian ajaran Nabi saw. dari berbagai upaya penyelewengan. Hadis Tsaqalain (Dua Pusaka, yakni Al-Quran dan Ahlul Bait) secara jelas menunjukkan bahwa Ahlul Bait a.s. adalah pendamping yang tidak akan berpisah dengan Al-Quran hingga akhir zaman, dan Al-Quran sendiri merupakan sumber ajaran Islam yang murni. Sejarah juga mencatat sepak terjang para Imam Ahlul Bait a.s., sejak Imam Ali bin Abi Thalib hingga Imam Hasan Al-Askari, dalam menjaga kemurnian ajaran-ajaran Islam.

Penyimpangan Pemikiran dan Penyimpangan Tindakan

Murtadha Muthahhari menyebutkan dua macam penyimpangan manusia terhadap agama Allah swt.: penyimpangan pemikiran dan penyimpangan tindakan atau moral (lih. Hamaseh-e Husaini). Dua penyimpangan ini disinggung dalam di akhir surah Al-Fatihah: orang-orang yang tidak dimurkai dan tidak tersesat. Orang yang dimurkai adalah orang yang menyimpang dalam tindakan dan moral. Sebagian ahli tafsir mereferensikannya pada orang-orang Yahudi. Sedangkan orang-orang yang tersesat yaitu orang yang menyimpang dalam pemikiran dan, masih menurut para mufassir, contohnya tampak pada umat Nasrani.

Para Imam Ahlul Bait as.,sepanjang kehidupan mereka, telah menyaksikan dua macam penyimpangan tersebut. Mereka berusaha menghadapi dan meluruskannya. Bentuk penanganan mereka atas dua penyimpangan itu berbeda-beda sesuai dengan tingkat penyimpangan dan situasi yang terjadi pada waktu itu. Sebagai contoh, Imam Husain a.s. menghadapi penyimpangan kekuasaan yang dilakukan Yazid; beliau melawannya hingga tetes darah terakhir. Imam Ja’far Shadiq a.s. menyaksikan berbagai penyimpangan pemikiran pada masanya dan, untuk itu, beliau mendidik para ilmuwan untuk menghadapi para pemikir dan ulama yang menyimpang. Demikian pula para Imam Ahlul Bait lainnya menangani penyimpangan sesuai tingkat dan kondisi faktual hingga agama Allah swt. yang murni tetap bertahan sampai akhir zaman. Berkenaan dengan hal ini, Allah swt. berfirman, “Mereka ingin memadamkan cahaya Allah, tapi Dia akan menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya” (QS. Al-Shaff: 8; QS. Al-Taubah: 32).

Menentukan pola penanganan atas penyimpangan tidaklah mudah; harus mempertimbangkan berbagai aspek sehingga tidak salah dalam bersikap dan bertindak. Ketepatan dalam sikap membutuhkan apa yang disebut oleh Imam Ali Khamenei dengan bashirah (mata hati yang tajam). Para Imam Ahlul Bait as., sebagai pribadi-pribadi yang suci, tidak salah dalam menentukan sikap. Meskipun mereka benar dan maksum, sejarah mencatat bahwa masih ada kalangan dari pengikut mereka, bahkan pengikut Nabi saw., pada zaman mereka, yang menunjukkan tidak setuju terhadap sikap mereka dan memprotesnya.

Sepanjang kegaiban Imam Mahdi afs. hingga saat ini, sudah bermunculan berbagai penyimpangan. Ini pula yang sesungguhnya telah dinubuwatkan oleh Nabi saw. dan para Imam Ahlul Bait sebelum terjadi kegaiban Imam Mahdi afs. Karena itu, tugas menjaga kemurnian Islam dipercayakan kepada para ulama. Berkaitan dengan itu, Imam Mahdi berkata, “Adapun peristiwa-peristiwa yang terjadi setelahku, maka merujuklah kepada para perawi hadis-hadis kami, karena mereka adalah buktiku (hujjah) atas kalian, dan aku adalah bukti Allah atas mereka” (Syekh Thusi, Al-Ghaybah, hal. 176).

Tentu, yang dimaksud dengan ulama sebagai penjaga agama Allah adalah ulama yang merepresentasikan Nabi saw. dan para Imam Ahlul Bait a.s., sebagaimana dijelaskan dalam sebuah riwayat, “Di antara fuqaha yang dapat menguasai dirinya, menjaga agamanya, melawan hawa nafsunya dan mentaati perintah Tuhannya, maka hendaklah orang awam mengikutinya” (Wasâil al Syî’ah, jil. 27, hal. 131). Ulama dengan kualifikasi seperti ini akan selalu hadir di tengah umat Islam, karena Allah Maha Adil tidak akan membiarkan ajaran-Nya diselewengkan. Mereka ini akan dibekali oleh Allah swt. bashirah yang tajam dalam membaca dinamika dan fenomena sosial, mengolahnya serta memutuskan sikap yang benar sehingga ajaran Islam yang murni tetap terjaga.

Meskipun kualitas ulama tidak sama dengan kualitas Nabi saw. dan Ahlul Bait a.s., dan bashirah mereka tidak setajam dan setepat bashirah yang dimiliki Nabi dan Ahlul Bait, tetapi mereka berada di atas rata-rata umat. Karena itu, umat yang awam diperintahkan untuk mengikuti dan mematuhi mereka, walaupun pendapat mereka mungkin tidak sesuai dengan pemikiran dan keinginan umat.

Dalam ajaran Ahlul Bait, ketaatan dan kepatuhan umat kepada ulama seperti di atas adalah suatu keniscayaan agar agama Allah swt. terjaga dari penyimpangan pemikiran dan penyimpangan tindakan. Dan dalam tingkatan yang lebih rendah terdapat ulama-ulama yang berada di bawah ulama tersebut di atas sesuai dengan penguasaan mereka terhadap sumber-sumber ajaran Islam dan sesuai dengan integritas diri mereka.