Cara Simpel Muhasabah Diri ala Ahlulbait Nabi(1)

Muhasabah diri ialah seorang insan menelaah kembali dirinya sendiri setiap hari atas segala yang telah diperbuatnya; kebaikan, ketaatan ataukah perbuatan maksiat dan dosa. Ahlulbait Nabi Saw telah mengajarkan teknik yang simpel dalam muhasabah diri.

Bila perbuatannya lebih berat kepada ketaatan daripada maksiat, kebaikan daripada keburukan, dia mesti bersyukur kepada Allah Swt atas taufik yang dituntun kepadanya, kemuliaan yang diberikan oleh-Nya untuk berbuat baik itu.

Bila perbuatannya lebih berat kepada maksiat, dia harus mendidik dirinya lebih keras dan menegur dirinya atas kesesatan yang dia lakukan. Pada dua kondisi demikian, dia wajib menegur dirinya atas segala kekhilafan dan kekurangannya. Allah Swt berfirman dalam Alquran,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap segala yang kalian kerjakan. (Q.S al-Hasyr [59]:18)

Imam Musa al-Kazhim a.s. berkata, “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak muhasabah dirinya setiap hari. Bila dia berbuat kebaikan semoga Allah meningkatkannya dan dia bersyukur kepada Allah atas hal itu. Bila dia berbuat buruk, dia memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.”[1]

Anjuran untuk Muhasabah Diri

Muhasabah diri memiliki kepentingan yang besar bagi bekal seorang Mukmin. Muhasabah itu persiapan dalam menghadapi perhitungan akhirat yang kondisinya sangat mengerikan. Sebab itu, perhatian pada pembekalan diri dengan aneka perbuatan baik meniscayakan keselamatan dan kebahagiaannya di akhirat.

Tercantum sejumlah riwayat yang mendorong untuk muhasabah diri dengan metode yang bijak dan paripurna, sebagai contoh:

Imam Ja’far as-Sadiq a.s. berkata, “Perhitungkanlah diri kalian sebelum kalian diperhitungkan kelak. Sebab hari Kiamat memiliki lima puluh perhentian yang setiap perhentian itu berjarak seribu tahun. Lalu beliau a.s. membacakan ayat,

فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ

dalam satu hari yang ukurannya lima puluh ribu tahun. (Q.S. as-Sajdah [32]:5)[2]

Imam Ali Zainal Abidin a.s. berkata, “Wahai putra Adam, engkau senantiasa dalam kebaikan selama engkau memiliki penasihat dari dirimu sendiri dan selama muhasabah menjadi perhatianmu…”[3]