Cara Simpel Muhasabah Diri ala Ahlulbait Nabi(2)

Langkah-langkah Muhasabah Diri

Seseorang bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, bagaimanakah seseorang memperhitungkan dirinya?” Beliau a.s. menjawab, “Sejak pagi hingga sore hari, dia menelaah dirinya sendiri seraya menanyakan, ‘Hai jiwa, hari ini telah berlalu atasmu. Ia tidak lagi kembali kepadamu. Allah akan mempertanyakanmu tentang hal-hal yang kau sia-siakan. Bagaimanakah sikapmu? Apakah kau ingat kepada Allah atau mensyukurinya? Apakah kau merampas hak saudara Mukmin? Apakah kau atasi kesulitannya? Apakah kau pelihara keluarga dan anaknya saat ketiadaannya? Apakah kau pelihara orang-orang yang ditinggalkannya setelah kematiannya? Apakah kau abaikan saudara Mukmin sebab pamormu? Apakah kau telah membantu seorang Muslim? Apakah yang kau perbuat atasnya?’


Lalu dia mengingat-ingat kembali. Bila dia mengingat yang berlaku aneka kebaikan, dia bersyukur kepada Allah Swt dan mengagungkan-Nya atas taufik dari-Nya. Bila dia mengingat maksiat atau kekurangan, dia memohon ampunan kepada Allah Swt dan bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan itu; menghapusnya dari dirinya dengan memperbarui selawat atas Muhammad dan keluarga sucinya; jika dia melakukan itu, Allah Swt berfirman, ‘Aku tidak sama sekali mempertanyakan dosa-dosamu saat engkau membela para wali-Ku dan memusuhi musuh-musuh-Ku.’”[4]

Sejumlah Prioritas dalam Muhasabah Diri

1. Pelaksanaan kewajiban
Hal utama yang penting diperhitungkan pada diri sendiri ialah pelaksanaan perkara-perkara yang diwajibkan Allah Swt atas insan, seperti salat, puasa, zakat dan sebagainya.

2. Perbuatan dosa
Muhasabah diri yang terpenting juga ialah terkait perbuatan dosa dan kemungkaran yang dilakukan. Rasulullah Saw mencontohkan dalam muhasabah diri, adalah memperingatkan tentang dosa-dosa kecil dan hina.

Imam Ja’far as-Sadiq a.s. berkata, “Rasulullah Saw datang ke desa Qar’a (Buraidah, Qasim) seraya berkata, ‘Ambilkan aku kayu bakar.’ Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah Saw, kami di tanah ini tidak ada kayu bakar.’ Rasulullah Saw berkata, ‘Kalau begitu, setiap orang mengambilkan yang dia mampu.’ Mereka pun mendatangkannya sehingga mereka saling melemparkannya ke hadapan Rasulullah Saw. Lalu beliau bersabda, ‘Demikianlah dosa-dosa bertumpuk. Maka hindarkanlah dosa-dosa yang diremehkan. Sebab segala sesuatu ada pelakunya, dan ketahuilah bahwa pelakunya itu dicatat. Allah Swt berfirman,

وَنَكۡتُبُ مَا قَدَّمُواْ وَءَاثَٰرَهُمۡۚ وَكُلَّ شَيۡءٍ أَحۡصَيۡنَٰهُ فِيٓ إِمَامٖ مُّبِينٖ

dan Kamilah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan). Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab yang jelas. (Q.S. YāSīn [36]:12) ’”[5]

3. Pengabaian Waktu

Muhasabah diri harus senantiasa dilakukan pada hal penyia-nyiaan waktu yang diberikan Allah Swt kepadanya. Usia merupakan waktu terbatas yang tidak mungkin diperpanjang dan ditunda sebagai suatu ukuran yang tetap. Allah Swt berfirman,

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٞۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ لَا يَسۡتَأۡخِرُونَ سَاعَةٗ وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ

Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun. (Q.S. al-A’rāf [7]:34)

Sebab itu, nasihat Ahlulbait Nabi Saw cukup menjelaskan betapa berharganya usia dan betapa penting untuk memanfaatkannya demi kebahagiaan hidup seorang insan di dunia dan akhirat.

Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Abu Dzar, kikirlah pada usiamu ketimbang pada dirham dan dinarmu.[6]

Amirul Mukminin a.s. berkata, “Tiada satu hari pun berlalu pada putra Adam kecuali ia berkata kepadanya, ‘Aku hari yang baru, aku saksi atasmu. Katakanlah padaku yang baik-baik. Berbuatlah padaku yang baik-baik. Kelak aku bersaksi pada hari Kiamat. Sungguh engkau tidak akan melihatku lagi selamanya.'”[7]

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita agar dapat memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam kebajikan dan meninggalkan keburukan dengan mawas diri yang ketat serta muhasabah diri setiap hari.

CATATAN:

[1] Allamah al-Majlisi, Bihār al-Anwār, j. 67, h. 72

[2] Syekh al-Mufid, al-Āmālī, j. 1, h. 329

[3] Syekh at-Thusi, al-Āmālī, h. 115

[4] Allamah al-Majlisi, Bihār al-Anwār, j. 67, h. 70

[5] Allamah al-Majlisi, Bihār al-Anwār, j. 70, h. 346

[6] Allamah al-Majlisi, Bihār al-Anwār, j. 74, h. 76

[7] Allamah al-Majlisi, Bihār al-Anwār, j. 70, h. 111