Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Dialog Damai Islam dengan Ahlul Kitab(1)

1 Pendapat 05.0 / 5

Hari Mubahalah jatuh pada tanggal 24 bulan Dzulhijjah dan pada hari itu, Rasulullah Saw menawarkan mubahalah kepada Nasrani Najran yang menolak kebenaran dan mereka pun menerima tantangan ini.

Mubahalah adalah saling melaknat atau saling mendoakan agar laknat Allah Swt ditimpakan kepada kaum zalim dan mereka yang berdusta tentang kebenaran.

Rasulullah Saw datang ke lokasi mubahalah bersama keluarga terdekatnya yaitu Fatimah az-Zahra dan Imam Ali as serta kedua cucunya, Imam Hasan dan Imam Husein as. Dengan menyaksikan wajah-wajah suci ini, Nasrani Najran membatalkan mubahalah dan menyadari bahwa kebenaran berada di pihak Rasulullah.

Pada tahun kesepuluh Bitsat, Nabi Muhammad Saw menulis surat kepada Uskup Najran untuk menyeru kaum Nasrani kepada Islam. Mereka diberi pilihan yaitu memeluk Islam atau membayar jizyah (pajak) dengan tetap tinggal di negara Islam.

Uskup Agung Nasrani, Abu Haritsah membentuk sebuah dewan untuk membicarakan masalah tersebut dan pada akhirnya mereka memutuskan mengirimkan sebuah delegasi ke Madinah untuk berdialog dengan Rasulullah. Delegasi ini berjumlah 10 tokoh Nasrani dan ditugaskan untuk berdialog dengan Nabi Muhammad Saw di Madinah dan menyelidiki argumen-argumen kenabian akhir zaman.

Rasulullah Saw membuka dialog di Madinah dengan membacakan ayat al-Quran untuk memperkenalkan Islam dan mengajak mereka kepada agama Ilahi. Uskup Agung berkata, “Jika maksud engkau dari memeluk Islam adalah beriman kepada Tuhan, kami sudah beriman kepada Tuhan dan menjalankan hukum-hukumnya.”

Rasulullah menjawab, “Menerima Islam ada tanda-tandanya dan apa yang kalian yakini dan lakukan, tidak sesuai dengan tanda-tanda ini. Kalian meyakini Tuhan memiliki anak dan menganggap Isa al-Masih as sebagai anak Tuhan, padahal keyakinan ini bertentangan dengan penyembahan Tuhan Yang Maha Esa.”

Namun, delegasi Nasrani tetap mempertahankan konsep Trinitas dan menyebut Isa al-Masih sebagai anak Tuhan. Menurut mereka, Isa adalah anak Tuhan karena ia lahir tanpa perantaraan seorang ayah. Menurut ulama Nasrani, jika Isa adalah hamba dan makhluk Tuhan, lalu siapa ayahnya? Manusia adalah makhluk dan ia wajib punya ayah.

Pada saat itu, turunlah Malaikat Jibril as untuk menyampaikan ayat 59 surat Ali Imran kepada Rasul. “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, Jadilah (seorang manusia), maka jadilah dia."

Rasul Saw berkata kepada mereka, “Jika ketiadaan ayah merupakan bukti atas Uluhiyah (ketuhanan) Isa, maka Nabi Adam – yang tidak punya ayah dan ibu – lebih layak atas posisi Uluhiyah. Sungguh tidak demikian, keduanya adalah hamba dan makhluk Tuhan.”

Pada kesempatan itu, Allah Swt mengingatkan Rasulullah bahwa kaum Nasrani sengaja mencari-cari alasan agar bisa menolak kebenaran. Oleh karena itu, Dia memerintahkan Rasul untuk melakukan mubahalah dengan kaum Nasrani yang mengikutsertakan keluarga dan orang-orang terdekat dari kedua kelompok.

"… Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya), ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta." (QS. Ali Imran, ayat 61)

Setelah turun ayat ini, dua pendeta besar Nasrani berkata, “Jika Muhammad bersama kebenaran, ia akan datang dengan keluarga terdekatnya (Ahlul Bait). Jika ia datang bersama anak-anak dan orang terdekatnya, jangan lakukan mubahalah, karena jelas bahwa dia adalah Rasul dan orang yang jujur dan punya iman yang kuat sehingga membawa orang-orang terdekatnya. Tetapi jika ia datang bersama para komandan dan pasukannya, jelas ia adalah pendusta.”