Sudah ada Sains dan Filsafat, Untuk apa Agama? (Bag.2)

Berikut bisa dijelaskan, jika sains mesti menerima keberadaan sesuatu (materi) sehingga absah untuk diteliti dan diinvestigasi, maka filsafat bertanya, bagaimana keberadaan materi sebagaimana adanya menjadi ada? Artinya, apa yang memungkinkan sains untuk bekerja adalah apa yang menjadi obyek kajian filsafat: ADA. Jadi memisahkan keduanya (sains-filsafat) akan berakibat pada reduksi atas realitas itu sendiri. Maka apa yang diteliti oleh sains, secara niscaya mengandung prasyarat yang menjadi obyek kajian filsafat. Maka sejauh ada sains, filsafat ada.

Secara epistemologis, kerangka nalar filsafat yang bersifat rasional, menjadi sandaran bagi sains untuk menyimpulkan sejumlah pengetahuan baru berdasar penyelidikan empiriknya. Karena sains memulai kerjanya dengan mengamati realitas empirik, maka terdapat sejumlah konsepsi yang dipakai oleh sains yang justru tak memiliki bentuknya pada realitas empirik. Konsep tersebut seperti konsep keberadaan dan sebab-akibat. Dengan begitu, saat seorang saintis melihat mendidihya air setelah dipanaskan dengan api, ia menegaskan adanya hubungan sebab-akibat, sehingga disimpulkan, air mendidih “disebab” oleh panasnya api. Sains menerima pengetahuan dari alam, dan filsafat membantu memberi kerangka konsepual agar sain mampu menyimpulkan hubunga suatu fenomena dengan fenomena yang lain yang dipersepsinya secara empirik.

Maka tanpa filsafat, sains tak mampu menunjukkan realitas obyektif persepsi indrawinya, sekaligus tak dapat menyimpulkan apa-apa dari keseluruhan tumpukan konsep-konsep di dalam pikiran. Maka, baik secara ontologis atau epistemologis, sains dan filsafat adalah satu kesatuan nalar manusia (integratif), tanpa satu di antara keduanya, apa yang disebut ‘berpikir’ akan timpang.

Dimana Agama?

Lantas bagaimana dengan Agama? Berbeda dengan sains dan filsafat, agama bukan konsep, pengetahuan atau nalar. Ia adalah ajaran. Ajaran yang diyakini turun dari Tuhan. Maka agama mesti dipahami, dimengerti dan ditafsirkan. Tapi, agama tidak sekedar untuk dipahami, karena ia juga mengandung tuntutan praktis-tindakan, ritus-ibadah, moral-akhlak, hukum berupa perintah dan larangan.

Agama sebagai agama, tak memberi apa-apa kecuali hanya rangkaian kata-kata indah di atas kertas. Namun ia menjadi berarti sejauh manusia menemukan agama dalam dirinya. Maka agama berarti bukan untuk dirinya tapi untuk manusia.

Saat agama hendak dimengerti, maka mesti ada wujud visual bagaimana cara agama dimengerti dan dilaksanakan. Sosok tersebut adalah para Nabi dan Rasul.

Persolannya, mengapa manusia butuh agama? Bukankah telah ada sains dan filsafat? Tak cukupkah filsafat dan sains membawa manusia kepada kehidupan yang diimpikannya? Pertanyaan tak mungkin dijawab secara sederhana. Karena menyangkut hakikat eksistensial manusia dan alam semesta. Mengapa alam dan manusia ada, dan untuk apa ada?

Agama (mestinya) tak mungkin menjawab atau mengemukakan sesuatu yang dapat sepenuhnya dicapai oleh sains dan filsafat. Justru karena itu agama turun. Tapi apa dan bagaimana agama, sehingga ia harus turun pada manusia? insyaAllah akan diulas dalam beberapa tulisan ke depan.

(Bersambung)