Asyura Bukan untuk Si Manja yang Lemah Jiwanya

Banyak orang enggan mengenang Asyura dan Karbala bukan karena kebencian atau terinfeksi takfirisme, tapi karena menolak konsekuensi spiritual, mental, sosial, dan individualnya.

Mereka mungkin mengaku menghormati Al-Husain tapi tak ingin mengubah pola pikir, pola perilaku dan mindsetnya yang tercangkok lama.

Bagi mereka, tragedi Karbala hanyalah sebuah fragmen sejarah yang telah berlalu. Bagi mereka, mengenangnya berarti meratapi sebuah museum derita yang hanya menghidupkan dendam dan kebencian. Karena itu, meski mengaku menghormati kepahlawan Al-Husain dan para martir yang gugur bersamanya, mereka menganggap memperingati Asyura adalah perbuatan sia-sia bahkan irrasional.

Karena bagi mereka, Al-Husain hanya sebuah sosok dan karena Karbala tidak lebih dari sebuah ladang genosida masa silam yang harus dilupakan agar bisa bebas dari trauma dan supaya manusia hidup tenang, aman dan nyaman.

Tapi bila memandang peristiwa Karbala secara holistik sebagai epos laga kebenaran vs kepalsuan, keadilan vs kezaliman dan kejujuran vs keculasan, maka 10 Muharam akan menjadi memontum reloading spirit Husainisme -sebagai simbol kemanusiaan yang terus mengilhami gelora para pencinta kebenaran dan keadilan.

Memang, dalam peringatan Asyura ada ritus-ritus khas seperti pembacaan narasi Karbala yang amat memilukan. Air mata hangat yang membasahi pipi orang-orang yang mengenangnya itu dipompa dari kalbu penuh cinta, cinta keadilan, kemerdekaan dan kejujuran serta keberanian.

Orang-orang rapuh menangis karena ketidakberdayaan. Orang-orang tangguh menangis karena empati. Pecundang menangis karena takut. Kesatria menangis karena tekad mengutamakan kemuliaan atas ketenteraman, kemerdekaan atas keamanan dan keadilan atas kesejahteraan.

Asyura memang bukan untuk orang-orang lemah jiwa. Karbala hanya diperingati oleh orang-orang yang menjadikan peringatannya sebagai proses katarsis demi mentransformasi duka menjadi gelora, agar hidup tak hanya diisi dengan makan, minum, tidur dan tertawa.

Para budak menuntut kemerdekaan. Al-Husain dan para martir menciptakan kemerdekaan. Karbala mengabadikan pekik PANTANG HINA!!!

Manusia-manusia manja mencari aman. Manusia-manusia tangguh mencari iman. Karbala hanya menerima aman setelah iman.

Para wanita canggug dan ringkih menuntut pengakuan kesetaraan. Zainab dan para wanita Karbala membuktikan bahwa kesetaraan dihadirkan dalam sikap dan pilihan jalan hidup.

Para bangsawan Umayah dan kroninya membangun kharisma di atas kekejaman, kesombongan dan keculasan. Abbas putera Ali membangun kharisma di atas kesetiaan, ketulusan dan kepatuhan.