Kisah Dua Sahabat

Alkisah, ada dua orang yang hidup bertetangga dan saling bersahabat. Seorang beragama Islam, dan seorang lagi non-Muslim. Mereka saling membantu, saling memperhatikan satu sama lain. Si lelaki Muslim adalah pria yang sangat saleh dan berilmu agama cukup tinggi. Ia sering menceritakan betapa mulianya ajaran Islam kepada sahabatnya itu. Akhirnya, sahabatnya pun masuk Islam.

Keesokan harinya, menjelang fajar, lelaki saleh itu mengetuk pintu rumah sahabatnya yang baru masuk Islam itu.

“Saudaraku, bangunlah segera!”

“Ada apa engkau datang sepagi ini?”

“Cepatlah, kenakan pakaianmu dan berwudhulah! Mari kita pergi ke masjid bersama.”

Sahabatnya pun buru-buru berganti baju lalu melakukan wudhu untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Mereka pun segera berangkat ke masjid dan tiba sebelum azan.

“Azan masih cukup lama, ayolah kita salat dulu, salat sunah!” kata lelaki saleh itu kepada si lelaki mualaf (orang yang baru masuk Islam).

Mereka pun salat sampai azan Subuh menggema. Usai salat Subuh, si lelaki mualaf pun bergegas pergi. (Baca: “Fikih Quest 48: Berdoa Ketika Sujud dalam Salat“)

“Hei, kamu mau pergi ke mana?”

“Aku mau pulang, kan salat Subuh sudah selesai?”

“Tunggu sebentar dan mari kita bacakan doa sampai matahari terbit,” kata si lelaki saleh.
“Baiklah,” jawab si mualaf.

Mereka pun duduk dan membaca doa dan wirid sampai matahari terbit. Si lelaki mualaf pun bersiap pergi. Tapi ditahan oleh sahabatnya.

“Tunggu, mari kita baca Quran dulu sampai matahari terbit sedikit tinggi. Dan aku menyarankan kamu untuk berpuasa hari ini. Tidakkah kamu tahu berapa banyak kebajikan dan penghargaan yang ada dalam puasa?”

Sahabatnya menurut. Mereka pun duduk di masjid sampai siang.

Si lelaki saleh berkata, “Sekarang sudah hampir siang hari, lebih baik kita melakukan salat Zuhur dulu di sini.” (Baca: “Solidaritas Palestina, Salah Satu Pilar Persatuan Islam“)

Keduanya pun menunaikan salat di masjid. Usai salat, ketika si lelaki mualaf bersiap pulang, sahabatnya mencegahnya, “Jangan dulu. Sebentar lagi Ashar. Kita duduk saja di sini. Lalu, kita tunggu waktu Maghrib dan berbuka bersama di sini.”

Mereka pun menanti sampai Ashar, Maghrib, dan baru pulang setelah menunaikan salat Isya dan beberapa ibadah lanjutan usai salat.

Esok paginya, menjelang fajar, si lelaki saleh kembali mengetuk pintu rumah sahabatnya.

“Cepatlah bangun, mari kita ke masjid!”

“Maaf, sepulang dari masjid tadi malam, saya sudah mengundurkan diri dari agama Anda. Pergilah dan temukan beberapa pria malang lain yang tidak ada urusan dengan dunia sehingga dia bisa menghabiskan seluruh waktunya di masjid. Saya adalah orang miskin yang memiliki istri dan anak-anak untuk diberi makan, jadi saya harus bekerja.”

***

Imam Ja’far Sadiq as. menceritakan kisah tersebut kepada teman-teman dan sahabatnya. Beliau mengatakan, “Dengan demikian, seorang lelaki saleh setelah membawa sahabatnya memeluk agama Islam, kemudian menendangnya keluar dari Islam. Anda semua harus mengingat hal ini. Janganlah merepotkan orang-orang dengan hal-hal yang tidak perlu.

Anda harus menilai kekuatan dan kapasitas mereka dan bertindak dengan sesuai, agar mereka mengembangkan kedekatan dengan agama dan tidak lari darinya. Tidak tahukah Anda bahwa kebijakan Umayyah didasarkan pada kekerasan, penindasan, dan intimidasi, sedangkan cara kita didasarkan pada kelonggaran, persaudaraan, dan nasihat.”[*]