Arbain dan Peradaban Baru Islam

Arbain empat puluh hari setelah syahadah Imam Husain as adalah sebuah titik kebangkitan. Muara pergerakan Husaini dimulai dari titik ini, termasuk darinya adalah sebuah peradaban baru Islam telah siap digaungkan. Lebih kokoh dan lebih utuh. Peradaban baru dengan landasan dasar pergerakan Imam Husain as.

Peradaban yang benderanya dipancangkan oleh Imam Ali Zainal Abidin dan disokong oleh Sayidah Zainab sang Srikandi Karbala. Dua manusia istimewa inilah penyeru dan penyadar umat akan nilai juang dan pemompa semangat Umat Islam dari zaman ke zaman.

sebelumnya Islam hampir hancur dan musnah akibat segala kebejatan yang dilakukan Muawiyah dan diperparah oleh anaknya yaitu Yazid bin Muawiyah.

Dengan semua kebijakan yang merugikan pemerintahan Islam dan juga berpotensi besar menghancurkan seluruh sendi peradaban yang sudah dibangun oleh Nabi Muhammad Saw.

Dalam sebuah hadis Nabi berkata Husain mini wa ana min Husain. Husain dariku dan aku dari Husain.

Semua ilmu dan kemuliaan milik Husain adalah dari Nabi Muhammad Saw, semua akhlak mulia Husain as diserap dan didapatkan dari kakeknya. Peradaban dari Nabi Muhammad Saw dan peradaban dari Imam Husain as eksistensinya adalah sama. Apa yang dilakukan Imam Husain adalah apa-apa yang diharapkan dan juga direncanakan oleh Nabi Muhammad Saw, semua demi kemaslahatan umat. Peradaban dengan dasar kemaslahatan umat manusia, demi kemanusiaan yang adil dan beradab.

Satu hal yang dibangun Nabi Muhammad SAW adalah peradaban Islam dengan semua kemuliaan yang ada. Dasar-dasar peradaban sudah dibangun Nabi, peradaban dengan dasar akhlak mulia dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Bangunan peradaban yang mengutamakan pada nilai-nilai moralitas dan nilai-nilai tinggi dan utama bukan mengejar kekuasaan dan harta benda duniawi. Sebuah ‘baladan aminan’ bukan sebuah kerajaan yang mementingkan dan menumpuk kekayaan bagi keluarga kerajaan semata.

Perbandingan ini dapat dilihat dari apa yang sudah dilakukan Nabi pada awal hingga akhir hayat beliau dan apa yang dilakukan Muawiyah dan bani Umayyah serta bani Abbasiyah dalam sejarah yang sudah mereka torehkan. Betapa besar perbedaan terlihat, Nabi Muhammad Saw tidak pernah sama sekali hidup menyerupai raja raja Persia atau raja Romawi yang sejaman waktu itu, beliau tetap hidup bersahaja, hidup sederhana, makan dan minum dari hasil keringat sendiri bukan mengeruk dari baitulmal milik kaum muslimin. Beliau tidur di pelepah kurma yang membuat bekas pada tubuh beliau bukan diatas kasur kasur empuk berselimut sutra. Makan dengan sederhana dengan siapa saja tidak tebang pilih, beliau turun ke jalan menyuapi orang buta dengan tangan beliau yang mulia. Membantu ekonomi para janda yang ditinggal syahid oleh suami mereka. Semua hal ini bukan prilaku seorang raja, sangat berbeda dengan raja raja yang mengaku sebagai penguasa Islam, pemerintahan Islam tapi sejatinya mereka menjadi raja dan berkuasa, memerintah bukan dengan ajaran Islam, berprilaku juga tidak mencontoh kesederhanaan Nabi Muhammad Saw.

Pada kejadian sebelum tragedi asyuro sebenarnya posisi Imam Husain as berada di Madinah, namun Yazid dan pasukannya tidak bisa menghargai peradaban yang sudah dibangun baginda Nabi, mereka tidak segan untuk menumpahkan darah walau pun itu adalah kota Madinah Al Munawarah, karena itu Imam Husain sebagai itmamul hujjah berpindah ke kota suci Mekah, ternyata pada saat melaksanakan Ibadah Haji yang belum tuntas itu, gelagat pasukan Yazid menunjukkan hal yang buruk, kesakralan kota suci Mekah tidak ada harganya dihadapan pasukan yang haus gelimang dunia ini.

Imam Husain walau belum selesai melaksanakan ibadah Haji akhirnya harus keluar dari kota suci Mekah. Orang-orang yang mengincar Imam Husain as adalah mereka yang sama sekali tidak bisa menghargai peradaban. Sehingga mereka mampu dan berani menumpahkan darah walau itu di kota Madinah atau bahkan kota suci Mekah. Tempat paling tepat bagi orang-orang semacam itu bukan di sebuah peradaban tapi di tengah-tengah pada pasir, di daerah yang liar. Akhirnya sampailah titik pertemuan di sebuah tempat gersang di tengah pada pasir karbala, disanalah Imam Husain harus menyampaikan hujjah terakhir, memaparkan ajakan kepada kebenaran dan kemanusiaan, melakukan ammar ma’ruf Nahi anil munkar, beliau bukan datang kesana tapi hendak melewati bersama kaaravan dengan adab rombongan yang ingin berpindah tempat, bukan sebagai sekelompok pemberontak yang hendak melawan penguasa pada waktu itu. Beliau dan rombongan tidak bersenjata lengkap, sehingga tidak bisa difitnah dengan menyebut merekat telah melakukan pemberontakan, sehingga andai mereka dibantai maka sejarah akan mencatat mereka sebagai golongan hitam yang berusaha merongrong pemerintah yang sedang berkuasa. Imam Husain as sama sekali tidak merongrong pemerintahan, beliau hanya menjalankan tugas beliau sebagai seorang Imam, menyeru kepada kebenaran, melakukan ammar ma’ruf nahi anil munkar. Itu pun dilakukan dengan amalan baik, dengan nasihat, dengan kasih dan kelemahlembutan, bukan dengan mengangkat pedang.

Ketika Imam Husain as mengangkat pedang di Karbala itu bukan untuk menyerang itu semua adalah bentuk mempertahankan diri, bertahan adalah kewajiban bagi setiap muslim.

Imam Husain as dan rombongan tetap dengan keberadaban mereka yang tinggi, kelompok Yazid bin Muawiyah, Ubaidillah juga tetap dengan ketakberadaban mereka.

Terbukti dalam sejarah mereka telah membuka kota Madinah, pasukan Yazid telah membuat ratusan wanita hamil tanpa ada suami yang jelas, ini adalah bukti kuat tiadanya adab dalam diri yazid dan pemerintahannya.

Arbain menjadi pengingat untuk meninggalkan ketidakberadaban kelompok Yazid dan orang-orang semisalnya, dan memilih insan kamil semisal Imam Husain as dengan semua peradaban tingginya.