Konsep Hikmah (Kebijaksanaan) dalam Perspektif al-Qur’an dan Falsafah Islam(2)

Hikmah menurut Para Filosof Muslim

Para filosof muslim dengan berbagai mazhab filsafatnya, meski berusaha membangun satu definisi masing-masing tentang hikmah atau filsafat dengan bahasa yang berbeda, namun memiliki maksud yang sama. Dimulai dari aliran Peripatetik, diwakili oleh Ibn Sina, Ikhwan al-Shafa, aliran Iluminasi oleh Suhrawardi, ada juga Ikhwan al-Shafa dan terakhir ialah, filsuf yang dikenal dengan karyanya yang berjudul al-Hikmah al-Muta’aliyah.

Menurut Ibn Sina, “al-Hikmah” (ia menyamakan dengan filsafat) merupakan satu upaya mencapakai kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi (tashawwur) atas segala hal dan pembenara (tashdiq) realitas-realitas teoretis dan praktis berdasarkan ukuran kemampuan manusia. Suhrawardi dengan tegas menggunakan kata Hikmah dalam karyanya yaitu, Hikmah al-Isyraq. Suhrawardi melihat Hikmah yang terutama sebagai al-hikmah al-ilahiyyah (secara harfiah, kebijaksanaan ilahi atau teosofi) yang harus direalisasikan dalam sosok utuh manusia dan bukan hanya secara mental. Kita juga dapat menemui pandangan Suhawardi dalam karyanya yang mengatakan dengan tegas bahwa tingkat dan derajat tertinggi hikmah mensyaratkan kesempurnaan daya rasional dan kesucian jiwa. Adapun Ikhwan al-Shafa menulis “Permulaan filsafat adalah cinta pada ilmu, pertengahannya adalah pengetahuan tentang realitas wujud sesuai ukuran kemampuan manusia, dan pamungkasnya adalah kata dan perbuatan yang sesuai dengan kemampuan itu.

Mulla Sadra pada bagian awal kitab Asfar menuliskan bahwa “Falsafah adalah upaya penyempurnaan atas jiwa manusia dan dalam beberapa hal, atas kemampuan manusia melalui pengetahuan tentang realitas esensial segala sesuatu sebagaimana adanya dan melalui pembenaran terhadap eksistensi mereka yang ditetapkan atas dasar demonstrasi dan bukan diturunkan dari opini atau dugaaan.

Titik Temu Konsep Hikmah: Pencapaian Rasionalitas dan Spiritualitas

Filsafat dikenal dengan diskursus rasionalnya, perdebatan yang tak berujung tentang isu-isu yang beragam, mulai dari yang metafisik hingga saintifik. Berbeda dengan Barat, falsafah Islam membangun diskursus bukan untuk filsafat itu sendiri, bukan untuk diskursus itu sendiri, melainkan memiliki tujuan lebih dari itu yaitu, untuk meraih pencapaian spiritualitas.

Kalimat “innalillahi wa inna ilaihi roji’un” yang berarti ‘sesungguhnya kami berasal dari Tuhan dan kelak hanya kepadaNya kami kembali’. Dalam kacamata kosmologi yang memiliki visi antropokosmik – di mana terdapat hubungan holistik antara makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia) dengan Tuhan – bahwa setiap manusia diciptakan dengan cara yang sama dan diberikan fitrah serta potensi yang sama apapun agamanya, rasnya, warna kulitnya. Datangnya manusia ke alam ini dengan cara yang sama, namun pemahamannya, pandangan dunianya yang kemudian membuat setiap manusia berbeda dalam menentukan cara kembali pada asalnya.

 

CATATAN:       

 

[1] Istilah حکمه dibaca Hikmah jika dalam bahasa Arab dan dibaca Hikmat jika itu bahasa Persia. Tapi penulis menggunakan istilah Hikmah dalam artikel ini.