Gaji, Upah, dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib


امام صادق عليه‏ السلام :

أعطِهِم اُجورَهُم قَبلَ أن يَجِفَّ عَرَقُهُم؛

Berikanlah hak (upah) mereka (pekerja) sebelum keringat mereka mengering.

كافى : ج۵، ص۲۸

Gaji dan Upah sangatlah penting, tidak jarang hal ini berhubungan erat dengan kehidupan seseorang, sebagian masyarakat menggantungkan hidup mereka dari gaji yang didapatkan setiap bulan dari perusahaan. Ketika gaji terlambat diberikan maka harus mencari hutang ke teman atau ke tetangga sebab uang sekolah, uang kontrakan, uang cicilan harus dibayar tepat waktu.

Gaji Besar

Demi menaikkan gaji beberapa orang rela masuk lagi ke dunia kuliah, padahal mereka sebenarnya sudah tidak sanggup belajar, sudah nyaman dengan perkerjaan yang dilakukan, namun demi menaikkan gaji yang bisa didapat mereka terpaksa masuk kuliah kembali.

Gaji besar sangat menggiurkan banyak pihak, kursi diperebutkan dimana-mana, rela membeli suara demi tujuan mendapatkan kursi yang diinginkan. Masyarakat pun banyak yang mengetahui bahwa ketika orang yang membeli suara mereka berhasil naik, maka mereka akan mencari uang ganti rugi, setidaknya setara dengan uang yang sudah mereka keluarkan, namun apa daya, masyarakat sebagian tidak peduli hal itu, uang selembar seratus ribu, atau bahkan lima puluh ribu lebih terlihat nyata dibanding janji-janji yang dilontarkan ketika kampanye didepan khalayak. Semua ini terjadi karena konsep penggajian yang ada.

Penggajian pada Pemerintahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib

ketika kita melihat bagaimana sistem penggajian pada pemerintahan Imam Ali, sungguh konsep yang sangat luar biasa. Sebuah kenyataan bahwa tugas di pemerintahan adalah hal sakral dan bernilai tinggi. Kesempatan emas untuk mencari pahala, perbuatan baik walau sedikit namun efeknya besar, tindakan yang berdampak luas bagi masyarakat banyak. Hal ini otomatis akan mendapat hadiah pahala dari Allah SWT.

Konsep gaji yang diterapkan Imam Ali bin Abi Thalib sangat jauh berbeda dengan penggajian yang kita kenal sekarang. Sekarang penggajian bertingkat-tingkat sesuai tingkat pendidikan, tingkat kedudukan, semakin tinggi kedudukan maka nilai gaji yang akan didapatkan juga semakin besar. Gaji seorang camat dibanding bupati, gubernur, anggota DPRD, anggota DPR, anggota MPR, gaji Presiden itu berbeda jauh. Setiap warga ketika melihat gaji dan fasilitas yang ada menjadi ingin menjadi orang nomor satu di Indonesia. Jika tidak maka setidaknya bisa menjadi anggota DPR atau MPR, jika tidak maka ingin jadi anggota DPRD, dewan perwakilan daerah. Begitu seterusnya sampai ke tingkat camat dan lurah. Bahkan untuk menjadi seorang lurah pun tidak sedikit yang rela menghabiskan ratusan juta.

Bisa kita bayangkan disini jika apa yang dilakukan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib diteraplakukan, dimana gaji presiden, anggota DPR, anggota MPR, Gubernur, Bupati, DPRD, guru-guru PNS, pegawai-pegawai pemerintah semua sama, atau setidaknya tidak terlalu jauh berbeda. Kemungkinan besar perebutan kekuasaan tidak akan terjadi.

Jika sarat wara’, berilmu tinggi, sikap sederhana, mementingkan rakyat, mementingkan membantu yang lemah, tidak rakus kekuasaan, bukan pecinta dunia, bukan pecinta kekuasaan, memahami bahwa kekuasaan semakin besar dan semakin tinggi maka dibarengi tanggungjawab yang juga besar. Dimana ketika seorang penguasa berbuat salah dengan korupsi, kolusi, nepotisme dan semacamnya maka dia tidak bisa bertaubat kecuali mendapat ampun dari seluruh masing-masing warga yang dia pimpin.

Kita bisa melihat bagaimana Amirul Mukminin Ali memilih pemimpin Mesir, pada waktu itu beliau memilih Malik Asytar, seorang berilmu, seorang ksatria, seorang panglima perang, seorang ahli strategi, seorang yang pemaaf, seorang yang tidak cinta dunia, tidak rakus terhadap kekuasaan, tidak hanya demikian Amirul Mukminin juga memberikan serentetan nasihat kepada wakil beliau yang baru itu, beliau mengutus wakil dengan memastikan bahwa wakil itu akan berpihak kepada rakyat, memikirkan rakyat, bersikap sebagai manusia yang seharusnya, menjadi pemimpin tidak lantas berubah menjadi hewan yang rakus dan menghancurkan, hanya mengutamakan kepentingan pribadi, keluarga dan golongan.

Belajar dari Ali

Sudah selayaknya hal yang sangat sederhana ini menjadi pelajaran besar dalam membangun pemerintahan sehat. Pemerintahan yang sangat berpihak kepada rakyat, berpihak kepada keadilan, mendukung kaum tertindas dan menolong mereka keluar dari ketertindasan. Pemerintahan dengan warna ilahi dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang nyata-nyata dipraktikkan.

Nasihat yang diberikan Ali bin Abi Thalib layak menjadi buku panduan wajib bagi para pemimpin, pemimpin yang ingin mengabdi kepada rakyat. Nasihat itu adalah panduan lengkap bagaimana menjadi orang berkedudukan tertinggi, bagaimana menjadi orang nomor satu di suatu daerah atau di sebuah Negeri.

Sistem penggajian yang beliau lakukan, tanpa ada keberpihakan apalagi hanya membedakan kedudukan lalu gaji harus dilipatgandakan, merupakan solusi cerdas sehingga tidak ada yang berebut kekuasaan. Terlihat nyata bahwa kekuasaan adalah media untuk mengabdi kepada masyarakat. Bukan ajang untuk mengumpulkan pundi-pundi uang rakyat ke rekening pribadi atau keluarga.