Awal Kepemimpinan Imam Mahdi as(1)

Setelah Imam Hasan al-Askari as, imam kesebelas Ahlul Bait Nabi, gugur syahid pada 8 Rabiul Awwal tahun 260 Hijriyah, putra beliau Imam Mahdi as (Muhammad bin Hasan) memulai tanggung jawab sebagai pemimpin umat pada 9 Rabiul Awwal 260 H.

Untuk upacara pemakaman, khalifah Dinasti Abbasiyah menunjuk seseorang untuk memimpin shalat jenazah atas tubuh suci Imam Hasan al-Askari as dan mengira peristiwa ini sebagai akhir dari periode imamah dan kepemimpinan Ahlul Bait atas umat Islam. Para pejabat Dinasti Abbasiyah telah melakukan persiapan yang matang, tetapi orang yang ditunjuk tersebut gagal memimpin shalat jenazah.

Ketika ia bersiap untuk memimpin shalat jenazah, tiba-tiba seorang anak yang masih berusia sekitar lima tahun datang dan meminta orang yang ditunjuk oleh penguasa itu untuk mundur ke belakang. Imam Mahdi as melakukan shalat jenazah dan setelah itu – atas kuasa Allah Swt – ia menghilang dari pandangan manusia sebelum pasukan Dinasti Abbasiyah berbuat sesuatu yang dapat membahayakan keselamatannya.

Atas kehendak Allah Swt dan pertimbangan lain, kepemimpinan Imam Mahdi as atas umat ini dimulai dengan periode keghaiban kecil (Ghaibah Sughra) dan periode ini berlangsung hingga tahun 329 H. Sejak masa itu, Imam Mahdi menjalani masa keghaiban panjang (Ghaibah Kubra) sampai hari ini.

Ghaibah Kubra ini menjadi ujian yang paling berat bagi umat, karena tidak mungkin lagi membangun hubungan langsung dengan Imam Mahdi as dan juga tidak ada wakil khusus yang ditunjuk untuk menjadi penghubung antara imam dan masyarakat.

Berdasarkan prinsip-prinsip agama, manusia selalu membutuhkan penunjuk jalan. Sejak awal penciptaan manusia, dunia tidak pernah vakum dari keberadaan para nabi dan imam maksum yang berperan sebagai hujjah Allah Swt (penunjuk jalan) atas manusia.

Kebutuhan akan hujjah ini bersifat abadi, karena manusia membutuhkan bimbingan orang-orang mulia yang ditunjuk oleh Tuhan dalam menapaki jalan hidayah dan menemukan kebenaran. Para hujjah ini memikul tanggung jawab untuk membimbing dan memimpin umat manusia menuju Sang Pencipta.

Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Bumi tidak akan pernah kosong dari hujjah yang mengenalkan manusia kepada yang halal dan haram serta menunjukkan mereka kepada jalan Allah. Hujjah Tuhan di muka bumi tidak akan diambil kecuali 40 hari sebelum terjadinya kiamat. Ketika hujjah Tuhan diambil, pintu taubat akan ditutup dan keimanan yang diperoleh setelah peristiwa ini, tidak akan berguna baginya.”

Meskipun bumi tidak pernah kosong dari hujjah, namun sejarah kehidupan 12 Imam Syiah menunjukkan bahwa periode kehadiran mereka di tengah umat menjadi lebih singkat dari periode Imam Ali as setelahnya. Tekanan dan ancaman para penguasa lalim serta kesadaran masyarakat yang rendah pada masa itu, membuat para imam merasa terasing di tengah umat.

Dengan kata lain, masyarakat Islam semakin kehilangan kelayakan untuk menerima para imam maksum, sehingga menjelang periode Ghaibah Sughra, hubungan langsung imam dengan masyarakat dan kehadiran beliau di tengah masyarakat semakin berkurang.

Oleh karena itu, salah satu faktor yang dianggap sebagai falsafah keghaiban Imam Mahdi as adalah kezaliman yang dilakukan manusia di sepanjang sejarah. Sebuah riwayat dari Imam Ali as menyebutkan, “Ketahuilah bahwa bumi tidak pernah kosong dari hujjah, tetapi Allah kadang menyembunyikan hujjahnya dari manusia karena kezaliman dan sikap berlebih-lebihan yang mereka perbuat.”