Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Kenapa Hasil Istikharahku Buruk?

1 Pendapat 05.0 / 5

Diriwayatkan bahwa salah satu sahabat Imam Ja’far Shadiq as berniat melakukan perjalanan niaga. Dia lalu menemui Imam as untuk meminta istikharah. Ternyata, hasil istikharahnya buruk. Meski demikian, orang itu mengabaikannya dan tetap pergi untuk berniaga.

Dalam perniagaannya, orang itu memperoleh laba yang berlimpah. Ia pun heran kenapa hasil istikharahnya dari Imam Ja’far as buruk. Ia menyangka, istikharah buruk adalah pertanda ia akan merugi dalam niaganya. Kenyataannya, ia justru mendapat keuntungan besar dalam perjalanan niaganya.

Sepulangnya dari perjalanan, ia lalu menemui Imam Ja’far as. Ia berkata,”Wahai putra Rasulullah, ingatkah Anda bahwa sebelum ini, istikharah saya untuk berdagang hasilnya buruk? Namun ketika saya tetap pergi untuk berdagang, saya mendapat laba yang berlimpah dalam perjalanan itu. Lalu kenapa istikharahku buruk?”

Imam Ja’far as tersenyum mendengar ucapan sahabatnya. Beliau lalu berkata,”Dalam perjalananmu itu, ingatkah bahwa kau singgah di suatu tempat karena kelelahan? Kau sempat melakukan salat Magrib dan Isya sebelum makan malam. Setelah itu, kau lalu tidur untuk beristirahat. Saat bangun tidur, matahari telah terbit dan kau melewatkan salat Subuh hingga kau harus mengqadhanya.” (Baca: Makna Azan di Mata Ahlulbait Nabi)

Orang itu membenarkan ucapan Imam Ja’far as. Beliau lalu berkata,”Andai Allah memberimu seluruh dunia beserta isinya, niscaya itu tak bisa menutupi kerugianmu karena telah melewatkan salat Subuh.” (Jehad ba Nafs, jil 1 hal 66).

Apa pelajaran yang bisa dipetik dari riwayat di atas? Sedikitnya ada dua poin yang bisa disimpulkan.

Poin pertama, tentu berkenaan dengan pentingnya kedudukan salat. Sebagaimana kita ketahui, salat adalah bagian dari furu’udin (cabang agama). Salat adalah tolok ukur bagi amal-amal kita. Jika salat diterima, maka amal-amal lain akan diterima Allah.

Bagi para pesuluk dan peniti jalan cinta menuju Allah, salat dipandang sebagai sarana terbaik untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Salat adalah saat terbaik untuk bercengkerama dengan Sang Kekasih. Bagi para pesuluk, waktu salat selalu dinanti-nantikan, karena itulah saat mereka bisa ‘membubung’ ke langit, ketika mereka sudah letih dengan rutinitas bumi yang menjemukan. Tak heran, jika salat dalam kamus para pesuluk disebut sebagai “mi’rajul mukmin.”

Mungkin kita yang awam ini terlalu kerdil untuk memahami makna salat seperti kaum urafa. Namun, setidaknya, dengan merujuk sejumlah riwayat dari Maksumin as, kita bisa mencerna kedudukan salat dalam Islam. Berikut ini dua riwayat dari Aimmah as terkait pentingnya salat dan keharusan seorang muslim untuk memprioritaskan salat:

1) Abu Bashir meriwayatkan,”Aku menemui Humaidah guna menyampaikan dukacitaku atas wafatnya Abu Abdillah (Imam Ja’far) as. Dia menangis dan berkata,’Wahai Abu Muhammad, andai saja kau menyaksikannya saat ajal menjemputnya. Ia membuka salah satu matanya dan memanggil para kerabat serta orang-orang dekatnya. Setelah mereka berkumpul, ia berkata,’Syafaat kami (Ahlulbait as) tak akan meliputi orang yang meremehkan salat.’” (Muntakhab Mizan al-Hikmah 302)

Tak satupun dari kita yang tidak membutuhkan syafaat Ahlulbait as. Apalagi jika kita adalah orang yang berlumur dosa. Maka, kita mesti melakukan berbagai upaya agar kita meraih syafaat mereka di hari kiamat.

Salah satunya dengan cara mementingkan salat. Makna mementingkan salat lebih dari sekedar menunaikan salat. Sebab, bisa jadi ada orang yang tak pernah meninggalkan salat, tapi dia dianggap meremehkannya. Misalnya, saat dia tak memiliki halangan syar’i atau ‘urfi untuk melakukan salat awal waktu, dia malah menunda salatnya.

2) Imam Ali as berkata,”Hendaknya seseorang tidak melakukan perjalanan, jika dikhawatirkan perjalanan itu akan merugikan salat dan agamanya.” (Wasail asy-Syiah jil 11 hal 344).

Riwayat ini dengan jelas menggambarkan urgensi salat. Melalui riwayat ini pula, kita bisa mengetahui alasan buruknya hasil istikharah sahabat Imam Ja’far as. Singkat kata, salat mesti diprioritaskan atas hal-hal lain, agar kita tidak dikategorikan sebagai orang yang meremehkan salat, na’udzu billah min dzalik.
Baik-buruknya Hasil Istikharah

Poin kedua yang bisa disimpulkan dari kisah di atas, berkaitan dengan tolok ukur baik-buruknya hasil istikharah. Mungkin selama ini kita menilai hasil istikharah terkait dengan sisi duniawi belaka. Misalnya, saat kita beristikharah untuk menikahkan putri kita dengan seorang pria, dan hasilnya baik, kita berpikir,”Putriku akan hidup bahagia dan sejahtera dengan menikahi pria ini.” Ternyata, di kemudian hari, putri kita dan suaminya hidup dengan kondisi ekonomi terjepit. Maka, kita pun bertanya-tanya, kenapa kenyataannya berbeda dengan hasil istikharahku dahulu?

Dengan berkaca pada riwayat di atas, kita bisa menyadari bahwa baik-buruknya hasil istikharah tak sekedar berkaitan dengan keduniawian. Sangat mungkin terjadi, bahwa baik-buruknya istikharah lebih dipengaruhi sisi ukhrawi.

Jika kita beristikharah untuk menikahkan putri kita dengan seorang pria, dan hasilnya baik, bisa jadi bahwa itu berarti mereka akan menjadi pasangan yang harmonis dan saling mendukung dalam urusan keagamaan; pasangan yang akan mewariskan keturunan saleh, walau, mungkin, dari sisi kesejahteraan ekonomi, mereka tidak dalam kondisi ideal.

Alhasil, pelajaran yang bisa diperoleh dari kisah di atas adalah, bahwa dalam kondisi apa pun, keuntungan dan kerugian ukhrawi mesti menjadi pertimbangan utama kita saat hendak melakukan sesuatu. Sebab, keuntungan dan kerugian duniawi hanya sementara, sedangkan keuntungan dan kerugian ukhrawi bersifat abadi.[*]