Apa maksud ayat-ayat 85 hingga 87 surah al-Hijr?

Allah Swt, pada ayat-ayat di atas, menyebutkan hak dan teleologisnya penciptaan langit dan bumi (bahwa penciptaan bumi dan langit memiliki tujuan). Di samping itu, ayat-ayat ini menganjurkan kepada Rasulullah Saw untuk bersikap santun dan tetap hormat dalam menghadapi pelbagai sikap keras kepala, fanatisme, kebodohan, cercaan, penentangan para musuh dan orang-orang bodoh. Allah Swt bahkan meminta Rasulullah Saw untuk memaafkan mereka dan tetap ramah menghadapi mereka.

Pada akhir ayat, Allah Swt memberikan sugesti kepada Rasulullah Saw untuk tidak pernah merasa kuatir dalam menghadapi kekerasan dan banyaknya kuantitas masyarakat serta segala fasilitas materi yang mereka miliki; karena Allah Swt memberikan pelbagai karunia dan dalil-dalil bagi kenabian kepada Rasulullah Saw yang tiada satu pun mampu menandinginya.

Allah Swt pada ayat-ayat ini berfirman, “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan hak. Dan sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik (dan janganlah kamu cerca mereka karena kebodohan mereka). Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah Yang Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui”[1]

Yang dimaksud dengan “hak” pada ayat, “wamâ khalaqnâ al-samâwât wa al-ardh wa ma bainahum illa bilhaq” (Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan hak) adalah sebuah makna sebagai bandingan dan tandingan dari kebatilan dan senda gurau. Maksudnya bahwa penciptaan langit-langit dan bumi tidak terlepas dari kebenaran, bahkan seluruhnya senantiasa bersama kebenaran. Karena itu terdapat tujuan bagi penciptaan yang akan segera kembali pada tujuan tersebut; karena apabila tidak terdapat tujuan dalam penciptaan maka penciptaan ini adalah senda-gurau.[2]

Kemudian pada kelanjutan ayat, Allah Swt berfirman, “Wa inna al-sâ’ata laatiyatun.” (Dan sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang). Petunjuk ayat jelas dengan klaim ini; lantaran telah dijelaskan tujuan atas penciptaan (pada ayat sebelumnya).[3] Allah Swt berfirman kepada Rasul-Nya untuk bersikap santun dan tetap hormat di hadapan pelbagai sikap keras kepala, fanatisme, kebodohan, cercaan, penentangan para musuh dan orang-orang bodoh dan memaafkan mereka atas dosa-dosa yang mereka lakukan,[4] fashfahi al-shafha al-jamil (maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik): “Karena Rasulullah Saw karena memiliki dalil jelas pada jalan dakwah dan risalah yang ditugaskan padanya, untuk mengukuhkan fondasi-fondasi mabda (asal) dan ma’âd (akhir) pada hati-hati manusia, tidak diperlukan kekerasan, karena logika dan akal bersamanya, di samping itu, bersikap keras di hadapan orang-orang bodoh, pada umumnya akan meningkatkan permusuhan dan sikap fanatik.[5]

“Sha-fa-h” aslinya bermakna sisi dan tepi segala sesuatu;[6] seperti lembaran wajah. Atas dasar itu, fashfahi bermakna “berpaling dan melalukan” dan karena berpaling dari sesuatu terkadang disebabkan oleh tiadanya perhatian atau marah dan semisalnya, dan terkadang dikarenakan oleh maaf dan jiwa besar, karena itu pada ayat di atas, kalimat di atas segera disertai dengan ajektif “jamil” (baik) sehingga makna kedua yaitu memaafkan dapat dipahami.[7]

Dalam sebuah riwayat dari Imam Ridha As terkait dengan tafsir ayat di atas, bersabda “Maksudnya memaafkan tanpa hukuman dan celaan.”[8]

Redaksi kalimat, “Fashfahi al-shafha al-jamil” jamil (maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik) merupakan penggalan dan bagian dari masalah sebelumnya, dan fa’ tafri’ (cabang) memberikan makna yang seperti ini; setelah diketahui bahwa penciptaan alam semesta dilakukan dengan hak dan suatu haris kelak mereka akan dihitung dan dihukum pada hari kiamat, karena itu, engkau tidak lagi perlu merasa kuatir akan cercaan dan ejekan mereka.[9]

Dan redaksi kalimat selanjutnya, “Inna rabbaka huwa al-khallaqu al-‘alim” (Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah Yang Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui) sejatinya sebagai ganti keharusan memaafkan, melupakan dan shafh jamil.[10] Dan seseorang yang menitahkan untuk melupakan dan memaafkan ini adalah Allah Swt yang merupakan Mahapencipta lagi Mahamengetahui. Dia mengetahui bahwa sikap memaafkan dan melupakan akan menyisakan pengaruh yang hebat pada ruh seseorang dan masyarakat, karena itu beramal atas perintah shafah tidak akan menjadi berat bagimu.”[11]

Pada penghujung ayat, Allah Swt memberikan sugesti dan motivasi kepada Rasulullah Saw untuk tidak pernah merasa kuatir dalam menghadapi kekerasan dan banyaknya kuantitas masyarakat serta segala fasilitas materi yang mereka miliki; karena Allah Swt memberikan pelbagai karunia dan dalil-dalil bagi kenabian kepada Rasulullah Saw yang tiada satu pun mampu menandinginya.[12] Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang (surah al-Fatihah) dan Al-Qur’an yang agung. Wa laqad atainâka sab’an min al-matsani wa al-qur’an al-‘azhim.” (Qs. Al-Hijr [15]87)

Adapun terkait dengan apa yang dimaksud dengan sab’a matsâni kami persilahkan Anda untuk menelaah indeks, Falsafah Penamaan Surah Hamd (Al-Fatiha) sebagai Sab’a Matsâni, Pertanyaan 1910 (Site: 3298).

CATATAN:

[1]. Qs. Al-Hijr (15):85-87.

«وَ ما خَلَقْنَا السَّماواتِ وَ الْأَرْضَ وَ ما بَیْنَهُما إِلاَّ بِالْحَقِّ وَ إِنَّ السَّاعَةَ لَآتِیَةٌ فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمیلَ، إِنَّ رَبَّکَ هُوَ الْخَلاَّقُ الْعَلیمُ، وَ لَقَدْ آتَیْناکَ سَبْعاً مِنَ الْمَثانی‏ وَ الْقُرْآنَ الْعَظیمَ».

[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 12, hal. 188, Daftar Intisyarat-e Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H.

[3]. Ibid.

[4]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 11, hal. 127, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.

[5]. Ibid.

[6]. Muhammad bin Mukarram Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 2, hal. 512, klausul “al-sha-f-h” Dar Shadir, Cetakan Ketiga, Beirut, 1414 H. Husain bin Muhammad Raghib Isfahani, al-Mufradât fi Gharib al-Qur’ân, Riset oleh Shafwan Adnan Dawudi, hal. 486, Dar al-Ilm al-Dar al-Syamiyah, Cetakan Pertama, Damaskus 1412; Sayid Ali Akbar Qarasyi, Qâmus Qur’ân, jil. 4, hal. 131, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Keenam 1371 S.

[7]. Tafsir Nemune, jil. 11, hal. 127 & 128.

[8]. Syaikh Shaduq, ‘Uyûn Akhbâr al-Ridhâ As, Riset dan Koreksi oleh: Mahdi Lajuardi, jil. 1, hal. 294, Nasyr Jahan, Teheran, Cetakan Pertama, 1378 S. Abdu Ali bin Jum’ah Arusi Huwaizi, Tafsir Nur al-Tsaqalain, Riset oleh Sayid Hasyim Rasul Mahallati, jil. 3, hal. 27, Intisyarat-e Ismaliyan, Cetakan Keempat, Qum, 1415 H.

[9]. Al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 12, hal. 190.

[10]. Tafsir Nemune, jil. 11, hal. 128.

[11]. Muhsin Qira’ati, Tafsir Nur, jil. 6, hal. 352, Markaz Farhanggi Darsha-ye az Qur’an, Teheran, Cetakan Kesebelas, 1383 S.

[12]. Tafsir Nemune, jil. 11, hal. 129.