Situs Al Imamain Al Hasanain Pusat Kajian Pemikiran dan Budaya Islam

Abu Lahab: Meski Sangat Benci Nabi, Aku Mendapat Nikmat di Neraka

1 Pendapat 05.0 / 5

“Hidupku dihabiskan untuk membenci dan mencelakai Muhammad. Namun aku pernah sekali merasa sangat bahagia atas kehadirannya”

Namaku adalah Abdul ‘Uzza bin Abdul Muthalib (w. 624 M.). Aku dijuluki Abu ‘Utbah, dinisbatan pada anak sulungku yang bernama ‘Utbah bin Abdul ‘Uzza bin Abdul Muthalib. Aku juga biasa dijuluki Abu Lahab, ‘lahab’ berarti berseri-seri. Julukan ini diberikan padaku karena tampangku yang berseri-seri. Tapi sayang, perangaiku tak seindah rupaku. Bahkan, dalam film-film, aku sering diperankan oleh orang yang berwajah sangar dan garang. Padahal wajahku tidak demikian. Istriku bernama Umu Jamil. ‘Jamil’ artinya indah atau cantik. Namun sayang, dia juga tidak jauh beda denganku. Perangainya tak seindah namanya.

Aku adalah orang yang sangat jahat. Berkali-kali menyakiti Muhammad. “Nabi akhir zaman”, begitu orang-orang menyebutnya, tidak denganku. Aku selalu berusaha mencelakai Muhammad. Namun setiap aku melancarkan aksi, selalu saja gagal. Muhammad memang sakti. “Dasar si tukang sihir!” Begitulah umpatku setiap melihat kesaktian Muhammad.  Akulah sang Pembesar Quraisy. Bukan Abu Lahab kalau menyerah begitu saja. Berbagai siasat, trik, sudah aku coba. Gagal dan gagal lagi. Sabar, sabar, sabar. Huff.

Aku pernah memukulnya dengan batu hingga tumitnya berdarah. Aku tidak segan melampari kotoran ke rumah Muhammad. Kebetulan rumah Muhammad bertetangga denganku. Aku juga pernah mencoba menumpanginya batu besar saat Muhammad sedang salat posisi sujud. Tapi sial, saat itu tanganku tiba-tiba kaku, tidak bisa digerakan. Muhammad menolongku, dan seperti biasa aku bilang, “Halah! Ini pasti sihir.” Aku juga pernah mencoba membunuh Muhammad. Kejahatanku bahkan direkam jelas dalam QS. al-Lahab. “Tabbat yadâ abî lahabiw wa tabb,” Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia!

Istriku juga kompak, ia pernah menebar duri di jalan biasa Muhammad lewat, bahkan di depan pintu rumahnya. Istriku kompak ikut menebar fitnah dan adu domba tentang Muhammad. Dalam al-quran istriku disebut sebagai “Hammâlatal hatab”, pemikul kayu bakar. Itu karena istriku gemar menyulut adu domba dan api permusuhan antara orang Qurasiy dan Muhammad. Seolah-olah ia membakar kayu bakar dengan api.

Orang-orang kafir Quraisy melakukan berbagai cara untuk menjatuhkan Muhammad, dan akulah yang paling gigih di antara mereka. Dalam Rahîq al-Makhtûm, Syekh Safyu ar-Rahmîn al-Mubârakfûrî menjelaskan, bahwa para  kafir Quraisy -yang dipeloporiku- menebarkan fitnah tentang Muhammad dan terus mengejeknya. Menyebarkan bahwa Muhammad gila lah, tukang sihir lah, pendusta lah. Pokoknya apapun kami  lakukan, demi melenyapkan Muhammad dan ajaran “sesat” yang dibawahnya.

Sebelum Muhammad diutus menjadi nabi, sebetulnya hubunganku dengan Muhammad baik-baik saja. Bahkan kedua putraku, Utabah dan Utaibah, aku jodohkan dengan kedua putri Muhammad, Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Aku pernah ‘besanan’ dengan Muhammad. Namun sejak Muhammad diutus menjadi nabi dengan ajaran yang dibawahnya, kuceraikan kedua putraku itu. Hubungan besananku dengan Muhammad, “end”. Aku tidak sudi!

Tidak hanya itu. Jauh sebelumnya, sebagai paman, hubunganku dengan Muhammad juga baik-baik saja. Bangsa Arab terkenal dengan solidarias internal kelompoknya. Bahkan saat Muhammad lahir, aku sangat bergembira sekali. Mungkin hanya saat itulah saat aku merasa bahagia atas kehadiran Muhammad. Untuk orang yang seumur hidupnya hanya membenci dan mencelakainya sepertiku ini.

Saking gembira atas kelahiran Muhammad, sampai-sampai aku memerdekakan Tsuwaibah, budak perempuanku, dengan cuma-cuma. Berkat itulah, setiap seminggu sekali, tepatnya setiap malam Senin (hari kelahiran Muhammad) di antara jari telunjuk dan ibu jariku  keluar air untuk aku minum di tengah-tengah pedihnya siksa neraka. Para sejarawan dan ulama banyak menuliskan kisah ini. Termasuk di anataranya Al Imam Ibnu Katsir (w. 1372 M.) dalam Al Bidâyah wa an Nihâyah dan Syekh Ali bin Burhanuddin alHalbi as Syafii (w. 1635 M.) dalam Sîrah al Halbiyah.

Dalam syairnya, Al Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Nashiruddin Ad Dimasyqi menyenandungkan dengan indah:

اِذَا كَانَ هَذَا كَافِرًا جَآءَ ذَمُّهُ # بِتَبَّتْ يَدَاهُ فىِ اْلجَحِيْمِ مُخَلَّدَا

اَتَى أَنَّهُ فيِ يَوْمِ اْلأِثْنَيْنِ دَائِمًا # يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُوْرِ بِأَحْمَدَ

فَمَا الظَّنُّ بِاْلعَبْدِ اَلَّذِى كَانَ عُمْرُهُ # بِأَحْمَدَ مَسْرُوْرًا وَ مَاتَ مُوَحِّدَا

“Bila si kafir ini (Abu Lahab) saja yang selalu dicela dalam surat Tabbat Yada dan kekal di dalam neraka, mendapat dispensasi setiap hari Senin sebab merasa gembira atas (kelahiran) nabi Ahmad, bagaimana dengan seorang hamba yang selama hidupnya selalu mencintai nabi Ahmad dan meninggal dalam keadaan bertauhid (beriman)”.

Bayangkan, aku yang selalu membenci Muhammad dan meninggal dalam kedaan kafir saja masih bisa mendapat nikmat. Bagaimana jika umat Muhammad yang selama hidupnya selalu mencintai Muhammad dan meninggal dalam keadaan beriman.

Dari penulis, mari jadikan bulan Maulid Nabi Muhammad Saw. sebagai momen untuk meningkatkan rasa cinta kita kepada rasulullah. Semoga kelak kita semua mendapat syafa’at beliau di hari kiamat. Amin.