MENGENAL KENABIAN


MAKNA DAN KEDUDUKAN KENABIAN

Dalam pembahasan ketuhanan kita sudah mengidentifikasi kewajiban mengenal Tuhan, mengesakannya, dan beribadah kepadanya. Terlebih, kita telah mengetahui bahwa Dialah yang telah menciptakan kita. Namun, bagaimana cara Tuhan menginformasikan berbagai hukum, keinginan, dan petunjuk kepada manusia. Secara asumtif kita bisa menyebutkan beberapa Scara, yaitu :

1. Tuhan berbicara langsung kepada setiap orang.
2. Tuhan mengutus malaikat untuk mendatangi setiap orang.
3. Tuhan mengirimkan kitab kepada setiap orang.
4. Tuhan mengutus manusia untuk menyampaikan pesan-pesan-Nya.

Dari keempat alternatif di atas, yang paling memungkinkan adalah alternatif keempat yaitu memilih seorang manusia yang terbaik untuk diutus menerima dan menyampaikan dan menyebarkan ajaran-ajaran Tuhan. Orang yang dipilih sebagai utusan itulah yang di sebut dengan Rasul (utusan/pembawa risalah) atau Nabi (pembawa berita).[1] Dengan demikian An-Nubuwah (kenabian) adalah keyakinan bahwa Allah swt telah mengutus manusia-manusia pilihan untuk menjadi pembimbing umat manusia mencapai kesempurnaan dengan membawa agama Allah swt.

Kedudukan an-Nubuwah (kenabian) merupakan salah satu ushuluddin yang menjadi dasar bagi kita untuk mengamalkan agama dan meyakininya sepenuh jiwa. Hal ini karena, tanpa kenabian kita tidak mengenal syariat agama yang suci. Begitu pula, agar manusia tidak memiliki alasan bahwa Allah membiarkan manusia untuk sesat tanpa memberikan pertolongan untuk mengenal diri-Nya dan hukum-hukum-Nya.[2]

KEHARUSAN ADANYA NABI

Tauhid penciptaan, telah ditegaskan bahwa Tuhan merupakan pencipta seluruh alam, termasuk manusia. Sebagai pencipta, sudah pasti Allah swt mengetahui seluruh seluk beluk ciptaannya. Ciptaan merupakan sistem terbaik yang dengan segala pernak-perniknya diatur sedemikian rupa untuk mengantarkan manusia pada kesempurnaan. Tetapi alam ciptaan ini demikian luas dan tersembunyinya sehingga tidak semua manusia mampu mengetahui rahasianya, sehingga dapat menempuh jalan terbaik menuju kesempurnaan. Bahkan, tidak semua manusia mampu mengenal dirinya, kebutuhan, dan tujuannya, sehingga berusaha dan senantiasa menempuh jalan yang baik dan benar.[3] Dan sesuai dengan kebijaksanaan, keadilan, dan kasih sayangnya, Tuhan memberikan pertolongan kepada manusia dengan menyediakan berbagai sarana bagi manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia dirinya dan jagad raya, serta jalan-jalan menuju kesempurnaannya.

Karena ternyata dari beragam sumber dan sarana manusia untuk mengenal Tuhan dan alam seperti indera, akal, dan hati (intuisi), belum cukup untuk mengantarkan manusia untuk mengenal seluruh rahasia ciptaan Tuhan, maka sesuai dengan kebijaksanaannya Tuhan mesti menyediakan perangkat lainnya untuk mengenalkan dan mengantarkan menusia menuju-Nya. Sebab, alangkah naifnya, jika seseorang mengundang orang lain ke rumahnya namun tidak memberikan alamat dan menunjukkan jalannya. Sebab itu berarti bermain-main dan ajakan sia-sia. Hal itu tidak mungkin terjadi pada diri Tuhan. [4] Perangkat lain tersebut adalah pengutusan orang-orang pilihan (Nabi atau Rasul) yang memiliki pengetahuan sempurna akan wujud Tuhan dan rahasia ciptaan-Nya.[5]

Sederhananya, proposisi di atas ingin menunjukkan bahwa manusia pada umumnya tidak mengenal diri dan alam sekitarnya. Karena ketidaktahuannya itu, maka dia juga tidak mengetahui tujuannya. Untuk itu diperlukan pemberitahuan dari penciptanya agar ia dapat hidup sesuai dengan tujuan dan aturan penciptaan. Dengan demikian, diperlukan pengutusan para Nabi yang membawa agama Allah swt agar manusia dapat hidup sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan. Inilah mengapa dikatakan bahwa penutusan para Nabi bersifat niscaya (wajib).

ARGUMENTASI PENTINGNYA KENABIAN

Gambaran di atas sebenarnya telah membuktikan kepada kita bahwa kenabian adalah hal yang penting bahkan niscaya. Akan tetapi untuk melengkapi pembuktian, di bawah ini akan diuraikan secara singkat beberapa argumentasi akan pentingnya atau keharusan diutusnya para Nabi, yaitu sebagai berikut :

1. 1. Argumentasi Kebijaksanaan (Hikmah). Kita ketahui bahwa Allah adalah Maha Bijaksana, karenanya Dia tidak akan membiarkan manusia tanpa pembimbing dalam mengarungi kehidupan ini. Sesuai dengan tauhid hukum bahwa Allah telah menurunkan hukum-hukumnya, maka mesti adalah yang mengajarkan hukum-hukum tersebut agar terlaksana dengan baik. Karena Allah tidak mungkin berhubungan secara langsung di alam materi, maka Ia akan mengutus seseorang yang telah mencapai derajat tertentu untuk menjadi penyampai, pembimbing dan penjaga hukum-hukumnya (syariat/agama). Orang yang diutus tersebut dikenal dengan Nabi atau Rasul.

1. 2. Argumentasi Rahmat. Allah senantiasa Maha Pengasih dan Penyayang, maka sesuai dengan kasih sayang-Nya tersebut, Dia tidak akan membiarkan makhluknya dalam kebingungan tanpa adanya pembimbing untuk mengamalkan hukum-hukumnya. Karena dengan mengamalkan hukum-hukum-Nya manusia dapat meningkatkan dirinya menuju derajat insan kamil (manusia sempurna). Karena itu Dia akan mengutus seseorang untuk manjadi pembimbing, inilah yang dikenal dengan Rasul atau Nabi.

1. 3. Argumentasi Kesempurnaan. Sesuai dengan hikmah penciptaan bahwa manusia mestilah mencapai kesempurnaan untuk memperoleh kebahagiaan hakiki. Karena manusia diharapkan untuk mencapai kesempurnaan, dan kesempurnaan akan tercapai jika sesuai atau mengikuti jalan-jalan yang digariskan Allah, maka untuk memberitahukan dan membimbing manusia ke jalan yang sempurna itu, Allah mengutus Nabi atau Rasul.

1. 4. Argumentasi Keadilan. Allah Maha Adil, artinya tidak menzhalimi hamba-Nya dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adalah suatu kezhaliman membiarkan ciptaan-Nya dalam keadaan bingung dan tidak mengetahui aturan-aturan kehidupan, karenanya berdasarkan keadilan tersebut, ia mesti mengutus seseorang untuk menjadi pembimbing umat manusia.

Argimentasi-argumentasi di atas menunjukkan dengan jelas akan pentingnya posisi kenabian dalam hidup dan kehidupan manusia. Dan argumentasi-argumentasi rasional diatas, juga didukung banyak ayat-ayat al-Quran, yang menegaskan bahwa Allah telah mengutus para Nabi dan Rasul untuk membimbing umat manusia dan menuntun mereka mencapai kesempurnaan hakiki dan kebahagiaan abadi. Seandainya para nabi itu tidak diutus maka tujuan penciptaan manusia tidak akan tercapai dan manusia akan tenggelam dalam kesesatan. [6]

DERAJAT DAN PENETAPAN KENABIAN

Kenabian merupakan ikhtiar dua arah, yakni ikhtiar manusia sebagai utusan dan ikhtiar Allah swt sebagai pengutus. Inilah yang dikenal dengan istilah ‘derajat kenabian’ dan ‘gelar kenabian’.

Derajat kenabian adalah kondisi tertentu yang dimiliki oleh seseorang sehingga memenuhi syarat untuk menjadi Nabi, sedangkan gelar kenabian merupakan pelantikan dari Tuhan terhadap seseorang yang pantas – dengan pilihan Tuhan— untuk menjadi Nabi yang diutus kepada umat manusia. Dengan demikian derajat kenabian merupakan ikhtiar manusia sedangkan pangkat kenabian merupakan pelantikan yang sepenuhnya hak Allah swt untuk mengangkat siapa yang dikehendaki-Nya.

Dengan penjelasan ini, maka jelaslah bahwa Nabi dapat menjadi teladan karena dengan ikhtiarnya sehingga mampu untuk mengendalikan diri (maksum) dan mencapai derajat kenabian. Disisi lain tidak semua orang berhak menjadi Nabi, karena gelar kenabian sepenuhnya hak Allah swt yang lebih mengetahui kemaslahatan manusia dan kebutuhan akan pengutusan kenabian, “Allah lebih mengetahui dimana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Q.S. al-An’am: 124). Karenanya ada saja orang yang mencapai derajat kenabian akan tetapi, Allah tidak mengangkatnya menjadi Nabi, seperti para Imam. Namun, bagaimana derajat itu bisa didapatkan oleh manusia atau Nabi sebelum menjadi Nabi, padahal ia belum dibimbing oleh wahyu?

Perlu diperhatikan bahwa, pada awalnya seorang nabi dalam meningkatkan kesempurnaan diri dan pengetahuannya berpegang pada kemampuan akalnya. Dalam filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan yang diperoleh akal manusia (termasuk yang diperoleh nabi sebelum menjadi nabi) berasal dari alam yang lebih tinggi dari alam dunia, yaitu alam malakuti (alam mitsal, alam akal, dan alam ketuhanan). Adapun, belajar dan penyucian diri, berfungsi sebagai penyiap bagi jiwa untuk menangkap pancaran ilmu ilahi tersebut.[7]

Imam Khumaini menjelaskan bahwa premis-premis memiliki hubungan persiapan dengan kesimpulan-kesimpulannya dan mempersiapkan jiwa untuk menerima pengetahuan melalui inspirasi dari sumber-sumber gaibnya yang tinggi (mabadi-ye ‘aliyeh-ye ghaibiyyeh). Ini berarti, pengetahuan dan makrifat itu dipancarkan dari alam gaib melalui hubungan—dan pencerapan—jiwa dengan alam tersebut, sebagaimana disebutkan Allah, “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan memberimu ilmu…” (Q.S. al-Baqarah: 282) dan disabdakan hadits : “pengetahuan itu (diperoleh) bukan melalui banyaknya pengajaran, tetapi melalui cahaya yang Allah pancarkan kepada hati hamba yang dikehendaki-Nya.”[8]

TUGAS KENABIAN

Nabi di utus oleh Allah swt sebagai pembimbing umat manusia. Ini merupakan fungsi dan tugas utama para Nabi dan Rasul. Akan tetapi, secara umum tugas bimbingan ini akan mencakup tugas-tugas di bawah ini :

1. Memahami agama
2. Mengamalkan agama
3. Menyebarkan agama
4. Mengajak umat kepada agama
5. Memberi contoh dan membimbing umat
6. Menjaga agama dari kebatilan, penyelewengan dan kesalah pahaman.

CIRI-CIRI UMUM KENABIAN

Untuk menjaga kemaslahatan dakwah kenabian maka seseorang yang menjadi Nabi mesti memiliki ciri-ciri tertentu. Secara umum ciri-ciri tersebut adalah :

1. Menjaga kesucian diri (maksum), karena ia merupakan pembimbing umat menuju kesucian diri, maka sudah selayaknya dirinya terlebih dahulu memiliki kesucian tersebut.
2. Memiliki ilmu yang sempurna. Hal ini karena para nabi membimbing manusia untuk mengenal dirinya dan alam sekitarnya sehingga dapat menjalani evolusi diri menuju kesempurnaan.
3. Keturunan orang baik. Hal ini penting sebagai kebaikan bagi dakwah rasul (maslahat al-dakwah), karena silsilah para Nabi dan hubungan orang tuanya (perkawinan) menjadi penting bagi para nabi yang juga hidup dalam keluarga layaknya manusia umumnya.
4. Memiliki fisik yang bagus, karena nabi diutus untuk mendekati manusia, karenanya hal-hal yang membuat dirinya secara fisik dijauhi dan dihina oleh manusia tidaklah layak ada pada diri nabi, seperti penyakit fisik yang parah, cacat, dan lainnya.
5. Membawa syariat (wahyu), karena kenabian di utus untuk mengajak manusia kepada bimbingan ilahi, dan bimbingan ilahi tersebut dalam bentuk wahyu.
6. Membawa bukti kenabian seperti mukjizat. Hal ini penting karena tidak semua orang senang dan mengikuti dakwah para Nabi, sehingga terkadang menolak dan menyerang Nabi. Begitu pula ada kalanya, hal-hal yang luar biasa menjadi bukti bagi masyarakat akan diri seorang Nabi, untuk itu mukjizat menjadi penting dalam pengutusan nabi.[9]

CARA MENGETAHUI KENABIAN

Klaim kenabian senantiasa mewarnai kehidupan manusia, karenanya salah satu persoalan mendasar adalah bagaimana umat manusia dapat mengakui klaim kenabian yang benar dan membedakannya dengan klaim kenabian yang palsu? Untuk itu, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, yaitu[10] :

1. Dengan mengenal kehidupannya baik dengan adanya bukti-bukti yang membuat masyarakat percaya seperti kemaksuman (tidak melakukan kesalahan), kejujuran, amanah, istikamah, dan adil sepanjang hdiupnya. Selain itu, orang tersebut dalam silsilahnya juga merupakan keturunan orang yang baik-baik. Cara ini dapat dilakukan dengan melihat kehidupan nabi tersebut secara langsung atau mempelajari sejarah hidupnya. [11]
2. Berdasarkan kabar atau pemberitahuan dari Nabi sebelumnya atau Nabi yang lain yang sezaman dengannya. Cara ini hanya bisa jika masyarakat telah mengenal dan mengakui kenabian. [12]
3. Menampakkan mukjizat yang pengaruhnya lebih kuat dan lebih luas.[13]
4. Dengan menelaah ajaran-ajarannya untuk menilai kesempurnaan atau kebenaran serta kesesuaiannya dengan fitrah, kebutuhan dan standar akal manusia. Namun, tugas ini hanya dapat dilakukan oleh segelintir orang yang memiliki kemampuan secara jasmani dan ruhani, memerlukan kepintaran dan keahlian.[14]



catatan kaki:

[1] Perhatikan ayat-ayat berikut ini: “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.” (Q.S. al-Furqan: 236); “(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum.” (Q.S. al-Mukminun: 33); “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu…” (Q.S. al-Kahfi: 110).

[2] Allah berfirman : “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk; dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. al-A’raf: 157); Lihat juga Q.S. al-An’am: 91.

[3] Manusia umumnya dikatakan tidak mengenal dirinya. Misalnya, tentang kulitnya saja, tidak ada satupun ahli di dunia ini mengaku bahwa ia mengetahui dengan sempurna semua karakteristik kulit manusia, begitu juga dengan bagian tubuh lainnya. Ini untuk wilayah jasadi. Adapun bagian ruhani manusia, maka semakin sedikitlah pengetahuan manusia tentangnya. Maha benar Allah swt dengan firmannya, “mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah: ruh itu dari amr Tuhanku, dan kamu tidak diberikan ilmu kecuali sedikit” (Q.S. al-Isra: ).

[4] Lihat M.T. Misbah Yazdi. Iman Semesta. (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 172-176.

[5] Perhatikan ayat-ayat berikut ini : “Allah tidak akan menampakkan hal gaib kepada kalian, tetapi Ia memilih utusan-utusan-Nya dengan kehendak-Nya. (Q.S. Ali Imran: 179); “Allah Maha Mengetahui hal yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan hal gaib kepada siapa pun kecuali rasul yang diridhai-Nya.” (Q.S. al-Jin: 26).

[6] Perhatikan ayat-ayat berikut ini : “Tidaklah Kami akan mengazab siapapun sebelum kami mengutus seorang Rasul” (Q.S. al-Isra/17 : 15); “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah.” (Q.S. al-Jumuah: 2); “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa kabar gembira dan peringatan supaya manusia tidak punya alasan (atas penyimpangan-penyimpangannya) terhadap Allah sesudah diutusnya para rasul” (QS. Al-Nisa/4: 165); Lihat juga Q.S. al-Hadid: 25.

[7] Allah Berfirman : “Dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan memberimu ilmu…” (Q.S. al-Baqarah: 282).

[8] Imam Khumaini. 40 Hadits. (Bandung: Mizan, 2004), h. 448-449.

[9] Allah berfirman : “Tidak dapat bagi seorang rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah.” (Q.S. al-Mukmin: 78). Lihat juga Q.S. al-Isra: 90-93.

[10] Lihat M.T. Misbah Yazdi. Iman, h. 219-220. Muhsin Qiraati. Membangun Agama. (Bogor: Cahaya, 2004), h. 213-234.

[11] Perhatikan ayat-ayat berikut ini : “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah.” (Q.S. al-Jumuah: 2). “(Orang) ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, dia makan dari apa yang kamu makan, dan meminum dari apa yang kamu minum.” (Q.S. al-Mukminun: 33); “Maka disebabkan rahmat Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Q.S. Ali Imran: 159); “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung.” (Q.S. al-Qalam: 4).

[12] Allah berfirman : “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka…” (Q.S. al-A’raf: 157).

[13] Allah berfirman : “Dan kami tidak menutus sebelum kamu, kecuali orang-orang yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab.” (Q.S. an-Nahl: 43); “Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan al-Quran ini, niscaya mereka tidak akan mampu membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (Q.S. al-Isra: 88).

[14] Allah berfirman : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran? Kalau kiranya al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S. an-Nisa: 82).