Tawakal Dalam Pandangan Agama

Kita sering mendengar anjuran untuk bertawakal. Namun sejauh manakah al-Quran mengajarkan kita dalam menjalani tawakal ini?

Kata tawakal berakar pada kata dasar “wikâlah.” Dalam kamus islami, kata ini berarti bahwa seseorang menjadikan Allah Swt sebagai tempat bersandar yang muthma’inn (yang menenangkan) hatinya, dan ia menyerahkan segala urusan kepada-Nya.. Dalam sebuah hadis, Rasul saw menanyakan kepada Jibril tentang arti tawakal. Jibril menjawab, “Tawakal adalah ketika manusia yakin bahwa keuntungan dan kerugian serta pemberian dan larangan bukan di tangan manusia dan hendaklah berputus asa dari mereka. Ketika seorang hamba sampai kepada tahapan dari makrifat ini, bahwa selain untuk Allah Swt, dia tidak akan beramal dan tidak mengharap kecuali kepada-Nya, serta tidak takut kecuali kepada-Nya, tidak tamak kecuali kepada-Nya. Ini adalah tawakal kepada Allah.” (Bihâr al-Anwâr, jil.68, hal.138, hadis no.23)

Dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang menyinggung hal ihwal tawakal.

Akan tetapi dalam menjelaskan makna dan hakikat tawakal, kami cukupkan dengan mengemukakan beberapa contoh ayat. Allah Swt menjadikan tawakal sebagai kelaziman yang tidak bisa dipisahkan dengan keimanan. Dia berfirman, …dan hanya kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal. (QS. Ali Imran [3]: 122).

Pada tempat lain, Allah Swt berfirman, …dan Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.( QS. al-Maidah [5]: 23.)

Dalam ayat lain, tawakal dan menyerahkan segala urusan kepada Allah digolongkan dalam salah satu sifat yang menonjol bagi kaum mukmin.

Dia juga berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Allahlah mereka bertawakal. (QS. al-Anfal [8]: 2)

Di ayat yang lain, bersandar dan menyerahkan urusan hanya kepada Allah Swt diterangkan dengan penjelasan yang lebih gamblang dan penuh penekanan: (Dia-lah) Allah masyrik dan maghrib, tiada Allah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Maka ambillah dia sebagai Pelindung. (QS. al-Muzammil [73]: 9) Kalimat “Allah Swt masyrik dan maghrib” mengisyaratkan tentang hakimiyah (penguasaan) dan rububiyah Allah Swt atas segenap alam wujud. Maksud ayat ini adalah bahwa segenap alam wujud berada di bawah kekuasaan dan kekuatan-Nya; hanya Dia yang pantas disembah. Dengan demikian, manusia mau tidak mau akan bertawakal kepada-Nya, menjadikan Dia tempat bersandar, serta menyerahkan segala urusan kehidupan kepada-Nya. Suatu keniscayaan jika kita selalu mengingat Allah Swt dan hanya bersandar kepada-Nya, maka roh dan jiwa kita akan memiliki kekuatan, taman hati kita akan wangi semerbak.

Lazimnya, manusia selalu menjadikan seseorang menjadi wakil bagi dirinya dalam urusan-urusan dunia. Berbagai urusan ia serahkan kepada wakil tersebut, supaya ia bisa meraih hasil dan keuntungan seperti yang diharapkan. Maka sebagai seorang hamba Allah Swt, sudah selayaknya semua sisi kehidupan kita juga disandarkan kepada-Nya, dan menjadikan Dia sebagai wakil serta pengelola urusan kita, sehingga semua harapan kita bisa diraih tanpa sedikit pun kebimbangan dan keraguan. Dengan kata lain, seseorang yang berharap semua kebutuhannya terpenuhi dengan baik akan dihadapkan dengan tiga jalan: pertama, berpegang pada kekuatannya sendiri, kedua, bersandar pada kekuatan orang yang lain, dan ketiga, menjadikan Allah sebagai tempat bersandar dan berpaling dari selain-Nya.

Di antara jalan-jalan yang telah disebutkan, jalan paling buruk adalah yang kedua, di mana manusia menjadikan orang lain sebagai tempat bersandar yang muthma’in. Jalan ini, selain dicela dan ilegal dalam pandangan agama, juga merupakan pilihan yang tidak masuk akal dan tidak layak dari sudut pandang psikologis. Jika manusia menjadi beban dan parasit bagi masyarakat dan berlangsung terus-menerus, maka jiwa merdeka dan bebasnya pada orang lain secara perlahan-lahan akan hilang.

Sementara jalan pertama–yang dalam psikologi disebut dengan “percaya diri”—bisa ditinjau dari dua segi, yaitu segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, manusia dari segala sisi bersandar pada diri sendiri. Kondisi ini, walaupun dari sudut pandang psikologis bisa dipercaya dan sangat ditekankan, akan tetapi dalam kamus teologi tidak dibenarkan dan tidak bisa diterima. Sebab, ketika manusia semakin dalam pengetahuan dan makrifatnya terhadap diri sendiri dan Allah Swt, maka ia semakin sadar bahwa kebanyakan yang dahulu dianggapnya sebagai kekuatan, ternyata hanya kelemahan dan ketakberdayaan. Dengan kata lain, ia semakin menyadari semua kelemahan dan ketidakmampuannya.

Jelas bahwa setiap kekuatan dan energi yang dimiliki manusia berasal dari Allah dan bersumber dari-Nya. Dengan demikian, bagaimana manusia bisa bersandar pada kekuatan dirinya yang rapuh dan lemah. Sementara ia mengetahui dengan yakin bahwa wujudnya serta apa yang ada dalam dirinya adalah milik-Nya. Ia sama sekali bukan dan tidak akan pernah menjadi pemilik hakiki dari semua itu.

Tawakal dan kepasrahan manusia kepada Allah Swt bersumber dari makrifat dan pengetahuan terhadap-Nya. Jika manusia meyakini bahwa Allah merupakan pemilik dan pemegang ikhtiar serta segenap wujudnya ada di tangan-Nya, maka ia tidak lagi butuh kepada yang lain untuk mohon pertolongan darinya.

Segi Negatif

Sementara segi negatif dari “percaya diri” adalah sikap tidak percaya pada selain Allah Swt. Hal ini, baik dari sudut pandang psikologis maupun teologis, suatu yang dibenarkan, dan pelakunya layak dipuji.

Terdapat banyak poin yang luar biasa berharga terkait masalah ini, seperti yang telah disinggung oleh al-Quran serta riwayat para Imam maksum as. Bersandar pada asas bahwa hati yang terikat dan hanya bertumpu pada selain-Nya akan menjadi sebab bagi jiwa untuk pesimis dan putus asa, maka pada hakikatnya, ayat-ayat tersebut mengisyaratkan nilai-nilai “tauhid dan tawakal” dan dalam tulisan ini akan disebutkan beberapa ayat sebagai contoh.

Dengan memiliki tempat bertumpu serta perlindungan yang meyakinkan, seperti keyakinan bahwa Allah selamanya hidup dan tidak akan pernah mati, manusia tidak lagi butuh pada yang lain sebagai tempat bertumpu.

Dan bertawakallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati … (QS. al-Furqan [25]: 58)

Di ayat lain Allah Swt berfirman, Sebab itu bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata. (QS. al-Naml [27]: 79)

Pada dasarnya, ketika Allah selalu ada, apa alasan bagi manusia untuk berharap pada yang lain. Apakah karunia Zat yang Maha Esa tidak cukup baginya? Oleh karenanya, Allah Swt berfirman, Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya…. (QS. al-Zumar [39]: 36)

Katakanlah, apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi…( QS. al-An’am [6]: 14.)

Jika manusia berhadapan dengan bencana, maka hanya Dia yang bisa menolongnya keluar darinya; Dia akan menggantikannya dengan berbagai kebaikan.

Dan jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas tiap-tiap sesuatu. (QS. al-An’am [6]: 17)

Bagaimana pun jika manusia hanya bersandar kepada Allah Swt dan menjadikan-Nya sebagai tempat berlindung, maka Dia pasti akan memberikan padanya kecukupan, sebagaimana dalam firman-Nya:

Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. al-Thalaq [65]: 3)

Pada kesempatan lain, dengan menyeru pada Nabi saw, Allah Swt berfirman,

Katakanlah, “Cukuplah Allah bagiku” kepada-Nyalah bertawakal orang-orang yang berserah diri. (QS. al-Zumar [39]: 38)

Jadi menurut al-Quran, tawakal sudah seharusnya mendasari segala aktivitas orang-orang yang beriman. Tawakal juga menjadi landasan bagi manusia untuk senantiasa berserah diri pada Allah SWT. Inilah salah satu ajakan Rasulullah kepada umatnya untuk bertawakal hanya kepada Sang Pencipta kehidupan ini.[]