Makanan Halal dan Hak-Hak Manusia yang Harus Dijaga

Seorang ayah disebut sebagai mujahid, yang berjihad dijalan Allah ketika mencari nafkah dalam rangka taat kepada Allah Swt, salah satu poin pentingnya adalah dia sedang mencari makanan halal bagi dirinya dan juga keluarga yang menjadi tanggungjawabnya. Perbuatannya ini selain berpahala juga akan menjadi syahid ketika tiba-tiba meninggal pada saat mencari nafkah. Disisi lain hal ini juga berharga karena dia memilih untuk tidak bermaksiat kepada Allah dengan waktu dan kemampuan yang dia miliki.

Ayat seputar fikih dalam Quran sebagian besar berhubungan dengan hak-hak manusia yang tidak boleh dilanggar.[1] Menjaga hak-hak manusia ketika melakukan muamalah, seperti jual beli, investasi, penyewaan jasa atau barang dll. Jika tidak mampu baca tulis, disini bisa memanggil orang yang mampu sebagai juru tulisnya, sehingga detail hak-hak manusia bisa dicatat dan tidak terlewatkan nantinya, tentu sang juru tulis menulis catatan secara adil tidak melakukan manipulasi data dan semacamnya. Bagian yang sangat penting untuk dicatat adalah bagian yang harus dibayarkan, hutang yang menjadi tanggungan dan harus dibayarkan, dalam hal ini bahkan diperintahkan untuk mendatangkan dua orang saksi.[2] Ini semua menjadi gambaran penting untuk menjaga hak orang lain, hakkunnas.

Dalam kehidupan sehari-hari, ketika ingin salat, tempat untuk salat harus halal bukan ghasab, mendapat ijin dari pemiliknya. Jika sarat ini tidak ada karena menggangu hak orang lain, maka salat pun batal, tidak sah. Tempatnya halal tapi jika air yang dipakai wudu hasil curian, salat juga tetap tidak sah. Jika kita berwuzu, pada saat wuzu tempat berpijak kita milik orang lain, bisa jadi salatnya menjadi batal.

Seseorang yang menjadi pegawai pemerintah tapi untuk mengerjakan pekerjaannya masih meminta upah kepada masyarakat, berupa uang pelicin, uang ini adalah hak orang lain, uang yang haram untuk dikonsumsi.

Dalam kisah Nabi Musa as, beliau membantu dua wanita bertakwa yang tidak ingin berdesak-desakan dengan kaum laki-laki ketika memberi air kepada ternak tidak ada niat minta imbalan, namun orang tua dua wanita ini (Nabi Syuaib as) berkata, panggillah dia, aku ingin memberinya upah, upah yang seperti ini jelas jauh berbeda dengan upah yang diminta bahkan kadang dipaksakan dari masyarakat oleh aparat negara. Upah untuk Nabi Musa as seratus persen halal dan bisa dipakai, “Kamu sudah membantu mengambilkan air ini hadiah uang untuk jerih payahmu”. Ketulusan dan Nabi Musa as, dengan tidak ingin berjalan dibelakang dua wanita putri Nabi Syuaib serta kepedulian untuk membantu orang yang lemah mengantarkan beliau menjadi menantu Nabi Syuaib as.[3]

Pelajaran dari kisah ini salah satunya adalah ketika ada orang berbuat dijalan Allah, disini walau dia tidak meminta uang tapi muslimin bisa memberikan upah atas jerihpayahnya. Menjadi sebuah dukungan sehingga dia lebih bersemangat, orang-orang lain juga berminat untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang sama.

Makanan haram ada banyak jenisnya diantaranya:

Meminta upah dari seorang yang berbuat kerusakan. Membelikan minum minuman keras lalu meminta upah, upah dari perbuatan ini bukan upah yang halal.

Orang yang bekerja tapi pekerjaannya adalah perbuatan maksiat, pekerjaannya haram, hasil darinya juga haram untuk dimakan.

Uang riba, meminjamkan uang lalu pihak peminjam diharuskan mengembalikan dengan jumlah lebih banyak beberapa persen.

Al Quran menempatkan memakan makanan haram disamping larangan membunuh, memakan makanan haram baik langsung atau tidak langsung, langsung memakan makanan yang haram dimakan seperti anjing dan babi, atau makanan hasil dari perbuatan haram bisa mengantarkan seseorang kepada tindak dosa yang lain, salah satunya pembunuhan. Makanan haram menggelapkan hati, orang yang hatinya gelap lebih mudah untuk berbuat dosa.

Ini sangat penting ketika larangan memakan makanan haram dan larangan membunuh berada dalam satu ayat yang sangat dekat, ini menjadi peringatan sehingga tidak memakan makanan haram.

Makanan haram juga membuat jalan Allah tertutup, memakan makanan haram juga merupakan perbuatan yang membuat Allah murka, Allah sudah memberikan rizki kepada masing-masing makhluknya tanpa terkecuali, makhluk paling besar maupun yang paling kecil semua mendapat porsi masing-masing, sebagian manusia sudah mendapat rizki cukup bahkan berlebih titipan untuk orang fakir dan miskin, tidak dipakai untuk menolong orang tapi dipakai berjudi, dipakai berfoya-foya, dipakai secara tidak semestinya, akhirnya rizki itu dikurangi, karena tidak terbiasa dengan kehidupan serba kekurangan akhirnya mencuri dan mengambil hak orang lain.

Hati yang gelap membuat diri seseorang tidak memiliki kepuasaan hidup, selalu merasa kekurangan dan takut dan pelit bahkan untuk keperluannya sehari-hari. Takut hartanya habis, hati gelap membuat seseorang membabi buta, melakukan korupsi dan tindakan-tindakan merugikan masyarakat dan negara.

Sangat menakutkan dampak dari memakan harta tidak halal, mengambil hak-hak orang lain sebenarnya hanya akan sangat merugikan diri sendiri, khususnya di kehidupan di akhirat nanti.[4]

CATATAN:

[1]  يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُلُوا۟ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقْنَٰكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لِلَّهِ

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” Yang diberikan kepada kita oleh Allah yang kita makan, baik langsung atau diberikan melalui pemberian dan hadiah dari orang lain. (Al-Baqarah: 172)

[2] Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). (Al-Baqarah: 282).

[3] “Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.”(Qashash: 23)

[4] Disarikan dari penjelasan Syaikh Mohsen Qiroati seputar luqme harãm.